Prof. Julius menilai, meski pergantian ini disayangkan karena Sri Mulyani adalah ikon internasional, secara pribadi ia memahami keputusan Presiden. “Sri Mulyani sudah belasan tahun menjadi Menkeu di era tiga presiden: SBY, Jokowi, dan kini Prabowo. Ada titik jenuh juga. Jadi, pergantian ini wajar,” jelasnya.
Ia juga mencatat, Purbaya tampaknya tidak akan mengubah drastis kebijakan fiskal yang sudah berjalan. “Yang saya senang, dalam pernyataannya Purbaya tidak bicara soal membuat kebijakan baru yang substansial. Ia lebih fokus mempercepat dan memperbaiki yang sudah ada. Itu penting, karena biasanya menteri baru justru membuat kebijakan baru yang bisa menimbulkan masalah,” katanya.
Menurutnya, pasar keuangan sempat bergejolak setelah reshuffle ini. Nilai rupiah melemah, mencerminkan kekhawatiran investor atas keberlanjutan kebijakan fiskal. Namun Prof. Julius berharap gejolak ini hanya bersifat sementara.
“Dengan pengalamannya di bidang makroekonomi, saya yakin Purbaya mampu merespons kondisi ini. Tantangannya memang berat: defisit fiskal yang harus dijaga, belanja negara yang cenderung besar, dan kebutuhan efisiensi yang mendesak,” terangnya.
Prof. Julius juga mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini masih bertumpu pada konsumsi domestik, yang menjaga laju pertumbuhan di kisaran 5 persen.
“Kalau efisiensi anggaran tidak segera dilakukan, akan sulit menjaga daya dorong fiskal dalam jangka panjang,” tambahnya.
Akhirnya, Prof. Julius menyimpulkan bahwa kehadiran Purbaya di kursi Menteri Keuangan bisa menjadi “win-win solution” bagi Indonesia. “Purbaya bisa meneruskan kebijakan yang sudah terbukti, sambil melakukan pembenahan di area yang masih lemah. Itu kuncinya. Tidak perlu merombak total, tapi memperkuat pondasi yang sudah ada,” tegasnya.