Melihat Catatan LBH Apik dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang dimulai sejak 25 November segera berakhir. Namun di Jayapura, isu kekerasan terhadap perempuan masih menjadi kenyataan yang terus mengetuk pintu banyak rumah.
Laporan: Elfira_Jayapura
Di balik rangkaian kegiatan kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, ada cerita-cerita yang tidak selalu terlihat. Cerita tentang perempuan yang masih menghadapi kekerasan fisik maupun verbal. Selain yang terungkap di permukaan ini, diyakini masih banyak kasus kekerasan yang dialami para perempuan di Papua, namun korban enggan untuk melaporkannya.
Entah karena rasa malu dengan lingkungan sosial di mana mereka tinggal, maupun ketidakpercayaan diri kaum perempuan, karena selama ini kebutuhan ekonominya tergantung dari pelaku, yang sering kali adalah orang dekat, atau bahkan paangan hidupnya.
Di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Jayapura, data menunjukkan 200 perempuan di Papua mengalami kekerasan dalam lima tahun terakhir, dengan 155 kasus yang tercatat secara resmi. Para korban sebagian besar adalah perempuan yang bekerja sekaligus mengurus keluarga.
“Sebanyak 200 orang ini rata-rata adalah perempuan yang punya pekerjaan dan juga ibu rumah tangga,” kata Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila, Selasa (9/12).
Bentuk kekerasan itu beragam, ada kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan dalam perkawinan, hingga tindakan yang dilakukan orang-orang terdekat korban. Untuk kasus KDRT, sebagian dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, tetapi beberapa harus berlanjut hingga pengadilan.
Melihat Catatan LBH Apik dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) yang dimulai sejak 25 November segera berakhir. Namun di Jayapura, isu kekerasan terhadap perempuan masih menjadi kenyataan yang terus mengetuk pintu banyak rumah.
Laporan: Elfira_Jayapura
Di balik rangkaian kegiatan kampanye Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, ada cerita-cerita yang tidak selalu terlihat. Cerita tentang perempuan yang masih menghadapi kekerasan fisik maupun verbal. Selain yang terungkap di permukaan ini, diyakini masih banyak kasus kekerasan yang dialami para perempuan di Papua, namun korban enggan untuk melaporkannya.
Entah karena rasa malu dengan lingkungan sosial di mana mereka tinggal, maupun ketidakpercayaan diri kaum perempuan, karena selama ini kebutuhan ekonominya tergantung dari pelaku, yang sering kali adalah orang dekat, atau bahkan paangan hidupnya.
Di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (Apik) Jayapura, data menunjukkan 200 perempuan di Papua mengalami kekerasan dalam lima tahun terakhir, dengan 155 kasus yang tercatat secara resmi. Para korban sebagian besar adalah perempuan yang bekerja sekaligus mengurus keluarga.
“Sebanyak 200 orang ini rata-rata adalah perempuan yang punya pekerjaan dan juga ibu rumah tangga,” kata Direktur LBH Apik Jayapura, Nur Aida Duwila, Selasa (9/12).
Bentuk kekerasan itu beragam, ada kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pemerkosaan dalam perkawinan, hingga tindakan yang dilakukan orang-orang terdekat korban. Untuk kasus KDRT, sebagian dapat diselesaikan melalui pendekatan restorative justice, tetapi beberapa harus berlanjut hingga pengadilan.