Sunday, September 8, 2024
26.7 C
Jayapura

Penonton Diajak Bermain, Berteriak dan Meluapkan Kemarahan pada ‘Cupak’

Drama Musikal Cupak Gurantang

Pertunjukan drama musikal Cupak Gurantang menyimpan banyak cerita bagi para aktornya. Mulai dari diteriaki penonton, terluka saat adegan laga, sampai dengan didatangi sosok ‘Cupak’ dalam mimpi.

Fatih Kudus Jaelani, Mataram

Salam Efendi harus menahan rasa sakit saat salah seorang penonton mencubit dadanya yang telanjang. Mau bagaimana lagi, Fendi yang memerankan sosok Cupak harus rela jadi bulan-bulanan amarah penonton. Apalagi salah satu adegannya adalah memasuki kerumununan warga.

“Di sini saya dicubit. Kalau sebelumnya di Lombok Utara saya sampai dilempar batu sama warga yang menonton,” kata Fendi saat menceritakan pengalamannya memainkan tokoh Cupak dalam drama musikal Cupak Gerantang yang digelar oleh Lampa(q)k Art Community.

Baca Juga :  Pembelajaran Literasi dan Numerasi Penting untuk Tingkatkan Mutu Pendidikan

  Saat melakoni Cupak di Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu malam (13/7) lalu, hampir di sepanjang pertunjukan Fendi diteriaki penonton.  Seorang warga dari kejauhan berteriak mencaci maki Cupak. Ada juga yang geram dan berteriak mengatakan Cupak adalah seorang pembohong.

  “Lekak tie (pembohong itu,red). Kata salah seorang penonton pada saya,” tutur Fendi.

Drama musikal Cupak Gerantang yang diramu oleh Wahyu Kurnia itu memang merupakan lakon berdasarkan naskah yang direvisi dari naskah aslinya. Di sejumlah desa, terutama di Lombok Utara, Cupak Gerantang dulunya menjadi seni tradisi masyarakat Sasak yang sering dimainkan.

   Para pemainnya merupakan orang-orang pilihan. Itulah mengapa, di beberapa desa, pertunjukan itu menjadi sakral. Misalkan saja di Lombok Utara. “Orang-orang berkerumun mencari sisa nasi yang dimakan Cupak,” kata Wahyu.

Baca Juga :  Dinilai Banyak Jasanya, Dorong Gelar Pahlawan Bagi Sosok Ramses Ohee

   Pertunjukan Cupak Gerantang yang modern itu memang tak bisa juga dipisahkan dari sejarah panjang legenda itu di Bumi sasak. Kendati di masa kini, anak-anak yang memainkannya merupakan generasi milenial dan generasi Z, namun kesan sakral dari petunjukan itu tak bisa dilepaskan begitu saja.

  “Salah satunya pemain kami Fendi, yang dalam dua kali pertunjukan didatangi sosok Cupak yang asli dalam mimpinya,” ungkap Wahyu.

Drama Musikal Cupak Gurantang

Pertunjukan drama musikal Cupak Gurantang menyimpan banyak cerita bagi para aktornya. Mulai dari diteriaki penonton, terluka saat adegan laga, sampai dengan didatangi sosok ‘Cupak’ dalam mimpi.

Fatih Kudus Jaelani, Mataram

Salam Efendi harus menahan rasa sakit saat salah seorang penonton mencubit dadanya yang telanjang. Mau bagaimana lagi, Fendi yang memerankan sosok Cupak harus rela jadi bulan-bulanan amarah penonton. Apalagi salah satu adegannya adalah memasuki kerumununan warga.

“Di sini saya dicubit. Kalau sebelumnya di Lombok Utara saya sampai dilempar batu sama warga yang menonton,” kata Fendi saat menceritakan pengalamannya memainkan tokoh Cupak dalam drama musikal Cupak Gerantang yang digelar oleh Lampa(q)k Art Community.

Baca Juga :  Uang Belanja Hanya Rp 500 Ribu/Bulan, Saat Hamil pun Masih Sempat Dianiaya

  Saat melakoni Cupak di Desa Ganti, Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Sabtu malam (13/7) lalu, hampir di sepanjang pertunjukan Fendi diteriaki penonton.  Seorang warga dari kejauhan berteriak mencaci maki Cupak. Ada juga yang geram dan berteriak mengatakan Cupak adalah seorang pembohong.

  “Lekak tie (pembohong itu,red). Kata salah seorang penonton pada saya,” tutur Fendi.

Drama musikal Cupak Gerantang yang diramu oleh Wahyu Kurnia itu memang merupakan lakon berdasarkan naskah yang direvisi dari naskah aslinya. Di sejumlah desa, terutama di Lombok Utara, Cupak Gerantang dulunya menjadi seni tradisi masyarakat Sasak yang sering dimainkan.

   Para pemainnya merupakan orang-orang pilihan. Itulah mengapa, di beberapa desa, pertunjukan itu menjadi sakral. Misalkan saja di Lombok Utara. “Orang-orang berkerumun mencari sisa nasi yang dimakan Cupak,” kata Wahyu.

Baca Juga :  99 Persen Disengaja, Kerugian Bisa Mencakup Aspek Ekologi, Ekonomi dan Sosial

   Pertunjukan Cupak Gerantang yang modern itu memang tak bisa juga dipisahkan dari sejarah panjang legenda itu di Bumi sasak. Kendati di masa kini, anak-anak yang memainkannya merupakan generasi milenial dan generasi Z, namun kesan sakral dari petunjukan itu tak bisa dilepaskan begitu saja.

  “Salah satunya pemain kami Fendi, yang dalam dua kali pertunjukan didatangi sosok Cupak yang asli dalam mimpinya,” ungkap Wahyu.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya