Dalam Pala Tomandin, Ada Sosok Ibu, Aromaterapi, dan Pengurang Nyeri
Di Fakfak, Pala Tomandin adalah sumber kehidupan sekaligus lambang mitologis. Melalui kerja sama komunitas, diolah tidak hanya menjadi bumbu, tapi juga berbagai produk olahan.
TAUFIQURRAHMAN, Jakarta
PALA yang membawa Nani Uswanah ke gelar S-1 di Jayapura. Pala pula yang menerbangkannya ke Jakarta untuk bisa menyelesaikan gelar master.
”Berkat gadai pala,” kata warga Fakfak, Papua Barat, itu kepada Jawa Pos seusai sebuah diskusi luring di Jakarta pada Minggu (5/12) lalu.
Pala yang dimaksud adalah pala tomandin, varietas khas Fakfak. Dan, gadai pala adalah semacam sistem yang berkembang di antara warga kabupaten yang resmi berdiri sejak 12 April 2003 tersebut.
Dalam sistem itu, petani meminjam uang kepada pemodal. Sebagai gantinya, si pemodal bakal memborong hasil pala milik si petani dalam beberapa periode panen.
Nah, karena pohon pala kebanyakan dimiliki dengan sistem kekerabatan, gadai dilakukan secara bergantian untuk memenuhi hajat. Entah itu pendidikan atau pernikahan.
”Misalnya, panen depan untuk saudara yang ini. Kemudian, panen depannya untuk saudara yang satu lagi,” tutur perempuan yang menyelesaikan S-1 di Universitas Cenderawasih, Jayapura, dan S-2 di Universitas Paramadina, Jakarta, itu.
Sedemikian pentingnya pala dalam keseharian warga Fakfak. Selain menjadi lambang utama kabupaten, pala merupakan tanaman mitologis yang dihormati penduduk.
Tapi, di sisi lain, saking sakralnya pala, warga pun kerap tak memperlakukannya sebagai komoditas. Kerap pula pala dibiarkan tumbuh alami tanpa budi daya khusus.
Padahal, potensi pala secara ekonomis besar. Dan, itulah yang sekarang tengah dikembangkan Yayasan Inobu. Mereka melakukan pendampingan agar hasil panen tumbuhan yang dalam bahasa setempat bermakna ”putri gunung” itu menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah tinggi.
Beberapa di antaranya menghasilkan produk olahan makanan. Misalnya, sirup dan manisan pala. Yang terbaru adalah olahan pala menjadi sumber aromaterapi. Pillow mist yang disemprotkan ke bantal beberapa saat sebelum tidur.
”Aroma pillow mist bisa membantu orang jadi rileks dan lebih cepat terlelap,” kata Manajer Agribisnis Yayasan Inobu Ofra Shinta dalam diskusi yang sama.
Kemudian, reed diffuser atau pewangi ruangan yang berasal dari cairan olahan pala. Reed diffuser tidak menggunakan tenaga listrik untuk menyublimkan aroma ke seluruh ruangan. Cukup menggunakan stik kecil dari kayu yang dicelupkan ke cairan pewangi.
Ada juga lilin pewangi aroma pala yang digunakan dengan menyulut api untuk menyebarkan aroma ke seluruh ruangan. Produk-produk olahan itu dibuat dengan kolaborasi petani lokal, Yayasan Inobu, serta komunitas pengusaha perempuan Shestarts.id. Diberi nama Hanggi yang merupakan nama lokal dari pala tomandin.
Dalam kultur Fakfak, pala digambarkan sebagai sosok perempuan. ”Dalam bahasa Iha, pala disebut sebagai ’meri totora’ atau ’putri gunung’,” ujar Nani.
Karena keberadaannya yang sakral dan mencitrakan seorang ibu yang memberi penghidupan kepada putra-putrinya, kultivasi pala tidak pernah dilakukan secara besar-besaran. Hanya ditanam secara natural bersama tanaman-tanaman hutan lain.
Bahkan, kata Nani, dahulu tidak pernah ada pertanian pala. Masyarakat membiarkannya tumbuh alami. Benihnya disebarkan burung endemis setempat.
Karena pala adalah perempuan, lanjut dia, siapa pun yang akan menanam pala dan berharap hasil pertanian yang sukses pantang menyakiti perempuan. Baik ibu, saudara, maupun tetangga. ”Kalau menyakiti perempuan, nanti tanaman palanya akan mati dan kering. Jadi, ada koneksi antara perempuan Fakfak dan pala,” jelasnya.
Karena sakral juga, memetik pala harus melalui ritual khusus. Nani menjelaskan, sebelum memanen, biasanya petani pala memberikan persembahan yang dinamakan mehak tuni. Berupa empat cangkir kopi dan daun sirih pinang yang diletakkan di atas daun pandan hutan yang dianyam seperti piring. Secarik kain putih juga dililitkan di pohon pala sebagai simbol pengharapan akan berkah hasil hutan.
Setelah persembahan siap, petani mengucapkan doa-doa sesuai dengan agama masing-masing. ”Sekarang masyarakat Papua sudah mayoritas beragama. Jadi, yang Kristen pakai doa Kristen. Katolik dan muslim pun demikian,” tutur Nani.
Selain sebagai pengantar tidur, menurut Nova Primadina, dokter dari Asosiasi Peneliti Atsiri Indonesia, minyak atsiri (minyak atsiri atau minyak esensial merupakan senyawa yang diekstrak dari bagian tumbuhan dan diperoleh melalui distilasi atau penyulingan) yang terkandung dalam buah pala memiliki banyak manfaat. Bukan hanya fungsi relaksasi.
Beberapa di antaranya adalah fungsi analgesik atau pengurang rasa nyeri, antiinflamasi, sedatif atau membuat rileks sistem saraf, pemicu sistem imunitas tubuh, mood booster, serta dekongestan untuk memperlancar hidung tersumbat.
”Namun, sejauh ini minyak esensial atsiri digunakan lewat pemakaian luar. Seperti dihirup atau dioleskan ke kulit. Tidak direkomendasikan untuk dikonsumsi,” jelasnya.
Demikianlah, laksana ibu, pala benar-benar memberikan kasih. Agar anak-anaknya bisa sekolah, agar putra-putrinya berkurang rasa sakit, juga agar buah hatinya bisa nyaman terlelap. (*/c19/ttg)