Sunday, April 28, 2024
24.7 C
Jayapura

Komnas HAM Menjadi Penengah, TNI/Polri dan Egianus Diminta Tunjuk Negosiatornya

Upaya Komnas HAM Perwakilan Papua Dalam Pembebasan Pilot Susi Air yang Disandera

Sudah tiga bulan pilot susi air disandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Egianus Kogoya, Lalu Bagaimana upaya Komnas HAM Perwakilan Papua menjalankan tugasnya agar pilot tersebut dapat bebas tanpa adanya korban dan terjadinya pelanggaran HAM, Berikut Bincang-Bincang Cenderawasih Pos Bersama Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua, Frits Ramandey.

Laporan: A. Buendi Ginting- Kota Jayapura

Komnas HAM Perwakilan Papua dalam melihat kasus penyanderaan Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens di Distrik Paro Kabupaten Nduga pada 7 Februari lalu adalah sebuat insiden yang sudah direncanakan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Egianus Kogoya.

Setelah peristiwa penyenderaan tersebut pada 7 Februari lalu, satu minggu setelah kejadian tersebut Komnas HAM Papua langsung melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Mimika, sebelumnya dirinya telah menghubungi berbagai pihak seperti Kapolda, Pangdam, mitra Komnas HAM yang ada di Kabupaten Mimika, Nduga, Lanny Jaya, Wamena, Intan Jaya hingga yang ada di Paniai dan didapatkan sejumlah informasi mengenai penyenderaan tersebut.

“Saya datang ke Timika karena dari aspek tranpormasi dari Timika sangat dekat ke Kenyam Kabupaten Nduga yang tranpormasinya lancer. Di Timika saya bertemu dengan berbagai pihak yang mengetahui secara langsung bagaimana sebelum kejadian dan sesudah kejadian dan saya mendapatkan informasi kepada Komnas HAM,”Kata Frits.

Komnas HAM yang memiliki mandat untuk melakukan pemantauan berdasarkan pengaduan atau merespon sebuah kejadian. Kasus penyendraan pilot sendiri menurutnya bersekala Nasional karena yang disandera adalah warga Negara Selandia Baru dan posisi kasus tersebut adalah posisi yang menarik perhatian semua pihak.

Dari berbagai informasi yang Komnas HAM dapatkan kejadian tersebut sudah direncanakan dan Piliot tersebut menjadi korban. Komnas HAM juga sempat bertemu para pekerja pembangunan Puskesmas yang katanya sempat disandera juga.

“Mereka menggambarkan (Para pekerja) dari Distrik Paro lalu diantar kesuatu tempat itu, mereka menjelaskan siapa-siapa yang mengantar dan termasuk dimana nantinya akan dijemput dan mereka juga menjelaskan kejadian-kejadian sebelum terjadinya penyenderaan pilot,”Katanya.

Sebagai Lembaga Negara yang parsial, Komnas HAM bekerja untuk satu kepentingan yakni kepentingan kemanusiaan, Karena itu pihaknya sangat berkontribusi dalam menunjukkan keberadaan pilot melalui video yang dirilis kelompok Egianus Kogoya sehingga public mengetahui keberadaan pilot dan kondisi pilot waktu itu.

“Disitu Komnas berkontribusi, dimana paling tidak setelah saya ada di Timika, tiga hari kemudian ada video yang keluar. Itu bagian kecil kontribusi pekerjaan Komnas HAM. Kenapa video ini penting, karena dengan video itu public mengetahui keadaan dan keberadaan pilot,”Katanya.

Selain itu Komnas HAM juga berkomunikasi dengan pihak perusahaan dimana pilot tersebut bekerja dan juga berdiskusi dengan pihak Selandia Baru. Ia juga mengaku berkomunikasi dengan pihak yang menyandera yakni TPNPB. Ini menurutnya penting karena Komnas HAM sebagai Lembaga parsial harus melakukan fungsi mediasi.

Mediasi inilah menurutnya membutuhkan mediator, tentu sebagai pimpinan Komnas HAM Perwakilan Papua dirinya memposisikan dirinya sebagai komunikator bagi dua belah pihak guna meminimalisir jatuhnya korban dan pelanggaran HAM.

Disinggung mengenai bahwa video pilot yang sempat dirilis oleh TPNPB melalui juru bicaranya Seby Sembom apakah yang melakukan perekaman adalah pihak Komnas HAM?. Ia dengan tegas menampik hal tersebut dan menegaskan serta memastikan hal tersebut tidak benar.

“Saya pastikan itu tidak, bahwa kami berkontribusi agar video itu keluar iya. Saya harus menegaskan bukan orang Komnas HAM berkontribusi agar video itu keluar, Iya. Itu bagian dari negosiasi yang kami lakukan dan video itu penting untuk memastikan keberadaan pilot dan saya menyatakan kami berkomunikasi tapi saya tegaskan kami tidak berafiliasi ”tegasnya.

Dalam fungsi mediasi, fungsi pemantaun Komnas HAM dapat melakukan hal tersebut negosiasi.  Kominikasi Komnas HAM dengan TPNPB, TPNPB menyampaikan tetap pada pendiriannya yakni pilot akan dilepas asal Papua Merdeka. Komnas HAM menjelaskan bahwa hal tersebut diluar wewenang Komnas HAM dan sangat jauh dari tugas dan tanggungjawab Komnas HAM. Komnas HAM menjelaskan kepada pihak TPNPB mekanisme HAM.

“Kami juga berterima kasih, paling tidak sampai saat ini ada tiga video yang sudah dipublis tentang keberadaan pilot. Mereka berkomunikasi melalui juru bicaranya Seby Sembom dan terakhir mereka juga menyebut nama saya,”Katanya.

Disinggung mengenai tetap terjadinya peperangan yang memakan korban baik itu TNI/Polri atau TPNPB disaat negosiasi pembebasan dilakukan, menurut Frits kekerasan tidak dapat direspon dengan kekerasan karena hal tersebut bukan solusi dan hanya akan mengakibatkan kekerasan baru dan terjadilah siklus kekerasan yang tidak dapat dihentikan.

Jika berbicara solusi dalam mekanismenya adalah dialog dan perundingan atau apapun namanya karena hal tersebut hanya soal terminologi. Tapi penyelesaian konflik dimana-mana penyelesaiannya adalah dialog yang menjadi sarana yang rasional dan diakui semua mekanisme formal dan non formal dan tidak ada solusi lainnya.

Baca Juga :  Diharap Jadi Motivasi 86 Prodi Lain dan Berupaya Raih Akreditasi Internasional

“Dialog ini sangat penting karena berbagai pihak menyampaikan pandangannya, maksud dan kepentingan. Dialog mendekatkan solusi dan ini kita membutuhkan negosiator yang bisa individu atau Lembaga. Tetapi kita membutuhkan berbagai pihak dan itulah sekarang pada penyenderaan itu kita butuhkan figure itu dan ini yang belum ada,”Katanya.

“Bahwa sudah ada kurir-kurir yang masuk ke kelompok penyendera dan TNI/Polri benar sudah ada. Problemnya sekarang adalah siapa figure yang bisa diterima TPNPB dan diterima oleh Pemerintah. Tentu TNI/Polri adalah bagian proses pengamanan dan siapa yang perlu memberikan akses ini dan akses ini siapa?, bisa presiden, bisa Menkopolhukam, bisa Mendagri, Bisa Guburnur dan bisa Bupati dan berkomunikasi dengan Kapolda dan Pangdam,”Tambahnya.

Setelah Komnas HAM diminta bernegosiasi pihaknya sudah bertemu dengan Kapolda dan sudah menjelaskan tahapan yang dilakukan dan bertemu dengan Pangdam. Sayangnya setelah bertemu pada 14 April lalu kemudian terjadi kejadian sangat tragis pada 15 April dimana sejumlah anggota TNI gugur dalam kontak tembak dan sampai saat ini proses negosiasi terhenti.

Setelah kejadian tersebut hingga sekarang tidak adalagi negosiasi yang dilakukan. Disinggung mengenai kemungkinan masuknya negosiator dan kemungkinan pilot akan dibebaskan, Frits menjelaskan proses negosiator masuk adalah mendapatkan prasyarat apa yang disampaikan dari kedua belah pihak dan apakah nantinya masing-masing sepakat maka bisa saja pilot tersebut akan dibebaskan.

“Fasiliator dari Pemda Nduga juga ada yang diinisiasi oleh Bapak Kapolda dan tim ini juga belum berhasil hingga saat ini. Waktu ada kesepakatan bahwa OK batas suatu daerah boleh ada TNI/Polri dan batas lainnya tidak boleh masuk dan pada kesepakatan tersebut seharusnya menjadi momentum negosiasi dan jangan saling menyerang dan jika saling menyerang maka negosiasi ini tertutup,”Katanya.

Ia juga mencermati bahwa adanya komitmen pihak gereja yang menjadi pihak negosiator. Oleh karena itu dirinya yang beberapa kali sudah berdiskusi dengan KKB penyenderaan dan sudah menyampaikan opsi dan sudah menyampaikannya kepada Kapolda dan Pangdam. Yang terpenting saat ini menurutnya agar tidak adanya jatuh korban yang berpotensi pelanggaran HAM, masing-masing pihak harus menahan diri dan proses negosiasi berjalan. Sangat disayangkan saat negosiasi berjalan masih ada kontak yang terjadi.

Dalam proses penyenderaan dan pembebasannya harus mempertimbangkan keselamatan sandera itu sendiri dan juga orang-orang disekitarnya. Menanggapi adanya tanggapan bahwa yang disandera hanya satu orang, namun korbannya sudah sangat banyak. Ia menegaskan penyenderaan di Nduga bukan kali pertama dimana pada Tahun 1996 terjadi penyenderaan yang berujung pada suatu trauma pada masyarakat dan juga menjadi pengalaman kepada kelompok yang melakukan penyenderaan.

“Waktu lalu kita bebaskan sandera tapi terjadi penyerangan yang mengakibatkan banyak orang meninggal dan itu menimbulkan ingatan penderitaan yang belum selesai. Nah sekarang mereka belajar mengenai itu dan ini bukan soal jumlah, tapi ada orang yang disandera dan orang ini adalah warga negara asing,”Bebernya.

Korban sudah berjatuhan sangat banyak dari kasus ini dan sangat disayangkan. Oleh sebab itu Komnas HAM meminta kepada KKB harus bersedia harus berunding dan menyampaikan maksudnya dan upaya ini juga sudah berjalan ditingkat Internasional, dimana para diplomat dari Negara Selandia Baru telah menyampaikan ditingkat Internasional.

Memurutnya Indonesia yang memiliki pengalaman mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan apakah perundingan akan menyetarakan Negara Indonesia dengan KKB tentu hal itu tidak. Dalam kasus GAM dan Indonesia yang diselesaikan melalui perjanjian perundingan Helsinki, memurut Frits hal ini hanya mengenai tempat dan hanya ada pihak yang mempasilitasi. Yang mana prosesnya dilakukan Pemeirntah Indonesia dan GAM.

“Warga negara berbicara dengan warga negara. Nah mestinya dalam kasus ini bisa dilakukan (Konflik Papua) dan menjadi solusi yang sangat mungkin dilakukan untuk menghindari banyaknya korban yang berjatuhan, yang kedua harus tanya kamu mau siapa yang datang dan pemerintah siapa yang diutus dan tentu kita tidak ingin adanya interfensi asing dan Selandia Baru sudah menawarkan bantuan dan dalam konteks negara ini wibawa negara tercoreng,”Katanya.

Oleh sebab itulah menurutnya sangat dibutuhkan negosiator dan Komnas HAM pernah menawarkan mediator yang sudah diakui dunia seperti Xanana Gusmao, Yusuf Kalla, dan lainnya. Dimana tokoh yang sudah diakui Internasional sebagai tokoh perdamaian.

“Bisa perorangan dan bisa Lembaga dan sekarang ditunjuk melalui Kapolda yakni pihak Gereja dan Komnas HAM tentu kami punya mandat untuk melakukan itu. Sehingga sekali lagi kita minta KKB harus menyodorkan orang, Pemerintah Indonesia harus menyodorkan orang yang mengetahui sosial kultural Papua itu sendiri,”Tambahnya.

Ia mengaku banyak diplomat Indonesia diluar negeri yang melakukan pembohongan publik mengenai Papua dan hal tersebut sangat berbahaya. Oleh sebab itu Ia menegaskan bahwa KKB pimpinan Egianus Kogoya yang seorang terdidik, mengenyam pendidikan, pengetahuan luas, miliki koneksi dan jaringan, oleh sebab itu diminta Egianus dan jaringannya menunjuk mediator.

“Saya sudah berkominikasi kepada empat pangliman TPNPB dan kasus ini harus bisa dikomunikasikan, harus bisa didialogkan, jika tidak korban akan semakin berjatuhan,”tegasnya.

Baca Juga :  Setiap Bulan Pasti Ada yang Disidang, Melanggar Ditempatkan di Pedalaman

Mengenai optimisme keberhasilan penyelamatan yang dilakukan TNI/Polri dengan cara angkat senjata atau dengan cara militer, Frits berpendapat hal itu bisa saja berhasil tetapi jika dengan cara angkat senjata maka sudah jelas korban akan banyak dan sangat berpotensi masyarakat tidak bersalah dan juga pilot sendiri akan menjadi korban.

Ia juga menegaskan mengenai sempat adanya pernyataan pilot mengatakan bahwa penyelamatannya jangan menggunakan Bom, Frits menjelaskan bahwa jika seorang pilot yang berwawasan dan terpelajar sudah jelas bisa membedakan antara bunyi tembakan dan bom. Pernyataan pilot tersebut menurutnya bisa diartikan apakah pilot menyampaikan dalam tekanan dan kedua pilot juga dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Dari penjelasan dia itu (pilot) memang ada oprasi udara, karena itu harus dapat dihentikan dan adanya korban jiwa menjadi pembelajaran untuk TNI/Polri dan satgas melakukan evaluasi ulang lalu merencanakan oprasi lagi yang humanis, oprasi yang terukur untuk pembebasan pilot sambil proses negosiasi berjalan,”Katanya.

Lebih jauh Frits menggarisbawahi sampai saat ini TPNBM pimpinan Egianus Kogoya belum ada menunjuk dan mempercayakan siapa negosiatornya. “Mereka miliki juru bicara Seby Sembom yang berulang kali menyampaikan dan bila melihat itu kita melihat komunikasi yang sudah terhubung. Tapi sekali lagi saya bilang kepada Kelompok Sipil Bersenjata (Sebutan yang digunakan Komnas HAM) itu harus menunjuk orang tingkat lokal yang berkomunikasi langsung oleh otoritas-otoritas baik itu sipil yang ada di Kabupaten, Provinsi, Nasional dan juga kepada TNI/Polri,”bebernya.

Bila nantinya TPNPB menunjuk negosiatornya didalam negeri, maka tidak boleh pula Pemerintah dalam hal ini TNI/Polri mengatakan bahwa negosiatornya ini adalah aviliasi dari TPNPB.

Negosiator sangat mendesak untuk ditunjuk dan jangan dibiarkan berlarut-larut maka korban jiwa akan semakin banyak, lalu kerugian harta benda dipastikan banyak termasuk masyarakat Nduga semakin menderita dan menambah panjang trauma dan jatuhnya korban.

“Ingat jika sudah masuk isu pelanggaran HAM itu sudah bisa masuk intervensi dan PBB bisa menggunakan mekanisme Hak Asasi Manusia untuk melakukan intervensi untuk mengirim tim guna melakukan penilaian dan itu posisi pemerintah akan disorot lebih tajam,”Katanya.

Ia memberikan ide bahwa sebaiknya Presiden membentuk satu tim yang laporannya langsung kepada Presiden. Saat ini Presiden menugaskan Wakil Presiden bertanggungjawab untuk mengurus Papua dan Tim tersebut sudah ditunjuk, namun tim itu hanya bekerja untuk mengurus pembangunan dan tidak bekerja untuk menyelesaikan konflik.

“Dan orang-orang didalam itu tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki jaringan untuk menyelesaikan konflik. Jadi kita mengurus pembangunan tetapi tidak menyelesaikan konflik itu problem berkepanjangan dan pemerintah Indonesia terus di rong-rong kenapa?, karena ada korban dari TNI/Polri, KKB dan masyarakat,”paparnya.

Oleh sebab itu Ia mengusulkan kepada Presiden untuk membuat tim yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan siapa orang-orangnya dan jangan lagi memilih orang yang selama ini digunakan namun tidak berhasil bernegosiasi.

“Jangan lagi pilih orang-orang yang Presiden ke Jayapura dan orang-orang itu berdialog dengan Presiden, orang-orang yang juga berdialog ke Jakarta dengan presiden yang sudah rahasia umum tidak dipercaya masyarakat Papua terutama yang berseberangan. Oleh sebab itu kita membutuhkan orang-orang yang bisa diterima oleh berbagai pihak,”cetusnya.

Tentu masing-masing memiliki profil yang kemungkinan oleh TNI/Polri dan BIN yang tidak diinginkan dan akan dikesampingkan. Namun jika orang itu mampu dan bisa mengkomunikasikan untuk penyelesaian konflik kenapa orang itu tidak dipilih.

“Kita punya pengalaman dulu tim 100 yang memiliki pengalaman yang bermartabat kenapa itu tidak dipakai, seharusnya bisa dipakai. Oleh itu kami Komnas HAM mengusulkan bagaimana Presiden membentuk satu tim yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden,”Katanya.

Komnas HAM juga menyoroti pengumaman oleh Panglima TNI yang harusnya disoroti Presiden, dimana Panglima telah mengumumkan siaga perang yang jika dipelesetkan sedikit adalah oprasi militer.

“Jika tidak dijelaskan dengan baik kepada prajurit dibawah ini berbahaya ada printah yang ditugaskan Panglima dan ini sangat berbahaya dan konyolnya lagi ada partai berkuasa memberikan dukungan terhadap ini, bukan panggil Panglima TNI untuk menjelaskan dan malah mendukung, ini partai penguasa ini seakan-akan mendukung oprasi untuk membunuh orang Papua terutama wilayah Nduga dan Komnas HAM sangat menyesalkan ini,”Katanya.

Pesan Frits kepada Egianus Kogoya dan TNI/Polri harus bersedia berdialog. Frits juga dengan tegas meminta Egianus untuk segera menunjuk siapa yang Ia percaya menjadi mediator dan bila itu sudah ditunjuk maka TNI/Polri dan BIN tidak boleh mencurigainya agar proses negosiasi berjalan.

Disinggung bila Egianus Kogoya menunjuk Frist Ramanday, Frits mengatakan sebagai pekerja kemanusian dan sebagai pimpinan Komnas HAM di Papua dan bila diminta maka tentu pihaknya bersedia agar meminimalisir terjadinya korban dan tentu misinya adalah kemanusian.

“Dengan pembebasan sandera tentu kita mengurani korban lebih banyak, baik TNI/Polri, KKB dan juga tentunya masyarakat yang tidak bersalah,”Pugkasnya.(gin)

Upaya Komnas HAM Perwakilan Papua Dalam Pembebasan Pilot Susi Air yang Disandera

Sudah tiga bulan pilot susi air disandera Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Egianus Kogoya, Lalu Bagaimana upaya Komnas HAM Perwakilan Papua menjalankan tugasnya agar pilot tersebut dapat bebas tanpa adanya korban dan terjadinya pelanggaran HAM, Berikut Bincang-Bincang Cenderawasih Pos Bersama Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua, Frits Ramandey.

Laporan: A. Buendi Ginting- Kota Jayapura

Komnas HAM Perwakilan Papua dalam melihat kasus penyanderaan Pilot Susi Air Kapten Philip Mark Mehrtens di Distrik Paro Kabupaten Nduga pada 7 Februari lalu adalah sebuat insiden yang sudah direncanakan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Egianus Kogoya.

Setelah peristiwa penyenderaan tersebut pada 7 Februari lalu, satu minggu setelah kejadian tersebut Komnas HAM Papua langsung melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Mimika, sebelumnya dirinya telah menghubungi berbagai pihak seperti Kapolda, Pangdam, mitra Komnas HAM yang ada di Kabupaten Mimika, Nduga, Lanny Jaya, Wamena, Intan Jaya hingga yang ada di Paniai dan didapatkan sejumlah informasi mengenai penyenderaan tersebut.

“Saya datang ke Timika karena dari aspek tranpormasi dari Timika sangat dekat ke Kenyam Kabupaten Nduga yang tranpormasinya lancer. Di Timika saya bertemu dengan berbagai pihak yang mengetahui secara langsung bagaimana sebelum kejadian dan sesudah kejadian dan saya mendapatkan informasi kepada Komnas HAM,”Kata Frits.

Komnas HAM yang memiliki mandat untuk melakukan pemantauan berdasarkan pengaduan atau merespon sebuah kejadian. Kasus penyendraan pilot sendiri menurutnya bersekala Nasional karena yang disandera adalah warga Negara Selandia Baru dan posisi kasus tersebut adalah posisi yang menarik perhatian semua pihak.

Dari berbagai informasi yang Komnas HAM dapatkan kejadian tersebut sudah direncanakan dan Piliot tersebut menjadi korban. Komnas HAM juga sempat bertemu para pekerja pembangunan Puskesmas yang katanya sempat disandera juga.

“Mereka menggambarkan (Para pekerja) dari Distrik Paro lalu diantar kesuatu tempat itu, mereka menjelaskan siapa-siapa yang mengantar dan termasuk dimana nantinya akan dijemput dan mereka juga menjelaskan kejadian-kejadian sebelum terjadinya penyenderaan pilot,”Katanya.

Sebagai Lembaga Negara yang parsial, Komnas HAM bekerja untuk satu kepentingan yakni kepentingan kemanusiaan, Karena itu pihaknya sangat berkontribusi dalam menunjukkan keberadaan pilot melalui video yang dirilis kelompok Egianus Kogoya sehingga public mengetahui keberadaan pilot dan kondisi pilot waktu itu.

“Disitu Komnas berkontribusi, dimana paling tidak setelah saya ada di Timika, tiga hari kemudian ada video yang keluar. Itu bagian kecil kontribusi pekerjaan Komnas HAM. Kenapa video ini penting, karena dengan video itu public mengetahui keadaan dan keberadaan pilot,”Katanya.

Selain itu Komnas HAM juga berkomunikasi dengan pihak perusahaan dimana pilot tersebut bekerja dan juga berdiskusi dengan pihak Selandia Baru. Ia juga mengaku berkomunikasi dengan pihak yang menyandera yakni TPNPB. Ini menurutnya penting karena Komnas HAM sebagai Lembaga parsial harus melakukan fungsi mediasi.

Mediasi inilah menurutnya membutuhkan mediator, tentu sebagai pimpinan Komnas HAM Perwakilan Papua dirinya memposisikan dirinya sebagai komunikator bagi dua belah pihak guna meminimalisir jatuhnya korban dan pelanggaran HAM.

Disinggung mengenai bahwa video pilot yang sempat dirilis oleh TPNPB melalui juru bicaranya Seby Sembom apakah yang melakukan perekaman adalah pihak Komnas HAM?. Ia dengan tegas menampik hal tersebut dan menegaskan serta memastikan hal tersebut tidak benar.

“Saya pastikan itu tidak, bahwa kami berkontribusi agar video itu keluar iya. Saya harus menegaskan bukan orang Komnas HAM berkontribusi agar video itu keluar, Iya. Itu bagian dari negosiasi yang kami lakukan dan video itu penting untuk memastikan keberadaan pilot dan saya menyatakan kami berkomunikasi tapi saya tegaskan kami tidak berafiliasi ”tegasnya.

Dalam fungsi mediasi, fungsi pemantaun Komnas HAM dapat melakukan hal tersebut negosiasi.  Kominikasi Komnas HAM dengan TPNPB, TPNPB menyampaikan tetap pada pendiriannya yakni pilot akan dilepas asal Papua Merdeka. Komnas HAM menjelaskan bahwa hal tersebut diluar wewenang Komnas HAM dan sangat jauh dari tugas dan tanggungjawab Komnas HAM. Komnas HAM menjelaskan kepada pihak TPNPB mekanisme HAM.

“Kami juga berterima kasih, paling tidak sampai saat ini ada tiga video yang sudah dipublis tentang keberadaan pilot. Mereka berkomunikasi melalui juru bicaranya Seby Sembom dan terakhir mereka juga menyebut nama saya,”Katanya.

Disinggung mengenai tetap terjadinya peperangan yang memakan korban baik itu TNI/Polri atau TPNPB disaat negosiasi pembebasan dilakukan, menurut Frits kekerasan tidak dapat direspon dengan kekerasan karena hal tersebut bukan solusi dan hanya akan mengakibatkan kekerasan baru dan terjadilah siklus kekerasan yang tidak dapat dihentikan.

Jika berbicara solusi dalam mekanismenya adalah dialog dan perundingan atau apapun namanya karena hal tersebut hanya soal terminologi. Tapi penyelesaian konflik dimana-mana penyelesaiannya adalah dialog yang menjadi sarana yang rasional dan diakui semua mekanisme formal dan non formal dan tidak ada solusi lainnya.

Baca Juga :  Lahirkan Kapolda Papua dan Pemimpin Hebat Papua Lainnya

“Dialog ini sangat penting karena berbagai pihak menyampaikan pandangannya, maksud dan kepentingan. Dialog mendekatkan solusi dan ini kita membutuhkan negosiator yang bisa individu atau Lembaga. Tetapi kita membutuhkan berbagai pihak dan itulah sekarang pada penyenderaan itu kita butuhkan figure itu dan ini yang belum ada,”Katanya.

“Bahwa sudah ada kurir-kurir yang masuk ke kelompok penyendera dan TNI/Polri benar sudah ada. Problemnya sekarang adalah siapa figure yang bisa diterima TPNPB dan diterima oleh Pemerintah. Tentu TNI/Polri adalah bagian proses pengamanan dan siapa yang perlu memberikan akses ini dan akses ini siapa?, bisa presiden, bisa Menkopolhukam, bisa Mendagri, Bisa Guburnur dan bisa Bupati dan berkomunikasi dengan Kapolda dan Pangdam,”Tambahnya.

Setelah Komnas HAM diminta bernegosiasi pihaknya sudah bertemu dengan Kapolda dan sudah menjelaskan tahapan yang dilakukan dan bertemu dengan Pangdam. Sayangnya setelah bertemu pada 14 April lalu kemudian terjadi kejadian sangat tragis pada 15 April dimana sejumlah anggota TNI gugur dalam kontak tembak dan sampai saat ini proses negosiasi terhenti.

Setelah kejadian tersebut hingga sekarang tidak adalagi negosiasi yang dilakukan. Disinggung mengenai kemungkinan masuknya negosiator dan kemungkinan pilot akan dibebaskan, Frits menjelaskan proses negosiator masuk adalah mendapatkan prasyarat apa yang disampaikan dari kedua belah pihak dan apakah nantinya masing-masing sepakat maka bisa saja pilot tersebut akan dibebaskan.

“Fasiliator dari Pemda Nduga juga ada yang diinisiasi oleh Bapak Kapolda dan tim ini juga belum berhasil hingga saat ini. Waktu ada kesepakatan bahwa OK batas suatu daerah boleh ada TNI/Polri dan batas lainnya tidak boleh masuk dan pada kesepakatan tersebut seharusnya menjadi momentum negosiasi dan jangan saling menyerang dan jika saling menyerang maka negosiasi ini tertutup,”Katanya.

Ia juga mencermati bahwa adanya komitmen pihak gereja yang menjadi pihak negosiator. Oleh karena itu dirinya yang beberapa kali sudah berdiskusi dengan KKB penyenderaan dan sudah menyampaikan opsi dan sudah menyampaikannya kepada Kapolda dan Pangdam. Yang terpenting saat ini menurutnya agar tidak adanya jatuh korban yang berpotensi pelanggaran HAM, masing-masing pihak harus menahan diri dan proses negosiasi berjalan. Sangat disayangkan saat negosiasi berjalan masih ada kontak yang terjadi.

Dalam proses penyenderaan dan pembebasannya harus mempertimbangkan keselamatan sandera itu sendiri dan juga orang-orang disekitarnya. Menanggapi adanya tanggapan bahwa yang disandera hanya satu orang, namun korbannya sudah sangat banyak. Ia menegaskan penyenderaan di Nduga bukan kali pertama dimana pada Tahun 1996 terjadi penyenderaan yang berujung pada suatu trauma pada masyarakat dan juga menjadi pengalaman kepada kelompok yang melakukan penyenderaan.

“Waktu lalu kita bebaskan sandera tapi terjadi penyerangan yang mengakibatkan banyak orang meninggal dan itu menimbulkan ingatan penderitaan yang belum selesai. Nah sekarang mereka belajar mengenai itu dan ini bukan soal jumlah, tapi ada orang yang disandera dan orang ini adalah warga negara asing,”Bebernya.

Korban sudah berjatuhan sangat banyak dari kasus ini dan sangat disayangkan. Oleh sebab itu Komnas HAM meminta kepada KKB harus bersedia harus berunding dan menyampaikan maksudnya dan upaya ini juga sudah berjalan ditingkat Internasional, dimana para diplomat dari Negara Selandia Baru telah menyampaikan ditingkat Internasional.

Memurutnya Indonesia yang memiliki pengalaman mengenai Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan apakah perundingan akan menyetarakan Negara Indonesia dengan KKB tentu hal itu tidak. Dalam kasus GAM dan Indonesia yang diselesaikan melalui perjanjian perundingan Helsinki, memurut Frits hal ini hanya mengenai tempat dan hanya ada pihak yang mempasilitasi. Yang mana prosesnya dilakukan Pemeirntah Indonesia dan GAM.

“Warga negara berbicara dengan warga negara. Nah mestinya dalam kasus ini bisa dilakukan (Konflik Papua) dan menjadi solusi yang sangat mungkin dilakukan untuk menghindari banyaknya korban yang berjatuhan, yang kedua harus tanya kamu mau siapa yang datang dan pemerintah siapa yang diutus dan tentu kita tidak ingin adanya interfensi asing dan Selandia Baru sudah menawarkan bantuan dan dalam konteks negara ini wibawa negara tercoreng,”Katanya.

Oleh sebab itulah menurutnya sangat dibutuhkan negosiator dan Komnas HAM pernah menawarkan mediator yang sudah diakui dunia seperti Xanana Gusmao, Yusuf Kalla, dan lainnya. Dimana tokoh yang sudah diakui Internasional sebagai tokoh perdamaian.

“Bisa perorangan dan bisa Lembaga dan sekarang ditunjuk melalui Kapolda yakni pihak Gereja dan Komnas HAM tentu kami punya mandat untuk melakukan itu. Sehingga sekali lagi kita minta KKB harus menyodorkan orang, Pemerintah Indonesia harus menyodorkan orang yang mengetahui sosial kultural Papua itu sendiri,”Tambahnya.

Ia mengaku banyak diplomat Indonesia diluar negeri yang melakukan pembohongan publik mengenai Papua dan hal tersebut sangat berbahaya. Oleh sebab itu Ia menegaskan bahwa KKB pimpinan Egianus Kogoya yang seorang terdidik, mengenyam pendidikan, pengetahuan luas, miliki koneksi dan jaringan, oleh sebab itu diminta Egianus dan jaringannya menunjuk mediator.

“Saya sudah berkominikasi kepada empat pangliman TPNPB dan kasus ini harus bisa dikomunikasikan, harus bisa didialogkan, jika tidak korban akan semakin berjatuhan,”tegasnya.

Baca Juga :  Setiap Bulan Pasti Ada yang Disidang, Melanggar Ditempatkan di Pedalaman

Mengenai optimisme keberhasilan penyelamatan yang dilakukan TNI/Polri dengan cara angkat senjata atau dengan cara militer, Frits berpendapat hal itu bisa saja berhasil tetapi jika dengan cara angkat senjata maka sudah jelas korban akan banyak dan sangat berpotensi masyarakat tidak bersalah dan juga pilot sendiri akan menjadi korban.

Ia juga menegaskan mengenai sempat adanya pernyataan pilot mengatakan bahwa penyelamatannya jangan menggunakan Bom, Frits menjelaskan bahwa jika seorang pilot yang berwawasan dan terpelajar sudah jelas bisa membedakan antara bunyi tembakan dan bom. Pernyataan pilot tersebut menurutnya bisa diartikan apakah pilot menyampaikan dalam tekanan dan kedua pilot juga dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Dari penjelasan dia itu (pilot) memang ada oprasi udara, karena itu harus dapat dihentikan dan adanya korban jiwa menjadi pembelajaran untuk TNI/Polri dan satgas melakukan evaluasi ulang lalu merencanakan oprasi lagi yang humanis, oprasi yang terukur untuk pembebasan pilot sambil proses negosiasi berjalan,”Katanya.

Lebih jauh Frits menggarisbawahi sampai saat ini TPNBM pimpinan Egianus Kogoya belum ada menunjuk dan mempercayakan siapa negosiatornya. “Mereka miliki juru bicara Seby Sembom yang berulang kali menyampaikan dan bila melihat itu kita melihat komunikasi yang sudah terhubung. Tapi sekali lagi saya bilang kepada Kelompok Sipil Bersenjata (Sebutan yang digunakan Komnas HAM) itu harus menunjuk orang tingkat lokal yang berkomunikasi langsung oleh otoritas-otoritas baik itu sipil yang ada di Kabupaten, Provinsi, Nasional dan juga kepada TNI/Polri,”bebernya.

Bila nantinya TPNPB menunjuk negosiatornya didalam negeri, maka tidak boleh pula Pemerintah dalam hal ini TNI/Polri mengatakan bahwa negosiatornya ini adalah aviliasi dari TPNPB.

Negosiator sangat mendesak untuk ditunjuk dan jangan dibiarkan berlarut-larut maka korban jiwa akan semakin banyak, lalu kerugian harta benda dipastikan banyak termasuk masyarakat Nduga semakin menderita dan menambah panjang trauma dan jatuhnya korban.

“Ingat jika sudah masuk isu pelanggaran HAM itu sudah bisa masuk intervensi dan PBB bisa menggunakan mekanisme Hak Asasi Manusia untuk melakukan intervensi untuk mengirim tim guna melakukan penilaian dan itu posisi pemerintah akan disorot lebih tajam,”Katanya.

Ia memberikan ide bahwa sebaiknya Presiden membentuk satu tim yang laporannya langsung kepada Presiden. Saat ini Presiden menugaskan Wakil Presiden bertanggungjawab untuk mengurus Papua dan Tim tersebut sudah ditunjuk, namun tim itu hanya bekerja untuk mengurus pembangunan dan tidak bekerja untuk menyelesaikan konflik.

“Dan orang-orang didalam itu tidak memiliki pengalaman, tidak memiliki jaringan untuk menyelesaikan konflik. Jadi kita mengurus pembangunan tetapi tidak menyelesaikan konflik itu problem berkepanjangan dan pemerintah Indonesia terus di rong-rong kenapa?, karena ada korban dari TNI/Polri, KKB dan masyarakat,”paparnya.

Oleh sebab itu Ia mengusulkan kepada Presiden untuk membuat tim yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden dan siapa orang-orangnya dan jangan lagi memilih orang yang selama ini digunakan namun tidak berhasil bernegosiasi.

“Jangan lagi pilih orang-orang yang Presiden ke Jayapura dan orang-orang itu berdialog dengan Presiden, orang-orang yang juga berdialog ke Jakarta dengan presiden yang sudah rahasia umum tidak dipercaya masyarakat Papua terutama yang berseberangan. Oleh sebab itu kita membutuhkan orang-orang yang bisa diterima oleh berbagai pihak,”cetusnya.

Tentu masing-masing memiliki profil yang kemungkinan oleh TNI/Polri dan BIN yang tidak diinginkan dan akan dikesampingkan. Namun jika orang itu mampu dan bisa mengkomunikasikan untuk penyelesaian konflik kenapa orang itu tidak dipilih.

“Kita punya pengalaman dulu tim 100 yang memiliki pengalaman yang bermartabat kenapa itu tidak dipakai, seharusnya bisa dipakai. Oleh itu kami Komnas HAM mengusulkan bagaimana Presiden membentuk satu tim yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden,”Katanya.

Komnas HAM juga menyoroti pengumaman oleh Panglima TNI yang harusnya disoroti Presiden, dimana Panglima telah mengumumkan siaga perang yang jika dipelesetkan sedikit adalah oprasi militer.

“Jika tidak dijelaskan dengan baik kepada prajurit dibawah ini berbahaya ada printah yang ditugaskan Panglima dan ini sangat berbahaya dan konyolnya lagi ada partai berkuasa memberikan dukungan terhadap ini, bukan panggil Panglima TNI untuk menjelaskan dan malah mendukung, ini partai penguasa ini seakan-akan mendukung oprasi untuk membunuh orang Papua terutama wilayah Nduga dan Komnas HAM sangat menyesalkan ini,”Katanya.

Pesan Frits kepada Egianus Kogoya dan TNI/Polri harus bersedia berdialog. Frits juga dengan tegas meminta Egianus untuk segera menunjuk siapa yang Ia percaya menjadi mediator dan bila itu sudah ditunjuk maka TNI/Polri dan BIN tidak boleh mencurigainya agar proses negosiasi berjalan.

Disinggung bila Egianus Kogoya menunjuk Frist Ramanday, Frits mengatakan sebagai pekerja kemanusian dan sebagai pimpinan Komnas HAM di Papua dan bila diminta maka tentu pihaknya bersedia agar meminimalisir terjadinya korban dan tentu misinya adalah kemanusian.

“Dengan pembebasan sandera tentu kita mengurani korban lebih banyak, baik TNI/Polri, KKB dan juga tentunya masyarakat yang tidak bersalah,”Pugkasnya.(gin)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya