Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Dari Perahu Terbalik Bersama Bibit Mangrove Hingga Nyaris Didemo Para Bocah

Cerita Perjuangan Petronela Merauje Penerima Penghargaan Kalpataru 2023

Sebuah catatan sejarah di bidang lingkungan diukir di Kota Jayapura. Sosok perempuan asal Kampung Enggros, Petronela Merauje dinobatkan sebagai peraih Kalpataru kategori pembina lingkungan. Ini ceritanya pada Cenderawasih Pos.

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura

Sebuah wajah yang terlihat lelah nampak menuruni   eskalator  yang terhubung dengan garbarata di ruang VIP Room Bandara Sentani. Akses VIP sengaja siapkan oleh Dinas Kehutanan Lingkungan Provinsi guna proses penjemputan.  Untuk sesuatu yang spesial perlu dilakukan dengan cara spesial. Tak lama sosok seorang wanita menggunakan jaket jeans biru laut seragam dengan celana jeansnya turun mendekati  ruang tunggu.

   Sebuah kotak berwarna hijau besar berukuran sekitar 50 x 50 Cm terus berada di samping dibantu oleh seorang pria. Tak lama sosok Petronela Merauje terlihat dan langsung disambut oleh Kepala Dinas Kehutanan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Ir Jan Jap Ormuserai bersama istri dan para pejabat dinas lainnya.

  Ia diberi pengalungan bunga. Petronela memang terlihat lelah, namun ia tak bisa menahan rasa bangganya atas perjuangan yang dilakukan bersama tim Dinas Kehutanan maupun BBKSDA dan kelompoknya selama ini sehingga pada 5 Juni kemarin bertepatan dengan hari lingkungan hidup ia terpilih dan berhak menerima penghargaan Kalpataru yang diserahkan langsung oleh ibu Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar di Auditorium DR Soedjarwo Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

  Proses penjemputan kali ini terbilang cukup wah, pasalnya wanita kelahiran Kampung Enggros 12 Februari 1981 ini diarak dari Bandara Sentani hingga Dok V dan kembali ke Pantai Ciberi. Tak – tanggung – tanggung dalam proses ini ia didampingi sejumlah komunitas lingkungan yakni Rumah Bakau Jayapura, Forum Indonesia Muda, Volunter Greenpeace, maupun komunitas motor Honda PCX Chapter Jayapura, Komunitas Motor Box Papua  dan Indonesia  Escorting Ambulance (IEA) Jayapura termasuk dari Lintas Kejadian Kota Jayapura.

   Selama proses arak – arakan, Petronela didampingi Puteri Cilik Lingkungan, Jeslyn Quinn Puteri dan Puteri Ecowisata, Ezterlin Baransano. Sesampainya di Pantai Ciberi,   wanita alumni Asmi Jayapura ini langsung disambut dengan tari tarian adat oleh masyarakat kampung. Petronela terlihat menangis mengingat dalam nyanyian lagu yang dinyanyikan ada menyebut namanya.

   Di Cibery dilangsungkan penyambutan penerima penghargaan dan  penyerahan Petronela dari Pemerintah Provinsi Papua diwakili Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua kepada pihak adat.

Disini Petronela menyampaikan bahwa apa yang  dicapai itu  bukanlah hal yang gampang. Butuh kerja kerja dan proses yang cukup lama untuk mencapai pada titik ini.  Namun yang jelas ia menyatakan bahwa dirinya semakin termotivasi untuk terus bekerja dalam aspek lingkungan.

   “Saya terima ini bukan mimpi saya sebab itu hasil kerja – kerja yang dilakukan selama ini. Kerja itu kecil saja bagi manusia namun  bagi Tuhan ini sebuah pekerjaan besar,” kata Nela membuka penyampaiannya, Sabtu (10/6).

Ia menyampaikan untuk bisa masuk dalam 10 besar penerima  penghargaan ini bukannya hal yang mudah mengingat ia harus bertarung dengan 368 peserta dan ini membutuhkan sesuatu yang luar biasa. 

  Ia mengaku hanya sebagai alat yang dipakai oleh Tuhan untuk menjadi akses dan menyatakan bahwa Allah itu hidup. Nela mengkisahkan bahwa namanya bisa masuk ke dalam nominasi tak lepas dari sosok Jefri F.N Maurits dari KPH Kota yang berjuang keras hingga ia masuk. Ketika itu sore hari Jefri datang dan memastikan jika namanya yang akan masuk karena sudah memiliki beberapa bukti kerja.

   “Pak Jefri bilang dia senang karena melihat ada beberapa yang dikerjakan dan itu nyata.  Ia tak mau mengusulkan nama yang salah hingga  28 Maret  saya dinyatakan masuk 10 besar penerima penghargaan Kalpataru,” tambah Nela.

  Setelah itu saya mengikuti dua kali tes, ferifikasi virtual pada 13 April termasuk tim yang datang dan melihat kerja – kerjanya selama ini. Dari Raihan ini, bisa membuktikan bahwa perempuan kampung Enggros memiliki jati diri untuk menjaga dan terus merawat hutan yang tersisa.

Baca Juga :  Jelang Pemilu Tak Ada Atraksi Barongsai, Tetap Buat Meriah Saat Chap Goh Meh

  Nela menceritakan lagi setelah mendengar bahwa saya lolos sebagai penerima pada 29 Juni disitu saya meneteskan air mata dan menyampaikan terimakasih kepada Tuhan dan berharap dari anugerah ini tidak membuat ia sombong melainkan teap disibukkan dengan kegiatan lingkungan menanam untuk masyarakat di Teluk Yotefa.

  Dan ketika berkumpul dengan 368 peserta lainnya ternyata diketahui ada juga rekan dari provinsi lain yang dikenal. “Di situ ada teman -teman saya dan mereka memuji. Namun saya sampaikan bahwa barang ini (piala) orang Papua punya dan saya hanya sebagai alat saja untuk mengambil,” ceritanya.

Ajakan juga disampaikan kepada mama – mama di kampung bahwa adat dan budaya harus terus dijaga sebab itu menunjukkan  bahwa perempuan memiliki kapasitas yang luar biasa.

   Mengapa perempuan  ditempatkan ke dalam hutan, sebab menurut khidmad yang diketahui justru disitulah perempuan bisa eksis. Ketika ia berada di  hutan itu maka seorang pria tak boleh masuk. Itu menunjukkan kekuasaan dan hak agar laki – laki tidak masuk. Ketika perempuan tidak diberi tempat di para para adat maka laki – laki juga tak boleh masuk ke dalam hutan perempuan.

  “Ini artinya perempuan dan laki – laki memiliki hak yang sama. Kesetaraan gender harus terjaga. Kami tidak menginjak nilai – nilai adat tapi adat sendiri yang memberikan dan menunjukkan,” sambung Nela.

   Nela juga berharap setelah dirinya nanti akan ada Petronela Petronela lainnya  yang terus menyuarakan penyelamatan hutan dan lingkungan. Disini Petronela juga menyampaikan keinginannya setelah ini dimana sesuai dengan kategori yang diterima, ia ingin menjadi motivator bagi yang lain sebab selama ini pengalamannya justru diperoleh secara otodidak.

“Saya akan kerja hingga akhir hayat dan setelah saya harus ada petronela lainnya. Penghargaan ini ada saya semata – mata karena saya tapi karena perempuan yang ada di dalam hutan itu,” ujarnya merendah.

Nela ingat betul kerja kerja sebelum dirinya verada pada titik ini. Ketika itu ia dan kelompoknya hendak menanam bakau di samping Jembatan Yotefa dan semua bibit bakau sudah dimasukkan ke dalam perahu.

Setelah itu ia dan rekan – rekannya mendayung menuju lokasi namun karena muatan perahu terlalu berat akhirnya perahu terbalik dan tenggelam. Saat itu seluruh bibitnya ikut tenggelam dan akhirnya ia  dan timnya harus mengumpulkan bibit yang sudah berceceran di laut. “Itu salah satu cerita yang kadang mengharukan tapi juga lucu. Kami dan bibit tenggelam bersama,” kenangnya.

  Cerita lainnya adalah ketika ia memberikan pelatihan sampah daur ulang di Kampung Enggros dengan peserta anak – anak SD. Disitu bagi yang membuat hasil karya bagus maka akan mendapatkan hadiah. Hanya sayangnya pemberi hadiah atau sponsor tidak langsung menyerahkan sementara anak – anak sudah menunggu saat itu bahkan sampai 2 hari.

   “Anak – anak peserta lomba sudah kesal dan terus bertanya tanya kepada saya soal hadiah mereka. Saya akhirnya menjelaskan bahwa pasti diberikan. Untungnya mereka tidak mendemo saya,” imbuh.

  Penghargaan Kalpataru ini sekali lagi ditegaskan adalah milik masyarakat Engros dan milik orang Papua. Dirinya hanya meletakkan di rumah saja dan kalau ada yang mau datang untuk berfoto ia persilahkan.

“Tapi jangan hanya foto, kalau bisa menjadi motivasi. Motivasi    untuk memperbaiki Ciberi yang rusak karena abrasi, memperbaiki hutan mangrove yang rusak akibat penebangan dan penimbunan sebab hutan bakau itu adalah hutan untuk kehidupan bagi semua,” tegasnya.

  Petronela menyemangati bahwa ketika ia dipanggil untuk menerima penghargaan Kalpataru, dirinya meneteskan air mata karena merasa hanya seorang anak yang tinggal dipelosok kampung tapi kini ia berdiri di depan banyak orang dimata dunia. Ia teringat ibu Menteri ketika itu menitip pesan untuk menjaga hutan perempuan, bukan  hutan mangrove.

Baca Juga :  Warga Rela Antre Nikmati Wahana, Pengunjung Tertinggi Sejak Tahun 2010

”Itu pesan bu menteri, beliau menyebut hutan perempuan,” imbuhnya. Harapan lainnya kedepan kata Nela adalah bagaimana mendorong regulasi khusus untuk hutan perempuan dan hutan mangrove di Teluk Youtefa tutupnya. “Semoga,” tutupnya seraya berharap tokoh adat di Enggros dan Tobati   bersama-sama  turut serta dalam mendorong regulasi tersebut.

  Sementara, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Jan Jap Ormuserai menyampaikan bahwa capaian  Petronela ini adalah kemenangan bersama para pelaku, pegiat dan pecinta lingkungan.

Ia berharap ini menjadi pintu masuk bagi yang lain untuk bisa melakukan hal serupa, mengikuti jejak Petronela berjuang untuk melindungi hutan dan lingkungan. Saat ini tekanan terhadap hutan bakau cukup tinggi dan jika tak dipertahankan maka bisa saja hilang.

   Jan Ormuseray mengatakan ke depan tak boleh lagi ada penjualan tanah dengan lokasi hutan, tak boleh ada penebangan hutan oleh pihak manapun. Jika itu  hutan adat maka biarkan ia tetap menjadi hutan adat di teluk ini.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Jan. Jap. L. Ormuserai pada kesempatan itu mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menganugerahi 412 kalpataru sejak dimulai pada Tahun 1.980 silam.

Ia mengapresiasi Petronela Merauje dalam usahanya yang memang bukan termotivasi untuk menerima Kalpataru melaikan mengabdi secara individu maupun kelompok untuk hutan mangrove dan itu dilakukan 10 tahun terakhir.

“Apa yang dilakukan mama Petronela bukan muncul saat mau terima Kalpataru, tapi sudah dimulai sejak 10 tahun lebih. Dan Kalpataru adalah penghargaan untuk dirinya. Ini penghargaan tertinggi dibidang lingkungan hidup,” jelas Ormuserai.

   Ia meyakini ini menjadi spirit bagi Petronela untuk terus melakukan kerja kerja lingkungan terutama yang berkaitan dengan hutan bakau.   kesehariannya memang hidup dalam hutan bakau, jadi kalau setelah menerima Kalpataru akan redup kegiatannya, saya rasa tidak, karena ia sendiri telah mengabdikan hidupnya untuk magrove,” katanya lagi.

Selain itu Ormuserai menyampaikan soal kondisi Teluk Yotefa yang memang butuh penanganan dan perhatian serius. Ini perlu keterlibatan semua pihak untuk menjaga termasuk keterlibatan warga Kota Jayapura.

   Persoalan sampah salah satu yang cukup menonjol dimana kata Ormuserai jangan jadikan teluk ini sebagai tempat sampah raksasa.  Pasalnya sampah di teluk ini kebanyakan bersumber dari wilayah kota. Jika ini terus terbiar maka laut akan tercemar dan berdampak pada yang lain semisal biota laut yang berada di hutan mangrove hinga ke perairan lepas yang dihuni oleh ikan. 

  “Masih dalam suasana hari lingkungan hidup, kesadaran kita untuk memilah sampah itu penting dan apa yang sudah dimulai dari mama Petnorela dan juga komunitas lain harus kita contohi untuk menjadi gaya hidup karena tak bisa dipungkiri jika bumi saat ini semakin panas,” jelasnya.

   Lalu soal hutan bakau, kata Ormuserai hutan bakau dari kacamata Petronela adalah tempat kerjanya, tempat untuk beraktifitas dan tidak nyaman untuk bekerja ketika ada sampah.  Iapun berharap ada Petronela lainnya di Papua.

“Tadi disampaikan juga oleh tokoh adat bahwa ada banyak ikan – ikan yang mati di teluk. Jadi mari jadikan komitmen jangan jadikan Yotefa sebagai tempat raksasa. Semua dimulai dari hulu, dari Entrop, Pasar Yotefa, Kota Jayapura,” ajaknya.

   Kesadaran memilah sampah itu penting, sesuai tema hari lingkungan hidup adalah soal plastic harus dimulai. “Di Teluk Yotefa ditemukan kantong, botol dan sampah plastic sangat besar sehingga yang sudah dilakukan Petronela dan Rumah Bakau serta komunitas lain yang sudah berjalan perlu disuport termasuk dari pemerintah. Ini perlu menjadi gerakan untuk bijak dengan sampah sendiri,” tutup Ormuserai. (*)

Cerita Perjuangan Petronela Merauje Penerima Penghargaan Kalpataru 2023

Sebuah catatan sejarah di bidang lingkungan diukir di Kota Jayapura. Sosok perempuan asal Kampung Enggros, Petronela Merauje dinobatkan sebagai peraih Kalpataru kategori pembina lingkungan. Ini ceritanya pada Cenderawasih Pos.

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura

Sebuah wajah yang terlihat lelah nampak menuruni   eskalator  yang terhubung dengan garbarata di ruang VIP Room Bandara Sentani. Akses VIP sengaja siapkan oleh Dinas Kehutanan Lingkungan Provinsi guna proses penjemputan.  Untuk sesuatu yang spesial perlu dilakukan dengan cara spesial. Tak lama sosok seorang wanita menggunakan jaket jeans biru laut seragam dengan celana jeansnya turun mendekati  ruang tunggu.

   Sebuah kotak berwarna hijau besar berukuran sekitar 50 x 50 Cm terus berada di samping dibantu oleh seorang pria. Tak lama sosok Petronela Merauje terlihat dan langsung disambut oleh Kepala Dinas Kehutanan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Ir Jan Jap Ormuserai bersama istri dan para pejabat dinas lainnya.

  Ia diberi pengalungan bunga. Petronela memang terlihat lelah, namun ia tak bisa menahan rasa bangganya atas perjuangan yang dilakukan bersama tim Dinas Kehutanan maupun BBKSDA dan kelompoknya selama ini sehingga pada 5 Juni kemarin bertepatan dengan hari lingkungan hidup ia terpilih dan berhak menerima penghargaan Kalpataru yang diserahkan langsung oleh ibu Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar di Auditorium DR Soedjarwo Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

  Proses penjemputan kali ini terbilang cukup wah, pasalnya wanita kelahiran Kampung Enggros 12 Februari 1981 ini diarak dari Bandara Sentani hingga Dok V dan kembali ke Pantai Ciberi. Tak – tanggung – tanggung dalam proses ini ia didampingi sejumlah komunitas lingkungan yakni Rumah Bakau Jayapura, Forum Indonesia Muda, Volunter Greenpeace, maupun komunitas motor Honda PCX Chapter Jayapura, Komunitas Motor Box Papua  dan Indonesia  Escorting Ambulance (IEA) Jayapura termasuk dari Lintas Kejadian Kota Jayapura.

   Selama proses arak – arakan, Petronela didampingi Puteri Cilik Lingkungan, Jeslyn Quinn Puteri dan Puteri Ecowisata, Ezterlin Baransano. Sesampainya di Pantai Ciberi,   wanita alumni Asmi Jayapura ini langsung disambut dengan tari tarian adat oleh masyarakat kampung. Petronela terlihat menangis mengingat dalam nyanyian lagu yang dinyanyikan ada menyebut namanya.

   Di Cibery dilangsungkan penyambutan penerima penghargaan dan  penyerahan Petronela dari Pemerintah Provinsi Papua diwakili Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua kepada pihak adat.

Disini Petronela menyampaikan bahwa apa yang  dicapai itu  bukanlah hal yang gampang. Butuh kerja kerja dan proses yang cukup lama untuk mencapai pada titik ini.  Namun yang jelas ia menyatakan bahwa dirinya semakin termotivasi untuk terus bekerja dalam aspek lingkungan.

   “Saya terima ini bukan mimpi saya sebab itu hasil kerja – kerja yang dilakukan selama ini. Kerja itu kecil saja bagi manusia namun  bagi Tuhan ini sebuah pekerjaan besar,” kata Nela membuka penyampaiannya, Sabtu (10/6).

Ia menyampaikan untuk bisa masuk dalam 10 besar penerima  penghargaan ini bukannya hal yang mudah mengingat ia harus bertarung dengan 368 peserta dan ini membutuhkan sesuatu yang luar biasa. 

  Ia mengaku hanya sebagai alat yang dipakai oleh Tuhan untuk menjadi akses dan menyatakan bahwa Allah itu hidup. Nela mengkisahkan bahwa namanya bisa masuk ke dalam nominasi tak lepas dari sosok Jefri F.N Maurits dari KPH Kota yang berjuang keras hingga ia masuk. Ketika itu sore hari Jefri datang dan memastikan jika namanya yang akan masuk karena sudah memiliki beberapa bukti kerja.

   “Pak Jefri bilang dia senang karena melihat ada beberapa yang dikerjakan dan itu nyata.  Ia tak mau mengusulkan nama yang salah hingga  28 Maret  saya dinyatakan masuk 10 besar penerima penghargaan Kalpataru,” tambah Nela.

  Setelah itu saya mengikuti dua kali tes, ferifikasi virtual pada 13 April termasuk tim yang datang dan melihat kerja – kerjanya selama ini. Dari Raihan ini, bisa membuktikan bahwa perempuan kampung Enggros memiliki jati diri untuk menjaga dan terus merawat hutan yang tersisa.

Baca Juga :  Fasilitas Kuliah hingga Masalah Rumah Dinas Dosen Diminta Dibenahi

  Nela menceritakan lagi setelah mendengar bahwa saya lolos sebagai penerima pada 29 Juni disitu saya meneteskan air mata dan menyampaikan terimakasih kepada Tuhan dan berharap dari anugerah ini tidak membuat ia sombong melainkan teap disibukkan dengan kegiatan lingkungan menanam untuk masyarakat di Teluk Yotefa.

  Dan ketika berkumpul dengan 368 peserta lainnya ternyata diketahui ada juga rekan dari provinsi lain yang dikenal. “Di situ ada teman -teman saya dan mereka memuji. Namun saya sampaikan bahwa barang ini (piala) orang Papua punya dan saya hanya sebagai alat saja untuk mengambil,” ceritanya.

Ajakan juga disampaikan kepada mama – mama di kampung bahwa adat dan budaya harus terus dijaga sebab itu menunjukkan  bahwa perempuan memiliki kapasitas yang luar biasa.

   Mengapa perempuan  ditempatkan ke dalam hutan, sebab menurut khidmad yang diketahui justru disitulah perempuan bisa eksis. Ketika ia berada di  hutan itu maka seorang pria tak boleh masuk. Itu menunjukkan kekuasaan dan hak agar laki – laki tidak masuk. Ketika perempuan tidak diberi tempat di para para adat maka laki – laki juga tak boleh masuk ke dalam hutan perempuan.

  “Ini artinya perempuan dan laki – laki memiliki hak yang sama. Kesetaraan gender harus terjaga. Kami tidak menginjak nilai – nilai adat tapi adat sendiri yang memberikan dan menunjukkan,” sambung Nela.

   Nela juga berharap setelah dirinya nanti akan ada Petronela Petronela lainnya  yang terus menyuarakan penyelamatan hutan dan lingkungan. Disini Petronela juga menyampaikan keinginannya setelah ini dimana sesuai dengan kategori yang diterima, ia ingin menjadi motivator bagi yang lain sebab selama ini pengalamannya justru diperoleh secara otodidak.

“Saya akan kerja hingga akhir hayat dan setelah saya harus ada petronela lainnya. Penghargaan ini ada saya semata – mata karena saya tapi karena perempuan yang ada di dalam hutan itu,” ujarnya merendah.

Nela ingat betul kerja kerja sebelum dirinya verada pada titik ini. Ketika itu ia dan kelompoknya hendak menanam bakau di samping Jembatan Yotefa dan semua bibit bakau sudah dimasukkan ke dalam perahu.

Setelah itu ia dan rekan – rekannya mendayung menuju lokasi namun karena muatan perahu terlalu berat akhirnya perahu terbalik dan tenggelam. Saat itu seluruh bibitnya ikut tenggelam dan akhirnya ia  dan timnya harus mengumpulkan bibit yang sudah berceceran di laut. “Itu salah satu cerita yang kadang mengharukan tapi juga lucu. Kami dan bibit tenggelam bersama,” kenangnya.

  Cerita lainnya adalah ketika ia memberikan pelatihan sampah daur ulang di Kampung Enggros dengan peserta anak – anak SD. Disitu bagi yang membuat hasil karya bagus maka akan mendapatkan hadiah. Hanya sayangnya pemberi hadiah atau sponsor tidak langsung menyerahkan sementara anak – anak sudah menunggu saat itu bahkan sampai 2 hari.

   “Anak – anak peserta lomba sudah kesal dan terus bertanya tanya kepada saya soal hadiah mereka. Saya akhirnya menjelaskan bahwa pasti diberikan. Untungnya mereka tidak mendemo saya,” imbuh.

  Penghargaan Kalpataru ini sekali lagi ditegaskan adalah milik masyarakat Engros dan milik orang Papua. Dirinya hanya meletakkan di rumah saja dan kalau ada yang mau datang untuk berfoto ia persilahkan.

“Tapi jangan hanya foto, kalau bisa menjadi motivasi. Motivasi    untuk memperbaiki Ciberi yang rusak karena abrasi, memperbaiki hutan mangrove yang rusak akibat penebangan dan penimbunan sebab hutan bakau itu adalah hutan untuk kehidupan bagi semua,” tegasnya.

  Petronela menyemangati bahwa ketika ia dipanggil untuk menerima penghargaan Kalpataru, dirinya meneteskan air mata karena merasa hanya seorang anak yang tinggal dipelosok kampung tapi kini ia berdiri di depan banyak orang dimata dunia. Ia teringat ibu Menteri ketika itu menitip pesan untuk menjaga hutan perempuan, bukan  hutan mangrove.

Baca Juga :  Proses Sidang Harus Cepat, Siapkan Tiga Hakim Untuk Sidang Sampai Malam   

”Itu pesan bu menteri, beliau menyebut hutan perempuan,” imbuhnya. Harapan lainnya kedepan kata Nela adalah bagaimana mendorong regulasi khusus untuk hutan perempuan dan hutan mangrove di Teluk Youtefa tutupnya. “Semoga,” tutupnya seraya berharap tokoh adat di Enggros dan Tobati   bersama-sama  turut serta dalam mendorong regulasi tersebut.

  Sementara, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Jan Jap Ormuserai menyampaikan bahwa capaian  Petronela ini adalah kemenangan bersama para pelaku, pegiat dan pecinta lingkungan.

Ia berharap ini menjadi pintu masuk bagi yang lain untuk bisa melakukan hal serupa, mengikuti jejak Petronela berjuang untuk melindungi hutan dan lingkungan. Saat ini tekanan terhadap hutan bakau cukup tinggi dan jika tak dipertahankan maka bisa saja hilang.

   Jan Ormuseray mengatakan ke depan tak boleh lagi ada penjualan tanah dengan lokasi hutan, tak boleh ada penebangan hutan oleh pihak manapun. Jika itu  hutan adat maka biarkan ia tetap menjadi hutan adat di teluk ini.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Jan. Jap. L. Ormuserai pada kesempatan itu mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menganugerahi 412 kalpataru sejak dimulai pada Tahun 1.980 silam.

Ia mengapresiasi Petronela Merauje dalam usahanya yang memang bukan termotivasi untuk menerima Kalpataru melaikan mengabdi secara individu maupun kelompok untuk hutan mangrove dan itu dilakukan 10 tahun terakhir.

“Apa yang dilakukan mama Petronela bukan muncul saat mau terima Kalpataru, tapi sudah dimulai sejak 10 tahun lebih. Dan Kalpataru adalah penghargaan untuk dirinya. Ini penghargaan tertinggi dibidang lingkungan hidup,” jelas Ormuserai.

   Ia meyakini ini menjadi spirit bagi Petronela untuk terus melakukan kerja kerja lingkungan terutama yang berkaitan dengan hutan bakau.   kesehariannya memang hidup dalam hutan bakau, jadi kalau setelah menerima Kalpataru akan redup kegiatannya, saya rasa tidak, karena ia sendiri telah mengabdikan hidupnya untuk magrove,” katanya lagi.

Selain itu Ormuserai menyampaikan soal kondisi Teluk Yotefa yang memang butuh penanganan dan perhatian serius. Ini perlu keterlibatan semua pihak untuk menjaga termasuk keterlibatan warga Kota Jayapura.

   Persoalan sampah salah satu yang cukup menonjol dimana kata Ormuserai jangan jadikan teluk ini sebagai tempat sampah raksasa.  Pasalnya sampah di teluk ini kebanyakan bersumber dari wilayah kota. Jika ini terus terbiar maka laut akan tercemar dan berdampak pada yang lain semisal biota laut yang berada di hutan mangrove hinga ke perairan lepas yang dihuni oleh ikan. 

  “Masih dalam suasana hari lingkungan hidup, kesadaran kita untuk memilah sampah itu penting dan apa yang sudah dimulai dari mama Petnorela dan juga komunitas lain harus kita contohi untuk menjadi gaya hidup karena tak bisa dipungkiri jika bumi saat ini semakin panas,” jelasnya.

   Lalu soal hutan bakau, kata Ormuserai hutan bakau dari kacamata Petronela adalah tempat kerjanya, tempat untuk beraktifitas dan tidak nyaman untuk bekerja ketika ada sampah.  Iapun berharap ada Petronela lainnya di Papua.

“Tadi disampaikan juga oleh tokoh adat bahwa ada banyak ikan – ikan yang mati di teluk. Jadi mari jadikan komitmen jangan jadikan Yotefa sebagai tempat raksasa. Semua dimulai dari hulu, dari Entrop, Pasar Yotefa, Kota Jayapura,” ajaknya.

   Kesadaran memilah sampah itu penting, sesuai tema hari lingkungan hidup adalah soal plastic harus dimulai. “Di Teluk Yotefa ditemukan kantong, botol dan sampah plastic sangat besar sehingga yang sudah dilakukan Petronela dan Rumah Bakau serta komunitas lain yang sudah berjalan perlu disuport termasuk dari pemerintah. Ini perlu menjadi gerakan untuk bijak dengan sampah sendiri,” tutup Ormuserai. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya