Wednesday, April 24, 2024
24.7 C
Jayapura

Ikut Ritual, Jadi Lupa Rumah, Lupa Keluarga

Tahajud Ibu dan Kelompok yang Tak Dikenali Bupati

Bupati Jember masih mengumpulkan keterangan tentang Kelompok Tunggal Jati Nusantara yang belasan anggotanya tewas di Pantai Payangan kemarin (13/2). Ada yang sudah dilarang keluarga, tetapi tetap nekat ikut ritual ke mana-mana.

JUMAI, Jember

HAMPIR setiap malam Siti Asiya bertahajud. Dengan doa yang sama yang dia terus munajatkan: semoga putranya, M. Feri Luhur Febrianto, bisa kembali. Kembali tak hanya berarti balik ke rumah sang bunda, tetapi juga bisa meninggalkan kelompok yang membuatnya terlibat berbagai ritual. Sebab, pemuda 20 tahun itu sampai lupa rumah dan keluarga.

”Feri itu tak cuma ikut ritual di pantai di Jember. Ada juga yang di Banyuwangi, Pasir Putih (Situbondo), bahkan di Bali,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Kelompok yang dimaksud Asiya adalah Kelompok Tunggal Jati Nusantara. Sebanyak 11 anggota kelompok itulah yang kemarin ditemukan meninggal di Pantai Payangan, Jember, setelah tergulung ombak.

Berdasar keterangan yang dihimpun Jawa Pos Radar Jember, kelompok tersebut berpusat di Sukorambi, Kabupaten Jember. Para anggotanya berasal dari berbagai kalangan dari sejumlah kecamatan di kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi di sisi timur itu. Juga, kota-kota di sekitarnya.

Seperti pengakuan Feri, kelompok itu memiliki ritual khusus di pantai dengan dalih mencari ketenangan atau membersihkan diri dari segala macam penyakit. Seperti ritual yang berujung maut di Payangan, mereka bersemedi, lalu mandi di bibir pantai setelah lewat tengah malam.

Baca Juga :  Bahas Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Tanah Papua

Dalam beberapa video amatir dari warga, anggota kelompok tersebut juga tampak dirukiah. Kelompok itu meyakini, tahap terakhirnya adalah mandi di Pantai Selatan agar terbebas dari berbagai penyakit. Pemimpin ritual tersebut bernama Nurhasan asal Dusun Botosari, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi.

”Keterangan sementara, dalam insiden pada (kemarin) dini hari itu memang dilakukan ritual yang dipimpin seorang spiritual,” ujar Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo. Dia menambahkan, pihaknya akan terus menggali dan mendalami keterangan para saksi.

Bupati Jember Hendy Siswanto yang kemarin menyempatkan diri mendatangi sejumlah korban selamat juga baru mengetahui adanya Kelompok Tunggal Jati Nusantara. Dia juga menyayangkan ritual itu harus ada dan dilangsungkan di bibir pantai.

”Berbahaya sekali di situ (bibir Pantai Payangan,Red) malam dan dini hari melakukan ritual. Kami belum mengerti ritual apa itu. Kami masih mau bertemu dengan beberapa orang dan bertanya detail mengenai perkumpulan ini,” kata Hendy saat ditemui di lokasi kemarin.

Selain menyampaikan rasa duka terhadap keluarga 11 korban meninggal, pihaknya tengah menantikan kabar terbaru hasil otopsi lebih lanjut dari RSUD dr Soebandi. Ritual yang terjadi itu sepintas mirip seperti yang terjadi pada tiga tahun lalu di Pantai Paseban, Kencong, yang juga berada di wilayah Jember. Namun, yang kali ini kembali berulang dengan kelompok dan pengikut yang berbeda. Bupati Hendy juga mengakui demikian.

Baca Juga :  Ngerti Jokowi Ada di Solo karena Ditongkrongi Paspampres

Hendy juga berencana menemui warga yang biasa mengelola dan menjaga tempat di sekitar Pantai Payangan. ”Kami dapat kabar dari nelayan bahwa mereka sudah memperingatkan, jangan ada ritual. Tapi, tetap jalan. Kami belum ketemu orangnya,” ujar Hendy.

Dia bakal meminta kerja sama masyarakat di sekitar pantai agar lebih aktif menyosialisasikan atau memberikan imbauan terhadap pengunjung. ”Kadang-kadang di pantai saat pagi itu tidak ada yang menjaga, apalagi sekarang musim-musim ombak besar. Orang nelayan tidak ada yang ke pantai,” jelasnya.

Di IGD Puskesmas Ambulu, Feri mengakui bahwa sang ibu sudah melarangnya mengikuti ritual Kelompok Tunggal Jati Nusantara. ”Karena memang saya jarang pulang, ikut ritual ke mana-mana,” ucapnya.

Itulah yang membuatnya ibunya geram. Namun, kasih ibu tetaplah sepanjang jalan. Begitu mendengar sang anak menjadi korban di Pantai Payangan, Asiya ditemani keluarga bergegas datang.

Beruntung, Feri termasuk yang selamat. Entah mungkin karena masih ada sisa-sisa kemarahan, Asiya memilih tetap berada di ruang tunggu meski putranya sudah bisa ditemui.

”Saya memang tidak mau menemui Feri. Dia sudah sering saya marahi agar tidak ikut aliran yang aneh-aneh,” katanya. (*/jum/mau/c14/ttg/JPG)

Tahajud Ibu dan Kelompok yang Tak Dikenali Bupati

Bupati Jember masih mengumpulkan keterangan tentang Kelompok Tunggal Jati Nusantara yang belasan anggotanya tewas di Pantai Payangan kemarin (13/2). Ada yang sudah dilarang keluarga, tetapi tetap nekat ikut ritual ke mana-mana.

JUMAI, Jember

HAMPIR setiap malam Siti Asiya bertahajud. Dengan doa yang sama yang dia terus munajatkan: semoga putranya, M. Feri Luhur Febrianto, bisa kembali. Kembali tak hanya berarti balik ke rumah sang bunda, tetapi juga bisa meninggalkan kelompok yang membuatnya terlibat berbagai ritual. Sebab, pemuda 20 tahun itu sampai lupa rumah dan keluarga.

”Feri itu tak cuma ikut ritual di pantai di Jember. Ada juga yang di Banyuwangi, Pasir Putih (Situbondo), bahkan di Bali,” katanya kepada Jawa Pos Radar Jember.

Kelompok yang dimaksud Asiya adalah Kelompok Tunggal Jati Nusantara. Sebanyak 11 anggota kelompok itulah yang kemarin ditemukan meninggal di Pantai Payangan, Jember, setelah tergulung ombak.

Berdasar keterangan yang dihimpun Jawa Pos Radar Jember, kelompok tersebut berpusat di Sukorambi, Kabupaten Jember. Para anggotanya berasal dari berbagai kalangan dari sejumlah kecamatan di kabupaten yang berbatasan dengan Kabupaten Banyuwangi di sisi timur itu. Juga, kota-kota di sekitarnya.

Seperti pengakuan Feri, kelompok itu memiliki ritual khusus di pantai dengan dalih mencari ketenangan atau membersihkan diri dari segala macam penyakit. Seperti ritual yang berujung maut di Payangan, mereka bersemedi, lalu mandi di bibir pantai setelah lewat tengah malam.

Baca Juga :  Terbitkan 1.042 Sertifikat HaKI, Pendaftaran HaKI Untuk OAP Gratis

Dalam beberapa video amatir dari warga, anggota kelompok tersebut juga tampak dirukiah. Kelompok itu meyakini, tahap terakhirnya adalah mandi di Pantai Selatan agar terbebas dari berbagai penyakit. Pemimpin ritual tersebut bernama Nurhasan asal Dusun Botosari, Desa Dukuhmencek, Kecamatan Sukorambi.

”Keterangan sementara, dalam insiden pada (kemarin) dini hari itu memang dilakukan ritual yang dipimpin seorang spiritual,” ujar Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo. Dia menambahkan, pihaknya akan terus menggali dan mendalami keterangan para saksi.

Bupati Jember Hendy Siswanto yang kemarin menyempatkan diri mendatangi sejumlah korban selamat juga baru mengetahui adanya Kelompok Tunggal Jati Nusantara. Dia juga menyayangkan ritual itu harus ada dan dilangsungkan di bibir pantai.

”Berbahaya sekali di situ (bibir Pantai Payangan,Red) malam dan dini hari melakukan ritual. Kami belum mengerti ritual apa itu. Kami masih mau bertemu dengan beberapa orang dan bertanya detail mengenai perkumpulan ini,” kata Hendy saat ditemui di lokasi kemarin.

Selain menyampaikan rasa duka terhadap keluarga 11 korban meninggal, pihaknya tengah menantikan kabar terbaru hasil otopsi lebih lanjut dari RSUD dr Soebandi. Ritual yang terjadi itu sepintas mirip seperti yang terjadi pada tiga tahun lalu di Pantai Paseban, Kencong, yang juga berada di wilayah Jember. Namun, yang kali ini kembali berulang dengan kelompok dan pengikut yang berbeda. Bupati Hendy juga mengakui demikian.

Baca Juga :  Banyak Orang Memiliki Mimpi, Tapi Tidak Memiliki Semangat untuk Meraihnya

Hendy juga berencana menemui warga yang biasa mengelola dan menjaga tempat di sekitar Pantai Payangan. ”Kami dapat kabar dari nelayan bahwa mereka sudah memperingatkan, jangan ada ritual. Tapi, tetap jalan. Kami belum ketemu orangnya,” ujar Hendy.

Dia bakal meminta kerja sama masyarakat di sekitar pantai agar lebih aktif menyosialisasikan atau memberikan imbauan terhadap pengunjung. ”Kadang-kadang di pantai saat pagi itu tidak ada yang menjaga, apalagi sekarang musim-musim ombak besar. Orang nelayan tidak ada yang ke pantai,” jelasnya.

Di IGD Puskesmas Ambulu, Feri mengakui bahwa sang ibu sudah melarangnya mengikuti ritual Kelompok Tunggal Jati Nusantara. ”Karena memang saya jarang pulang, ikut ritual ke mana-mana,” ucapnya.

Itulah yang membuatnya ibunya geram. Namun, kasih ibu tetaplah sepanjang jalan. Begitu mendengar sang anak menjadi korban di Pantai Payangan, Asiya ditemani keluarga bergegas datang.

Beruntung, Feri termasuk yang selamat. Entah mungkin karena masih ada sisa-sisa kemarahan, Asiya memilih tetap berada di ruang tunggu meski putranya sudah bisa ditemui.

”Saya memang tidak mau menemui Feri. Dia sudah sering saya marahi agar tidak ikut aliran yang aneh-aneh,” katanya. (*/jum/mau/c14/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya