Friday, April 11, 2025
25.7 C
Jayapura

Banyak yang Mengernyitkan Kening Lihat Ratusan Guratan Kulit yang Penuh Luka

Menyaksikan Pukul Manyapu Tradisi dari Maluku yang Masih Dilestarikan Meski di Tanah Rantau

Setiap suku bangsa pasti memiliki tradisi atau kebiasaan turun temurun yang menjadi identitas diri. Tak mudah mempertahankan ini apalagi di tanah rantau namun masyarakat Kampung Morela mampu menjawab tantangan jaman. Meski harus melihat banyak tetesan darah

Laporan : Karolus Daot – Jayapura

Lantunan musik khas Maluku mulai mengalun di jeda waktu yang menunjukkan pukul 16.00 WIT. Disini dari kejauhan terlihat banyak sosok pemuda yang berdiri menggunakan kostum dominan merah. Baik kaos, tutup kepala, maupun celana juga serba merah. Namun ada juga yang menggunakan warna hitam. Ini untuk membedakan kelompok.

Saat didekati seluruh pemuda ini tampak tengah memegang sapu lidi yang terbuat dari pohon enau. Tentu bentuknya tidak sama dengan lidi dari daun kelapa karena diameternya lebih besar dan lebih keras. Lalu  sosok pemuda ini dibuat berpasang-pasangan dan yang mengenakan atribut berwarna merah nampak berdiri tegap bertelanjang dada.

Baca Juga :  Dihiasi Lampu dan Berbagai Wahana, Bisa Ingatkan Kenangan Masa Lalu

Tradisi yang dimainkan adalah saling memukul menggunakan sapu lidi enau tadi. Biasa mereka menyebutnya tradisi Baku Pukul Manyapu.  Dari beberapa literasi ada yang menyebut bahwa tradisi ini digelar untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa, atau lebih dikenal dengan nama Kapitan/Pimpinan perang Telukabessy beserta anak buahnya ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M).

Perang ini dipicu pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut.

Baca Juga :  Serahkan Sertipikat bagi Masyarakat Hukum Adat dan Rumah Ibadah di Papua

Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morela tersebut dapat dikuasai oleh Belanda. Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun anak buahnya banyak ditangkap tentara Belanda.Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni.

Menyaksikan Pukul Manyapu Tradisi dari Maluku yang Masih Dilestarikan Meski di Tanah Rantau

Setiap suku bangsa pasti memiliki tradisi atau kebiasaan turun temurun yang menjadi identitas diri. Tak mudah mempertahankan ini apalagi di tanah rantau namun masyarakat Kampung Morela mampu menjawab tantangan jaman. Meski harus melihat banyak tetesan darah

Laporan : Karolus Daot – Jayapura

Lantunan musik khas Maluku mulai mengalun di jeda waktu yang menunjukkan pukul 16.00 WIT. Disini dari kejauhan terlihat banyak sosok pemuda yang berdiri menggunakan kostum dominan merah. Baik kaos, tutup kepala, maupun celana juga serba merah. Namun ada juga yang menggunakan warna hitam. Ini untuk membedakan kelompok.

Saat didekati seluruh pemuda ini tampak tengah memegang sapu lidi yang terbuat dari pohon enau. Tentu bentuknya tidak sama dengan lidi dari daun kelapa karena diameternya lebih besar dan lebih keras. Lalu  sosok pemuda ini dibuat berpasang-pasangan dan yang mengenakan atribut berwarna merah nampak berdiri tegap bertelanjang dada.

Baca Juga :  Perketat Pengawasan, Seritifikasi Karantina Mudah dan Terjangkau

Tradisi yang dimainkan adalah saling memukul menggunakan sapu lidi enau tadi. Biasa mereka menyebutnya tradisi Baku Pukul Manyapu.  Dari beberapa literasi ada yang menyebut bahwa tradisi ini digelar untuk mengenang perjuangan Achmad Leakawa, atau lebih dikenal dengan nama Kapitan/Pimpinan perang Telukabessy beserta anak buahnya ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala (1643-1646 M).

Perang ini dipicu pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, tahun 1636 M. Perang semakin tak terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, milik warga Maluku dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan meriam dari kapal-kapal VOC dari laut.

Baca Juga :  Demi Kenyamanan Pengguna Jalan, Bahu Jalan Bukan Tempat Bangun Usaha

Karena tidak berimbang, akhirnya benteng yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morela tersebut dapat dikuasai oleh Belanda. Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun anak buahnya banyak ditangkap tentara Belanda.Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan pada situasi sulit antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

/