Friday, April 19, 2024
25.7 C
Jayapura

Dulu Semua Kecipratan Rezeki dari Pendulangan, Kini Banyak Yang Beralih

Ketika Cikal Bakal Berlian Tak Lagi Banyak Ditemukan di Martapura dan Sekitarnya (1)

Kawasan di mana intan terberat ketujuh di dunia pernah ditemukan itu kini bak kota mati. Pendulang tersisa bisa dihitung jari. Warga setempat kini sangat menunggu realisasi pembangunan museum intan yang diharapkan jadi pencaharian baru.

Agus Dwi Prasetyo, Banjarbaru

PAGI-pagi betul Saprizal sudah berangkat ke area pendulangan intan. Ditemani fajar menyingsing, pria yang akrab disapa Imin itu nyemplung ke dalam kubangan berisi air berwarna cokelat. Tak lama kemudian, dia mulai melinggang batu-batu kerikil bercampur tanah dan lumpur pasir.

Imin asyik menggoyang linggangan intan dari kayu berbentuk kerucut itu ketika Jawa Pos datang ke lokasi pendulangan yang tak jauh dari rumahnya di Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dengan wajah harap-harap cemas, pria yang mengenakan topi daun nipah khas Banjar itu sesekali mengurangi muatan air dalam linggangan.

”Susah sekarang dapat intan,” kata Imin sambil mengamati bibir linggangan yang berisi pasir dan kerikil.

Pagi itu, Imin sendirian mendulang intan. Hanya ’’ditemani’’ beberapa ekor sapi ternak yang digembala pemiliknya. Juga bangunan kasbuk, sejenis menara kayu untuk mengangkat bebatuan dan pasir dari galian atau kolong tambang. Sebagian material yang disaring tersebut mengalir ke kubangan air yang didulang Imin.

Pumpung merupakan satu di antara beberapa lokasi pendulangan intan semimodern di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru. Selain di perkampungan tersebut, pendulangan intan yang memadukan cara tradisional dengan teknologi modern seperti mesin pompa air semacam itu tercatat ada di Karawat, Danau Purun, Gambah, dan Paring Panggal.

Kota Banjarbaru di mana Cempaka berada merupakan pengembangan dari Kabupaten Banjar yang beribu kota di Martapura. Jika diurut dari arah Banjarmasin, ibu kota Kalsel, urutannya Banjarmasin-Kotabaru-Banjar.

Baik Cempaka maupun Martapura sama-sama kaya bijih intan, meski Martapura yang secara umum lebih kuat diasosiasikan dengan intan. Saat ini pendulangan intan hanya bisa ditemukan di Cempaka. Sedangkan di Martapura lebih pada penggosokan dan penjualan.

Baca Juga :  Semangat Membangun  Papua, Tidak Hanya Berhenti di Kota Jayapura

Konon, tradisi mendulang intan di kawasan tersebut ada sejak lama. Meski, tidak ada catatan pasti kapan kali pertama pendulangan dilakukan.

Menurut Djarani dalam bukunya Mendulang Intan di Martapura, sejarah pendulangan di kawasan Martapura dan sekitarnya ada sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Yang khas, tradisi mendulang intan di Martapura dan sekitarnya itu kental dengan nilai-nilai kehidupan serta takhayul. Dalam Mendulang Intan di Cempaka, Anggraini Antemas menulis bahwa pendulangan intan di kawasan tersebut menjadi peruntungan bagi masyarakat. Bukan hanya yang berasal dari Martapura, tapi juga kawasan lain di Kalsel.

Maklum, batu intan merupakan jenis permata langka bernilai tinggi sehingga menjadi incaran banyak orang. Bijih intan mentah yang disebut galuh oleh masyarakat Banjar itu adalah cikal bakal berlian. Untuk menjadi sebuah berlian, bijih intan lebih dulu dipotong, diasah, dan digosok oleh ’’ahlinya’’. Tidak sembarang orang punya keahlian itu.

Di Cempaka inilah intan Tri Sakti ditemukan pada 26 Agustus 1965. Majalah Sarinah No 119 terbitan 1987 menyebut Tri Sakti sebagai intan terberat ketujuh di dunia. Intan sebesar telur burung merpati tersebut ditaksir bernilai Rp 10 miliar pada waktu itu.

Sayang, torehan sejarah tersebut bersipunggung dengan kondisi pendulangan intan Cempaka saat ini. Sebagai pendulang yang masih bertahan, Imin mengaku ’’keguguran indaru’’ atau kejatuhan untung besar yang diharapkan tak kunjung menghampirinya beberapa tahun belakangan ini. Rata-rata pendapatannya tak lebih dari Rp 30 ribu sehari.

Kisah keberuntungan Keluarga Pak Kasim, yang diceritakan Anggraini dalam bukunya sebagai penemu intan Tri Sakti yang menggemparkan di era Presiden Soekarno, tak berlaku bagi Imin dkk sekarang ini. Atas alasan itulah, tak sedikit warga Pumpung yang sekarang beralih pekerjaan.

Baca Juga :  Berharap ada Tambahan Skill untuk Membuat Gerabah Model yang Lain

Mereka mencari peruntungan di tempat lain. ”Ada yang jadi tukang bangunan,” kata Riyoto, ketua RT 31, RW 10, Kelurahan Sungai Tiung.

Riyoto mengungkapkan, pendulangan intan Pumpung lesu sejak beberapa tahun sebelum pandemi Covid-19. Dia menyebut, bijih intan mentah yang dulu menjamur di pertambangan rakyat itu sudah tak banyak lagi ditemukan. ”Karena nggak ada hasilnya (dari mendulang intan, Red), mereka pindah kerjaan,” tutur pria asal Magelang, Jawa Tengah, itu.

Dia menambahkan, saat ini tinggal dua lokasi pendulangan di Pumpung. Salah satunya yang didulang Imin. Setiap lokasi pendulangan itu umumnya melibatkan delapan orang. Mulai pendulang, operator mesin pompa, hingga penjual. ”Kalau dulu banyak (lokasi pendulangan intan, Red). Hampir semua warga dapat kerjaan dari pendulangan,” ujarnya.

Lesunya aktivitas pertambangan intan yang dikelola masyarakat setempat itu diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19. Menurut Riyoto, jumlah pengunjung dan wisatawan yang datang ke kampung wisata intan itu menurun drastis selama Covid-19. ’’Terlalu banyak kegiatan yang dibatasi,” keluhnya.   

Riyoto menuturkan, pendapatan warga di lingkungan tersebut kini tak menentu. Bahkan, mereka kerap berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk sekadar mencukupi kebutuhan harian. Padahal, sebelum aktivitas pendulangan ’’mati’’, hampir mayoritas penduduk yang tinggal di sepanjang Jalan Tri Sakti, Pumpung, tersebut membuka warung dan kios.

Ada yang menjual makanan dan minuman. Atau membuka kios aksesori permata dan berlian. Namun, saat ini, warung dan kios itu tak sedikit yang gulung tikar lantaran sepinya kunjungan.

Harapan baru kini disematkan pada rencana pemerintah untuk ’’menyelamatkan” kampung wisata intan tersebut. Lewat pembangunan museum intan.

Lokasinya tak jauh dari pendulangan dan bekas pasar intan di Pumpung. Namun, hingga sekarang, rencana itu baru sebatas pembebasan lahan. Belum terealisasi. ”Kami sudah ngomong agar warga kami dilibatkan (di museum, Red),” ujarnya. (*/c17/ttg/JPG)

Ketika Cikal Bakal Berlian Tak Lagi Banyak Ditemukan di Martapura dan Sekitarnya (1)

Kawasan di mana intan terberat ketujuh di dunia pernah ditemukan itu kini bak kota mati. Pendulang tersisa bisa dihitung jari. Warga setempat kini sangat menunggu realisasi pembangunan museum intan yang diharapkan jadi pencaharian baru.

Agus Dwi Prasetyo, Banjarbaru

PAGI-pagi betul Saprizal sudah berangkat ke area pendulangan intan. Ditemani fajar menyingsing, pria yang akrab disapa Imin itu nyemplung ke dalam kubangan berisi air berwarna cokelat. Tak lama kemudian, dia mulai melinggang batu-batu kerikil bercampur tanah dan lumpur pasir.

Imin asyik menggoyang linggangan intan dari kayu berbentuk kerucut itu ketika Jawa Pos datang ke lokasi pendulangan yang tak jauh dari rumahnya di Pumpung, Kelurahan Sungai Tiung, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dengan wajah harap-harap cemas, pria yang mengenakan topi daun nipah khas Banjar itu sesekali mengurangi muatan air dalam linggangan.

”Susah sekarang dapat intan,” kata Imin sambil mengamati bibir linggangan yang berisi pasir dan kerikil.

Pagi itu, Imin sendirian mendulang intan. Hanya ’’ditemani’’ beberapa ekor sapi ternak yang digembala pemiliknya. Juga bangunan kasbuk, sejenis menara kayu untuk mengangkat bebatuan dan pasir dari galian atau kolong tambang. Sebagian material yang disaring tersebut mengalir ke kubangan air yang didulang Imin.

Pumpung merupakan satu di antara beberapa lokasi pendulangan intan semimodern di Kecamatan Cempaka, Banjarbaru. Selain di perkampungan tersebut, pendulangan intan yang memadukan cara tradisional dengan teknologi modern seperti mesin pompa air semacam itu tercatat ada di Karawat, Danau Purun, Gambah, dan Paring Panggal.

Kota Banjarbaru di mana Cempaka berada merupakan pengembangan dari Kabupaten Banjar yang beribu kota di Martapura. Jika diurut dari arah Banjarmasin, ibu kota Kalsel, urutannya Banjarmasin-Kotabaru-Banjar.

Baik Cempaka maupun Martapura sama-sama kaya bijih intan, meski Martapura yang secara umum lebih kuat diasosiasikan dengan intan. Saat ini pendulangan intan hanya bisa ditemukan di Cempaka. Sedangkan di Martapura lebih pada penggosokan dan penjualan.

Baca Juga :  Ubah Pola Hidup Tidak Sehat dan Cegah Penyakit Menular Pada Ibu Hamil

Konon, tradisi mendulang intan di kawasan tersebut ada sejak lama. Meski, tidak ada catatan pasti kapan kali pertama pendulangan dilakukan.

Menurut Djarani dalam bukunya Mendulang Intan di Martapura, sejarah pendulangan di kawasan Martapura dan sekitarnya ada sejak zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda.

Yang khas, tradisi mendulang intan di Martapura dan sekitarnya itu kental dengan nilai-nilai kehidupan serta takhayul. Dalam Mendulang Intan di Cempaka, Anggraini Antemas menulis bahwa pendulangan intan di kawasan tersebut menjadi peruntungan bagi masyarakat. Bukan hanya yang berasal dari Martapura, tapi juga kawasan lain di Kalsel.

Maklum, batu intan merupakan jenis permata langka bernilai tinggi sehingga menjadi incaran banyak orang. Bijih intan mentah yang disebut galuh oleh masyarakat Banjar itu adalah cikal bakal berlian. Untuk menjadi sebuah berlian, bijih intan lebih dulu dipotong, diasah, dan digosok oleh ’’ahlinya’’. Tidak sembarang orang punya keahlian itu.

Di Cempaka inilah intan Tri Sakti ditemukan pada 26 Agustus 1965. Majalah Sarinah No 119 terbitan 1987 menyebut Tri Sakti sebagai intan terberat ketujuh di dunia. Intan sebesar telur burung merpati tersebut ditaksir bernilai Rp 10 miliar pada waktu itu.

Sayang, torehan sejarah tersebut bersipunggung dengan kondisi pendulangan intan Cempaka saat ini. Sebagai pendulang yang masih bertahan, Imin mengaku ’’keguguran indaru’’ atau kejatuhan untung besar yang diharapkan tak kunjung menghampirinya beberapa tahun belakangan ini. Rata-rata pendapatannya tak lebih dari Rp 30 ribu sehari.

Kisah keberuntungan Keluarga Pak Kasim, yang diceritakan Anggraini dalam bukunya sebagai penemu intan Tri Sakti yang menggemparkan di era Presiden Soekarno, tak berlaku bagi Imin dkk sekarang ini. Atas alasan itulah, tak sedikit warga Pumpung yang sekarang beralih pekerjaan.

Baca Juga :  Polsek Abepura Jadi Barometer, Butuh Dukungan Masyarakat Jaga Kamtibmas

Mereka mencari peruntungan di tempat lain. ”Ada yang jadi tukang bangunan,” kata Riyoto, ketua RT 31, RW 10, Kelurahan Sungai Tiung.

Riyoto mengungkapkan, pendulangan intan Pumpung lesu sejak beberapa tahun sebelum pandemi Covid-19. Dia menyebut, bijih intan mentah yang dulu menjamur di pertambangan rakyat itu sudah tak banyak lagi ditemukan. ”Karena nggak ada hasilnya (dari mendulang intan, Red), mereka pindah kerjaan,” tutur pria asal Magelang, Jawa Tengah, itu.

Dia menambahkan, saat ini tinggal dua lokasi pendulangan di Pumpung. Salah satunya yang didulang Imin. Setiap lokasi pendulangan itu umumnya melibatkan delapan orang. Mulai pendulang, operator mesin pompa, hingga penjual. ”Kalau dulu banyak (lokasi pendulangan intan, Red). Hampir semua warga dapat kerjaan dari pendulangan,” ujarnya.

Lesunya aktivitas pertambangan intan yang dikelola masyarakat setempat itu diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19. Menurut Riyoto, jumlah pengunjung dan wisatawan yang datang ke kampung wisata intan itu menurun drastis selama Covid-19. ’’Terlalu banyak kegiatan yang dibatasi,” keluhnya.   

Riyoto menuturkan, pendapatan warga di lingkungan tersebut kini tak menentu. Bahkan, mereka kerap berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah untuk sekadar mencukupi kebutuhan harian. Padahal, sebelum aktivitas pendulangan ’’mati’’, hampir mayoritas penduduk yang tinggal di sepanjang Jalan Tri Sakti, Pumpung, tersebut membuka warung dan kios.

Ada yang menjual makanan dan minuman. Atau membuka kios aksesori permata dan berlian. Namun, saat ini, warung dan kios itu tak sedikit yang gulung tikar lantaran sepinya kunjungan.

Harapan baru kini disematkan pada rencana pemerintah untuk ’’menyelamatkan” kampung wisata intan tersebut. Lewat pembangunan museum intan.

Lokasinya tak jauh dari pendulangan dan bekas pasar intan di Pumpung. Namun, hingga sekarang, rencana itu baru sebatas pembebasan lahan. Belum terealisasi. ”Kami sudah ngomong agar warga kami dilibatkan (di museum, Red),” ujarnya. (*/c17/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya