Tuesday, October 14, 2025
23.7 C
Jayapura

Bisa Jadi Gubernur BI Namun Deg degan Saat Mengangkat Batangan Emas

“Salah satu dari sekian kendaraan yang rusak pada tahun itu. Mobil juga ada tapi tidak bisa kita gantung disini, terlalu besar,” ujapnya disambut tertawa para jurnalis. Dengan sabar Nia mengatakan bahwa setiap lemari menyimpan cerita, dan setiap cerita membuat kita sadar sistem keuangan bukan cuma soal angka, tapi juga perjalanan bangsa.

Lebih jauh ia menjelaskan sebelum kemerdekaan, masih banyak perjalanan sejarah uang di Indonesia. Sebab sebelum merdeka, republik ini juga melewati penjajahan Jepang. Semasa pendudukan Jepang, semua kebijakan keuangan berubah. Namun nilai Gulden dan Rupiah Hindia Belanda tetap dipertahankan dengan melarang penggunaan mata uang lain. Jepang juga menerbitkan dan mengedarkan mata uang kertas dalam beberapa kali emisi yang disebut uang invasi bertuliskan ‘Pemerintah Dai Nippon’.

Gambar uang kertas mengakomodasi budaya asli Indonesia kala itu. Misalnya wayang orang dan Candi Borobudur pada mata uang kertas 10 Roepiah dan masih banyak lainnya. Bukan hanya itu, koleksi di museum ini sangat beragam. Di antaranya koin dari era kerajaan Nusantara, uang kertas pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) tahun 1946, hingga Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang diterbitkan pada masa revolusi 1947–1950.

Baca Juga :  Musrembang Distrik, Diharapkan Dapat Bermuara Pada APBD dan APBN

“Sejak 1947, ORIDA ini terbit antara lain di Provinsi Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh. Kalau ORI berlaku di seluruh republik, sedangkan ORIDA hanya di daerah masing-masing,” ujar Nia yang masih setia memberikan penjelasan pada rombongan dari Papua. Melangkah ke lantai dasar terdapat mesin cetak uang dan uang kertas pertama di Indonesia yang kini tersimpan rapih di etalase khusus dengan cahaya lampu yang telah diatur sedemikian rupa.

Koleksi lain yang menarik adalah Ruang Emas Moneter, tempat dipajang replika emas batangan seberat 13,5 kilogram per batang. Tak ketinggalan, museum juga memamerkan artefak Krisis Moneter 1998, seperti mesin ATM rusak hingga motor bekas dibakar, yang menggambarkan kekacauan ekonomi saat itu.

Baca Juga :  Alot, Warga Bersikeras Tak Mau Buka Palang, Aktivitas Pemkot Lumpuh?

Dalam penelusurannya, semua hal tentang sistem keuangan tersaji di lokasi tersebut. Bukan hanya tentang perjalanan panjangnya saja, namun penjelasan tentang bangunan yang dulunya De Javasche Bank dan saat ini mejadi Museum BI dirincikan secara detail dan mewah. Sejumlah ornamen tiang penyangga maupun dinding hasil arsitektur sang maestro Eduard Cuypers, memiliki makna tersembunyi.

Seperti halnya, motif hias bunga convolvulus dengan kelopak-kelopak ikal di ujungnya yang memiliki arti, yakni bunga convolvulus melambangkan kerendahan hati. Hiasan bunga diapit oleh volute atau gulungan berbentuk huruf S yang saling membelakangi. Pak Andi pemandu lain Museum BI juga menunjukkan sejumlah patung yang memperlihatkan bagaimana suasana jaman dulu gedung tersebut beroperasi dan menjadi sejarah panjang perjalanan dunia keuangan.

“Salah satu dari sekian kendaraan yang rusak pada tahun itu. Mobil juga ada tapi tidak bisa kita gantung disini, terlalu besar,” ujapnya disambut tertawa para jurnalis. Dengan sabar Nia mengatakan bahwa setiap lemari menyimpan cerita, dan setiap cerita membuat kita sadar sistem keuangan bukan cuma soal angka, tapi juga perjalanan bangsa.

Lebih jauh ia menjelaskan sebelum kemerdekaan, masih banyak perjalanan sejarah uang di Indonesia. Sebab sebelum merdeka, republik ini juga melewati penjajahan Jepang. Semasa pendudukan Jepang, semua kebijakan keuangan berubah. Namun nilai Gulden dan Rupiah Hindia Belanda tetap dipertahankan dengan melarang penggunaan mata uang lain. Jepang juga menerbitkan dan mengedarkan mata uang kertas dalam beberapa kali emisi yang disebut uang invasi bertuliskan ‘Pemerintah Dai Nippon’.

Gambar uang kertas mengakomodasi budaya asli Indonesia kala itu. Misalnya wayang orang dan Candi Borobudur pada mata uang kertas 10 Roepiah dan masih banyak lainnya. Bukan hanya itu, koleksi di museum ini sangat beragam. Di antaranya koin dari era kerajaan Nusantara, uang kertas pertama Oeang Republik Indonesia (ORI) tahun 1946, hingga Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) yang diterbitkan pada masa revolusi 1947–1950.

Baca Juga :  KSOP Jayapura:  Januari-April 2024 Kunjungan Kapal Penumpang Sebanyak 60 Kali

“Sejak 1947, ORIDA ini terbit antara lain di Provinsi Sumatra, Banten, Tapanuli, dan Banda Aceh. Kalau ORI berlaku di seluruh republik, sedangkan ORIDA hanya di daerah masing-masing,” ujar Nia yang masih setia memberikan penjelasan pada rombongan dari Papua. Melangkah ke lantai dasar terdapat mesin cetak uang dan uang kertas pertama di Indonesia yang kini tersimpan rapih di etalase khusus dengan cahaya lampu yang telah diatur sedemikian rupa.

Koleksi lain yang menarik adalah Ruang Emas Moneter, tempat dipajang replika emas batangan seberat 13,5 kilogram per batang. Tak ketinggalan, museum juga memamerkan artefak Krisis Moneter 1998, seperti mesin ATM rusak hingga motor bekas dibakar, yang menggambarkan kekacauan ekonomi saat itu.

Baca Juga :  Diikuti 5 Paslon, Pendaftaran Cakada  Kab, Jayapura Aman dan Tertib

Dalam penelusurannya, semua hal tentang sistem keuangan tersaji di lokasi tersebut. Bukan hanya tentang perjalanan panjangnya saja, namun penjelasan tentang bangunan yang dulunya De Javasche Bank dan saat ini mejadi Museum BI dirincikan secara detail dan mewah. Sejumlah ornamen tiang penyangga maupun dinding hasil arsitektur sang maestro Eduard Cuypers, memiliki makna tersembunyi.

Seperti halnya, motif hias bunga convolvulus dengan kelopak-kelopak ikal di ujungnya yang memiliki arti, yakni bunga convolvulus melambangkan kerendahan hati. Hiasan bunga diapit oleh volute atau gulungan berbentuk huruf S yang saling membelakangi. Pak Andi pemandu lain Museum BI juga menunjukkan sejumlah patung yang memperlihatkan bagaimana suasana jaman dulu gedung tersebut beroperasi dan menjadi sejarah panjang perjalanan dunia keuangan.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya