Sebelum diperkenankan masuk ke area vital itu, rombongan wartawan ini terlebih dulu dikumpulkan di lobby untuk briefing. Di sana diberi penjelasan panjang lebar mengenai aturan dan etika selama mengunjungi gedung pencetakan uang. Aturannya dijelaskan lengkap. Semua benda pribadi harus ditinggalkan. Tak ada kompromi, ponsel, dompet, uang, jam tangan, kamera, semua harus dikeluarkan. Tak ada ruang untuk pelanggaran sekecil apa pun.
Setelah dipastikan tidak ada lagi barang-barang lain terbawa, kami diberikan ID Card VVIP, yang sekaligus berfungsi sebagai akses elektronik melewati pintu besi gedung pencetakan uang. Kemudian diarahkan memasuki jalur khusus pengunjung. Setiba di dalam gedung, aroma khas uang kertas baru menyergap hidung begitu pintu terbuka. Rasanya seperti memasuki dunia lain, steril, dan aktivitas di seperti sunyi, dan tertib.
Pengunjung akan melewati galeri seluruh uang yang sudah dicetak oleh Peruri dari semua Tahun Emisi, logam, maupun kertas. Semuanya dipajang di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, tak bisa dipegang. Galeri cetakan uang ini adalah cerita panjang perjalanan rupiah di Republik Indonesia.
Kami kemudian diarahkan melalui jalur khusus. Pengunjung tidak diperbolehkan bersinggungan langsung dengan proses pencetakan. Jalur pegawai tidak boleh sama dengan jalur tamu. Pegawai diperiksa saat masuk dan keluar. Mereka mengenakan pakaian kerja khusus dan diawasi oleh sistem keamanan berlapis sebagai SOP di dalam gedung pencetakan uang ini.
Pengunjung hanya punya akses menuju lantai II. Dari sanalah, kita menyusuri ruangan kaca, yang dibawahnya bisa dilihat pegawai Peruri dengan seluruh tahapan proses produksi uang rupiah, layaknya melihat ikan dalam akuarium. Uang tidak dicetak sembarangan. Prosesnya dimulai dari ruang desain, tempat para pendesain uang bekerja menciptakan gambar, angka, hingga hologram yang menyulitkan pemalsuan. Desain yang sudah disetujui Bank Indonesia kemudian masuk tahap pemelatan sebelum dicetak.
Kami menyaksikan bagaimana mesin-mesin raksasa buatan Jerman dan Jepang bekerja, mencetak uang. Dari tumpukan kertas kosong berselimut pengamanan tinggi ditransformasi menjadi lembaran rupiah. Setiap ruang adalah setiap tahapan hingga ke ruang terakhir yang memastikan seluruh pencetakan uang. “Semua proses ini diawasi ketat,” ucap sang pemandu dengan sabar kepada pengunjung.
Sebutnya setiap lembar harus sesuai jumlah lembaran uang yang tercetak tak boleh lebih, apalagi kurang. Hasil cetakan yang cacat sedikit pun, meski hampir tak kasat mata, diberi tanda untuk diserahkan kembali ke Bank Indonesia untuk dimusnahkan. “Misalnya ada gambar atau garis kecil yang tidak tercetak sempurna, itu tetap dianggap gagal. Semua jumlahnya yang tercetak sempurna dan tidak sempurna dicatat dan dilaporkan ke Bank Indonesia,” ujar sang pemandu.
Sambil berjalan sangat pemandu mengungpkan proses pencetakan uang memakan waktu 21 hari hingga benar-benar diserahkan ke Bank Indonesia untuk diedarkan. “Bukan hanya karena teknis mesin, tetapi karena tinta yang digunakan pun sangat spesifik. Pewarnanya tidak dijual bebas, hanya dipasok oleh vendor luar negeri yang ditunjuk. Ketahanan warnanya telah teruji tak luntur dan tahan suhu ekstrem,” jelasnya sambil jalan.
Jelasnya pencetakan uang menjadikan rupiah sebagai salah satu mata uang dengan tingkat keamanan tertinggi di dunia. Bahkan desain rupiah masuk daftar mata uang terumit secara artistik dan teknis.
Uniknya, semua pekerja Peruri harus Warga Negara Indonesia. Tak satu pun pekerja asing diperbolehkan terlibat, meskipun bidang pekerjaannya termasuk sangat teknis dan kompleks. Sebab mencetak uang bukan sekadar soal produksi, ini soal kedaulatan bangsa.