Friday, March 29, 2024
29.7 C
Jayapura

Keluarga Belum Bisa Terima, Masih Berjuang Menuntut Keadilan

Satu Tahun Meninggalnya Paul Fonataba, Mahasiswa FK Uncen

Kamis (13/1) kemarin, genap satu tahun Almarhum Fembri Paul G Fonataba, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (FK Uncen), meninggal dunia di Perumahan BPN Papua di Dok IX, Distrik Jayapura Utara. Meski sudah tahun, namun masih ada hal yang mengganjal dan sedang diperjuangkan pihak keluarga atas meninggalnya almarhum.

Laporan: Priyadi_Jayapura

Peringatan 1 tahun kematian Almarhum Paul Fonataba dilakukan dengan doa bersama bersama orang tua almarhum Gidion Fonataba dan Sarah serta keluarga dekat Elisa Benoni Titahena dan Gustaf Fonataba, dan doa dipimpin Pdt. Karel Maniani.

  Pdt. Karel Maniani mengakui, Almarhum Paul adalah cucunya yang baik, pendiam dan pintar, namun cara ia meninggal sangat disayangkan akibat dipersulitnya dalam menjalankan coas di RS Dok II Jayapura.  Seandainya almarhum menjadi seorang dokter, tentu adalah aset bagi Pemerintah Papua karena ini OAP dan salah satu pekerjaan mulia dan banyak dibutuhkan masyarakat di tanah Papua.

   “Namun sayang seribu sayang, kematian almarhum membuat kedua orang tuanya terpukul, karena dipersulitnya almarhum dalam menjadi seorang dokter oleh tim penguji, tentu ini harus ada pertanggung jawaban baik secara dunia dan akhirat.”ujarnya.

   Oleh karena itu, selama 1 tahun kedua orang tua almarhum meminta keadilan mendatangi berbagai institusi, lembaga untuk minta keadilan tentu dalam mengungkap apa penyebab meninggalnya anak semata wayangnya tentu ini hal yang wajar sebagai orang tua, bahkan akan ditempuh  jalur hukum tentu ini sangat bagus.

    Selaku keluarga almarhum, Elisa Benoni Titahena atau Sering disapa Eli mantan Hakim PN Kelas I Jayapura mengaku, dari kronologis yang yang ia baca dan dipelajari atas meninggalnya Paul Fonataba jelas, bahwa Paul ini mengalami tekanan dari salah satu tim penguji dokter di rumah sakit dok 2 karena sudah bertahun-tahun mengikuti Coas tidak diluluskan dan sudah banyak temannya lulus mendapatkan gelar dokter dan bekerja.

Baca Juga :  Sempat Terpikir Opsi Berpisah, tapi Suami Justru Menguatkannya

   Oleh karena itu, kalau ia memang ada kesalahan karena mengganti nilai dari E ke B dan diketahui penguji tersebut. Lalu Paul diskors selama satu semester tidak mengikuti mata kuliah. Dan skorsing/sanksi tersebut sudah dijalani, namun tetap saja dokter tersebut tidak mau memaafkan hingga pihak fakultas kedokteran Uncen memberikan solusi agar praktek Paul dipindahkan di rumah sakit Abepura tapi harus minta tanda tangan rekomendasi dari dokter penguji sebelumnya. Namun tetap saja tidak mau menandatangani. Hal inilah yang memicu depresinya Paul hingga dia sakit dan tak sadarkan diri jatuh ke bak kamar mandi hingga meninggal dunia.

   “Kami selaku keluarga juga mendukung orang tua almarhum untuk menuntut keadilan karena ini sudah tidak benar, seorang penguji harusnya tidak boleh seperti itu. Apalagi,  ia juga cukup cerdas dari 16 mata kuliah,  hanya 1 saja yang ia dapat nilai jelek dan sudah berusaha memperbaiki, namun dokter penguji ini tidak memberi kesempatan tentu ini sangat disayangkan mental dari dokter tersebut,”keluhnya.

   Eli mengaku, memang Paul sudah meninggal dunia, namun jangan ada lagi Paul-Paul berikutnya yang menyusul seperti Paul. Orang tua sudah banting tulang bekerja untuk anak tunggalnya ini, biar menjadi seorang dokter dan membantu masyarakat dalam pelayanan kesehatan, namun harapan ini Pupus dan tidak bisa tergantikan lagi.

   Sementara itu, orang tua Almarhum Gidion Fonataba dan Sarah mengaku, peringatan meninggalnya 1 tahun anak semata wayangnya tetap dilakukan. Sebab, ia masih menuntut keadilan. Selama ini ia sudah bertemu dengan pejabat di Papua, LBH Papua, Ombudsman Papua, Komnas HAM Papua. Hasilnya memang belum terlihat.

Baca Juga :  Butuh Donatur Tetap Untuk Kebutuhan Harian, Termasuk Biaya Pendidikan

  Namun ia tetap berusaha semaksimal mungkin untuk membuka tabir kenapa anaknya bisa meninggal dengan cara begitu. Bahkan, Gidion  dan istri sejak kejadian itu tidak bisa tidur dengan tenang, hanya bisa menutup mata satu jam dalam sehari akibat terpikir anaknya bisa meninggal secepat itu dan caranya begitu.

   Sang ibu, Sarah juga hanya bisa menangis ketika melihat  foto anaknya. Cara meninggalnya dan pemicu meninggalnya almarhum yang belum bisa diterima. “Kenapa bisa begitu, salah dia apa? Ana saya  tidak nakal, tidak juga bodoh kenapa dipersulit? Praktek di rumah sakit Dok II sampai bertahun-tahun tentu pasti ada sebabnya? kenapa ia juga dikasih nilai jelek hingga dia bersama temannya tidak diluluskan?” ungkap Sarah meluapkan beban di hatinya.

   Sementara itu, paman almarhum, Gustaf Fonataba jika memang keadilan tidak didapatkan secara baik dan terbuka melalui proses yang telah dilakukan saat ini, nanti permasalahan ini akan ditempuh ke Jalan hukum berdasarkan dengan bukti yang telah ada baik dari teman almarhum maupun riwayat almarhum dalam mengikuti pembelajaran di fakultas kedokteran Uncen.

    Apakah memang ia sering bermasalah atau tidak, karena ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan kenapa dalam mengikuti praktek di RSUD Jayapura, kok bisa sampai bertahun-tahun.

  “Tentu harus ada alasannya juga, apalagi informasi dari orang tua almarhum ada yang mengikuti praktek hanya melalui online juga bisa diluluskan.”ungkapnya.

  Itu sebabnya, ia akan laporkan masalah ini ke Polda Papua, bahkan ke tingkat nasional. Harus diusut sampai tuntas. Tidak boleh ada pembiaran terhadap oknum yang menghambat pendidikan di Tanah Papua, kasus ini harus terang.(*/tri)

Satu Tahun Meninggalnya Paul Fonataba, Mahasiswa FK Uncen

Kamis (13/1) kemarin, genap satu tahun Almarhum Fembri Paul G Fonataba, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih (FK Uncen), meninggal dunia di Perumahan BPN Papua di Dok IX, Distrik Jayapura Utara. Meski sudah tahun, namun masih ada hal yang mengganjal dan sedang diperjuangkan pihak keluarga atas meninggalnya almarhum.

Laporan: Priyadi_Jayapura

Peringatan 1 tahun kematian Almarhum Paul Fonataba dilakukan dengan doa bersama bersama orang tua almarhum Gidion Fonataba dan Sarah serta keluarga dekat Elisa Benoni Titahena dan Gustaf Fonataba, dan doa dipimpin Pdt. Karel Maniani.

  Pdt. Karel Maniani mengakui, Almarhum Paul adalah cucunya yang baik, pendiam dan pintar, namun cara ia meninggal sangat disayangkan akibat dipersulitnya dalam menjalankan coas di RS Dok II Jayapura.  Seandainya almarhum menjadi seorang dokter, tentu adalah aset bagi Pemerintah Papua karena ini OAP dan salah satu pekerjaan mulia dan banyak dibutuhkan masyarakat di tanah Papua.

   “Namun sayang seribu sayang, kematian almarhum membuat kedua orang tuanya terpukul, karena dipersulitnya almarhum dalam menjadi seorang dokter oleh tim penguji, tentu ini harus ada pertanggung jawaban baik secara dunia dan akhirat.”ujarnya.

   Oleh karena itu, selama 1 tahun kedua orang tua almarhum meminta keadilan mendatangi berbagai institusi, lembaga untuk minta keadilan tentu dalam mengungkap apa penyebab meninggalnya anak semata wayangnya tentu ini hal yang wajar sebagai orang tua, bahkan akan ditempuh  jalur hukum tentu ini sangat bagus.

    Selaku keluarga almarhum, Elisa Benoni Titahena atau Sering disapa Eli mantan Hakim PN Kelas I Jayapura mengaku, dari kronologis yang yang ia baca dan dipelajari atas meninggalnya Paul Fonataba jelas, bahwa Paul ini mengalami tekanan dari salah satu tim penguji dokter di rumah sakit dok 2 karena sudah bertahun-tahun mengikuti Coas tidak diluluskan dan sudah banyak temannya lulus mendapatkan gelar dokter dan bekerja.

Baca Juga :  Butuh Donatur Tetap Untuk Kebutuhan Harian, Termasuk Biaya Pendidikan

   Oleh karena itu, kalau ia memang ada kesalahan karena mengganti nilai dari E ke B dan diketahui penguji tersebut. Lalu Paul diskors selama satu semester tidak mengikuti mata kuliah. Dan skorsing/sanksi tersebut sudah dijalani, namun tetap saja dokter tersebut tidak mau memaafkan hingga pihak fakultas kedokteran Uncen memberikan solusi agar praktek Paul dipindahkan di rumah sakit Abepura tapi harus minta tanda tangan rekomendasi dari dokter penguji sebelumnya. Namun tetap saja tidak mau menandatangani. Hal inilah yang memicu depresinya Paul hingga dia sakit dan tak sadarkan diri jatuh ke bak kamar mandi hingga meninggal dunia.

   “Kami selaku keluarga juga mendukung orang tua almarhum untuk menuntut keadilan karena ini sudah tidak benar, seorang penguji harusnya tidak boleh seperti itu. Apalagi,  ia juga cukup cerdas dari 16 mata kuliah,  hanya 1 saja yang ia dapat nilai jelek dan sudah berusaha memperbaiki, namun dokter penguji ini tidak memberi kesempatan tentu ini sangat disayangkan mental dari dokter tersebut,”keluhnya.

   Eli mengaku, memang Paul sudah meninggal dunia, namun jangan ada lagi Paul-Paul berikutnya yang menyusul seperti Paul. Orang tua sudah banting tulang bekerja untuk anak tunggalnya ini, biar menjadi seorang dokter dan membantu masyarakat dalam pelayanan kesehatan, namun harapan ini Pupus dan tidak bisa tergantikan lagi.

   Sementara itu, orang tua Almarhum Gidion Fonataba dan Sarah mengaku, peringatan meninggalnya 1 tahun anak semata wayangnya tetap dilakukan. Sebab, ia masih menuntut keadilan. Selama ini ia sudah bertemu dengan pejabat di Papua, LBH Papua, Ombudsman Papua, Komnas HAM Papua. Hasilnya memang belum terlihat.

Baca Juga :  Tak Bisa Berbuat di Tanah Pemerintah, Berharap Pemkot Segera Bangun Kembali

  Namun ia tetap berusaha semaksimal mungkin untuk membuka tabir kenapa anaknya bisa meninggal dengan cara begitu. Bahkan, Gidion  dan istri sejak kejadian itu tidak bisa tidur dengan tenang, hanya bisa menutup mata satu jam dalam sehari akibat terpikir anaknya bisa meninggal secepat itu dan caranya begitu.

   Sang ibu, Sarah juga hanya bisa menangis ketika melihat  foto anaknya. Cara meninggalnya dan pemicu meninggalnya almarhum yang belum bisa diterima. “Kenapa bisa begitu, salah dia apa? Ana saya  tidak nakal, tidak juga bodoh kenapa dipersulit? Praktek di rumah sakit Dok II sampai bertahun-tahun tentu pasti ada sebabnya? kenapa ia juga dikasih nilai jelek hingga dia bersama temannya tidak diluluskan?” ungkap Sarah meluapkan beban di hatinya.

   Sementara itu, paman almarhum, Gustaf Fonataba jika memang keadilan tidak didapatkan secara baik dan terbuka melalui proses yang telah dilakukan saat ini, nanti permasalahan ini akan ditempuh ke Jalan hukum berdasarkan dengan bukti yang telah ada baik dari teman almarhum maupun riwayat almarhum dalam mengikuti pembelajaran di fakultas kedokteran Uncen.

    Apakah memang ia sering bermasalah atau tidak, karena ini juga bisa menjadi bahan pertimbangan kenapa dalam mengikuti praktek di RSUD Jayapura, kok bisa sampai bertahun-tahun.

  “Tentu harus ada alasannya juga, apalagi informasi dari orang tua almarhum ada yang mengikuti praktek hanya melalui online juga bisa diluluskan.”ungkapnya.

  Itu sebabnya, ia akan laporkan masalah ini ke Polda Papua, bahkan ke tingkat nasional. Harus diusut sampai tuntas. Tidak boleh ada pembiaran terhadap oknum yang menghambat pendidikan di Tanah Papua, kasus ini harus terang.(*/tri)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya