Benturan dengan batu, akar, dan batang lain di sungai membuat kayu alami terlihat lebih “tersiksa”. Tak sedikit yang bertanya, dari mana kayu itu berasal?. Lokasi penemuan kayu juga memberikan gambaran. Kayu hasil tebang biasanya ditemukan di dekat permukiman, dekat jalur logging, atau muncul dalam jumlah besar dengan ukuran serupa. Bahkan tak jarang warga menemukan banyak potongan dengan pola potong yang sama. Sementara kayu alami cenderung bercampur dengan lumpur, ranting, tanah, hingga batu karena terbawa arus dari hutan liar atau area longsor.
Pencarian jawaban sering berlanjut ke wilayah hulu sungai. Jika ditemukan banyak pohon roboh dengan akar masih utuh, atau ada longsor kecil di tebing sungai, biasanya itu tanda tumbang alami akibat hujan ekstrem. Namun jika ada bekas serbuk gergaji, jalur kendaraan, atau tanah yang tampak digarap, warga biasanya mulai waspada dan melapor ke aparat. Mengetahui asal kayu bukan sekadar urusan teknis. Jika kayu berasal dari illegal logging, maka banjir yang terjadi bisa menjadi alarm besar atas kerusakan lingkungan.
Sebelumnya Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Dwi Januanto Nugroho mengatakan, kayu-kayu yang hanyut terbawa ini berasal dari kayu lapuk dan kayu tumbang akibat cuaca ekstrem. Selain itu, sebagian kayu ini juga berasal dari hasil penebangan di area Pemegang Hak Atas Tanah (PHAT) di Areal Penggunaan Lain (APL).
“Di area penebangan yang kita deteksi dari PHAT itu ada di APL, yang secara mekanisme untuk kayu yang tumbuh alami itu mengikuti regulasi dalam Sistem Informasi Penataan Hasil Kehutanan,” kaya Dwi dalam jumpa pers di kantornya. Kemenhut sendiri mengklaim telah melakukan operasi-operasi di wilayah banjir terkait dengan modus operandi pencucian kayu melalui PHAT tersebut. “Khusus di wilayah banjir seperti Aceh Tengah statusnya sudah P21, Sumbar, Kepri, Tapanuli Selatan atau Sumut masih berproses,” kata Dwi.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan sekaligus Kepala Pusat Studi Bencana IPB University, Profesor Bambang Hero Saharjo, menilai bahwa karakteristik material kayu yang ditemukan di lokasi banjir Sumatra menunjukkan indikasi keterlibatan aktivitas manusia. Bambang menegaskan bahwa tumpukan kayu di lokasi bencana tidak sepenuhnya dapat dijelaskan sebagai kayu lapuk atau dampak runtuhan alami.
Dalam penjelasannya, Prof Bambang mengaitkan temuan tersebut dengan kasus serupa yang pernah ia tangani beberapa tahun lalu di kawasan lindung Sumatra Utara. Dia menggambarkan bahwa hutan yang masih sehat memiliki struktur tajuk yang rapat dan bertingkat, sehingga mampu memecah dan menahan laju air hujan. “Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang atau stem flow,” jelasnya seperti dikutip dari Natgeo Indonesia.