Prof Rinawati Rohsiswatmo dan Alat Bantu Napas Bayi Baru Lahir yang Berbuah Penghargaan
Prof Rinawati Rohsiswatmo menghasilkan inovasi alat bantu untuk bayi yang baru lahir dan mengalami ketidakmampuan bernapas. Alat tersebut ringkas serta efektif bikin paru-paru bayi terbuka dan aman dari risiko kebutaan.
M. HILMI SETIAWAN, Jakarta
SEPULANG dari tugas belajar di Australia, Rinawati Rohsiswatmo dihadapkan pada kondisi yang memprihatinkan di tanah air: angka kematian bayi akibat ketidakmampuan bernapas saat lahir cukup tinggi. Padahal, untuk menangani bayi yang lahir dengan kondisi asfiksia, dibutuhkan perlengkapan atau alat kesehatan yang tepat.
”Waktu itu saya melihat baru di RS Anak dan Bunda Harapan Kita yang punya NICU (neonatal intensive care unit) untuk merawat bayi baru lahir yang bermasalah,” kata Rina yang pada 2002 baru pulang dari tugas belajar di Neonatal Intensive Care Unit Royal Women’s Hospital, Melbourne.
Rina yang ketika itu bertugas di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, merasa tergugah. Indonesia begitu luas, tetapi fasilitas kesehatan penunjang bayi baru lahir dengan kondisi khusus hanya tersedia di ibu kota.
Rina yang saat itu juga menjadi pengurus Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) akhirnya mengajukan fasilitas serupa untuk RSCM. Dan, permintaan itu dikabulkan. Akhirnya, RSCM memiliki fasilitas serupa.
Berbekal fasilitas tersebut, Rina kemudian melatih banyak calon dokter maupun perawat untuk menangani bayi-bayi baru lahir dalam kondisi khusus. Dia menghitung, sampai saat ini dirinya sudah mendidik sekitar 300 dokter dengan keahlian penanganan bayi baru lahir dalam kondisi khusus. Termasuk mendidik sekitar 500 perawat dengan kemampuan serupa.
Sampai akhirnya, fasilitas NICU menyebar luas. Hampir di seluruh kota besar, terdapat rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU. Meski begitu, masih ada yang mengganjal di benak Rina. Peralatan penanganan bayi yang lahir dalam kondisi asfiksia saat itu kurang cocok dengan kondisi di Indonesia. Hampir semua peralatan yang tersedia juga diimpor.
Alatnya cukup berat dan sulit dibawa ke mana-mana. Apalagi dipakai di pedesaan yang memiliki tingkat kematian bayi baru lahir lumayan tinggi. ”Alatnya diem di tempat,” ujar guru besar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) tersebut.
Alumnus S-1 dan S-3 UI itu menjelaskan, karena diimpor, harga alat kesehatan tersebut tentu sangat mahal. Untuk membantu bayi lahir dengan kondisi asfiksia, alat itu menghasilkan medical air atau gas medis. ”Medical air ini juga cepat habis. Untuk mengisi lagi, harganya mahal sekali,” ungkapnya.
Hingga akhirnya, pada 2005 Rina terpikir untuk membuat alat serupa. Kelak alat yang dia buat harus berharga murah serta mudah digunakan sehingga bisa menjangkau berbagai penjuru Indonesia.
Rina lantas mengajak adik kelasnya, yang menurutnya punya uang lebih, untuk berkolaborasi membuat alat yang mampu menghasilkan gas medis. Manfaatnya, membantu bayi baru lahir yang sulit bernapas, bukan dengan memberikan oksigen. ”Kalau diberi oksigen, apalagi oksigen murni dan berlebih, bayi malah bisa jadi buta,” ungkapnya.
Setelah membahas pembuatan alat penghasil gas medis tersebut, ternyata dia menemukan banyak masalah. Kesimpulannya, pembuatan alat itu tidak bisa hanya diselesaikan dokter. Akhirnya, dia menggandeng kolega sesama dosen serta mahasiswa Fakultas Teknik UI. Rina juga mengajak sejawat dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk berkolaborasi.
Dibutuhkan waktu lama untuk mewujudkan alat tersebut. Sampai akhirnya, pada 2015 alatnya sudah jadi dan diuji coba pertama ke boneka. ”Orang-orang senang melihat alat ini,” katanya.
Alat yang kemudian diberi nama Mix Safe itu digerakkan dengan baterai sebagai sumber tenaga. Rina tidak mengetahui secara detail urusan mekanisasinya. Sebab, semuanya digarap koleganya dari Fakultas Teknik UI.
Yang jelas, pada perangkat yang pertama itu, bunyi yang dihasilkan cukup kencang. Bunyi tersebut mungkin berasal dari perangkat pengganti kompresor.
Meski sudah berfungsi, Mix Safe harus disempurnakan lagi. Sebab, dengan suara yang bising itu, orang bisa kaget ketika alat tersebut dioperasikan.
Setelah dilakukan perbaikan di sejumlah titik, pada 2018 keluar alat versi terbaru dengan suara yang lebih halus. ”Saya rasa ini sudah mantap,” ujarnya.
Setelah itu, Rina langsung mengurus paten atau HAKI (hak atas kekayaan intelektual). Seluruh tim bersepakat paten didaftarkan atas nama Rina.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada era Nila Moeloek begitu tertarik pada alat Mix Safe tersebut. ”Akhirnya, alat ini dibeli 500 unit,” kenang Rina.
Kemudian, oleh Kemenkes, alat tersebut disebar ke seluruh Indonesia. Khususnya di provinsi-provinsi yang memiliki tingkat kematian bayi baru lahir tinggi.
Alat itu ditempatkan di unit pelayanan kesehatan terkecil di puskesmas-puskesmas. Tujuannya, berfungsi sebagai alat darurat yang selalu disiagakan setiap ada pelayanan persalinan. Bahkan, Kemenkes mengakui alat tersebut menjadi alat kesehatan yang harus dimiliki fasilitas kesehatan di tingkat primer sekalipun.
Rina menuturkan, alat buatannya itu bukan ventilator pada umumnya. Alat tersebut berfungsi membantu dalam kondisi darurat.
Menurut dia, ketika ada bayi yang terlahir dengan kondisi asfiksia, satu menit pertama sangat penting. Jika terlewat, bayi yang sulit bernapas itu akan meninggal.
”Sekarang Anda bayangkan, Anda sendiri paling lama bisa tidak bernapas berapa detik? Sementara, ini bayi baru lahir,” tuturnya.
Kondisi kelainan itu muncul karena paru-paru si bayi belum bisa mengembang dan mengempis secara sempurna. Bahkan, dalam kondisi yang ekstrem, kondisi paru-paru bayi yang lahir dengan kondisi asfiksia kempis seperti balon yang belum ditiup.
Agar mengembang, paru-paru bayi itu perlu mendapatkan tekanan udara. Dia menegaskan bahwa tekanan udara yang dibutuhkan itu bukan oksigen. Sebab, risikonya bayi bisa buta. Namun, yang dibutuhkan bayi pada kondisi tersebut adalah medical air atau gas medis.
Perangkat Mix Safe buatan Rina itu cukup ringkas. Bisa dibawa dengan tas selempang. Modifikasi lainnya ditempatkan di dalam tas punggung. Sangat cocok untuk di daerah-daerah terpencil.
Dengan baterai yang bertahan sampai enam jam, alat tersebut cukup untuk mengamankan nyawa bayi sampai ke rumah sakit rujukan. ”Misalnya, dari Pulau Seram ke Kota Ambon. Atau, dari Kepulauan Seribu ke Jakarta Utara. Alat ini juga cocok,” paparnya.
Rina menegaskan, kondisi bayi yang baru lahir tidak bisa ditebak. Apakah bisa bernapas dengan normal atau butuh bantuan. Bayi yang butuh bantuan untuk bernapas biasanya tidak menangis saat keluar dari rahim ibunya. Karena itu, dia sangat menganjurkan puskesmas-puskesmas untuk memiliki alat tersebut.
Bahkan, banyak rumah sakit yang memiliki tempat perawatan NICU yang membeli alat buatan Rina tersebut. Sebab, di RS besar sering kali jarak tempat persalinan dengan ruang perawatan sangat jauh. Jadi, dibutuhkan waktu untuk menjangkaunya.
Rina menyampaikan, alat itu saat ini sudah diproduksi massal. Pabriknya adalah PT Fyrom International yang berlokasi di Bekasi. Harga satu unit alat tersebut mencapai Rp 36 juta. Menurut dia, harga itu bisa dibilang murah. ”Karena berbeda dengan alat serupa yang impor dan mahal itu, alat ini tidak perlu pengisian ulang gas medis,” jelasnya.
Dengan rakitan yang dibuat koleganya dari fakultas teknik, Mix Safe bisa menghasilkan gas medis sendiri. Jadi, slang di alat tersebut langsung disambungkan ke alat pernapasan bayi.
Seketika itu pula paru-paru bayi mengembang dan mulai bisa bernapas normal. Rina memastikan alatnya aman karena menghasilkan oksigen dengan kadar terukur sehingga aman untuk bayi.
Inovasinya bersama tim itu membuatnya diganjar penghargaan ASN Inspiratif 2021. Dan, beberapa waktu lalu, saat dia ikut pameran alat kesehatan di Dubai, Mix Safe diminati koleganya dari Afrika Selatan dan Timor Leste.
Rina tentu saja bangga. Sayangnya, sampai saat ini, Mix Safe belum bisa diekspor. ”Masih memerlukan persyaratan administrasi,” katanya. (*/c14/ttg/JPG)