Dulu, penghuni Rusunawa membayar iuran bulanan sesuai dengan lantai tempat mereka tinggal. Lantai dua dikenakan biaya Rp 350 ribu, lantai tiga Rp 300 ribu, lantai empat Rp250 ribu, dan lantai lima hanya Rp 200 ribu.
Namun, sejak tahun 2012, setelah pengelola melarikan diri dengan membawa uang iuran warga, sistem pembayaran itu tidak lagi berjalan, dan warga tinggal secara gratis. Hal ini kemudian membuka celah bagi beberapa penghuni untuk menjadikan Rusunawa sebagai ladang bisnis.
“Ada yang memperjualbelikan petak rusunawa hingga Rp 15 juta per unit, dan ada juga yang menyewakannya dengan tarif bulanan mencapai Rp 900 ribu,” ujar Marion.
Ironisnya, beberapa dari mereka yang melakukan praktik ini diketahui memiliki rumah pribadi di Kota Jayapura. “Banyak warga, bahkan rumahnya ada disekitar sini, tapi hunian mereka kasih sewa ke orang lain setiap bulan,” ungkap Morin.
Pasca gempa bumi tahun 2023, kondisi fisik Rusunawa semakin memprihatinkan. Blok B mengalami penurunan tanah, menyebabkan bagian depan bangunan tampak miring. Atap yang rusak parah membuat air hujan merembes ke dalam kamar-kamar hunian. “Setiap kali hujan, air masuk ke dalam kamar dan membanjiri tangga,” ujar Marion.
Dampak kebakaran tahun 2023 juga masih terasa hingga kini. Seluruh kamar dari lantai lima hingga lantai tiga di Blok B tidak lagi dihuni, karena kehilangan atap dan mengalami kerusakan berat.