Keretakan di Bahrain: Pemicu Bara dalam Sekam
Mari kita mundur sedikit ke laga kontra Bahrain beberapa bulan silam, sekitar pertengahan November 2024. Menurut laporan Kompas (18 November 2024), terjadi benturan gagasan—atau katakanlah “keretakan”—di tubuh Timnas pasca pertandingan tersebut. Sejumlah pemain diaspora disebut berupaya mengajak STY berdiskusi soal strategi dan evaluasi setelah kita gagal menutup laga dengan kemenangan, gara-gara gol penyeimbang tuan rumah di menit-menit akhir.
Akan tetapi, kabarnya STY justru enggan membuka dialog. Entah karena keterbatasan waktu, suasana hati, atau memang ada alasan lain. Satu hal yang tercium adalah ketidaknyamanan sang pelatih saat pemain mencoba “menggugat” beberapa keputusan taktiknya. Perbedaan persepsi ini kian membesar dan, konon, merambat hingga pemberian “hukuman” non-teknis pada laga berikutnya melawan China pada 15 Oktober 2024.
Bukti nyata—jika kita berpatokan pada laporan berbagai media—terlihat dari komposisi Starting XI kontra China. Tiba-tiba, beberapa pemain diaspora krusial seperti Thom Haye, Jordi Amat, Sandy Walsh, bahkan Malik Risaldi –yang tampil gemilang lawan Bahrain–, diparkir di bangku cadangan. Yang mengejutkan pula, ban kapten Jay Idzes tiba-tiba dicopot, lalu berpindah ke lengan Asnawi.
Publik pun bertanya-tanya: “Ada apa ini? Kenapa para diaspora yang biasanya jadi tulang punggung justru dipinggirkan?” Saya bukanlah tangan kanan STY, namun melihat fenomena semacam ini, saya menduga masalah yang mengintip bukan sekadar soal “rotasi biasa.” Ada dinamika non-teknis—seperti pergesekan ego, mis-komunikasi, atau kendala kultural—yang memicu retakan semakin melebar.
Apalagi, rumor meruak bahwa ketidakharmonisan tersebut melibatkan Mees Hilgers dan Eliano Reijnders, dua pilar diaspora yang baru-baru ini mulai unjuk gigi bersama Skuad Garuda. Kabar pun sempat menyinggung kemungkinan potensi “gesekan baru” apabila Ole Roemeny (pemain diaspora lain) ikut bergabung, mengingat kepribadiannya disebut mirip dengan Mees Hilgers. Sekali lagi, tidak ada yang bisa memastikan sejauh mana isu ini akurat.
Namun, asap tidak akan muncul tanpa api. PSSI pun, menurut sumber, terpaksa turun tangan langsung demi meredam keadaan.
Kesesakan yang Berujung Pemecatan
Pertandingan kontra China berakhir 1-2, menambah catatan pilu. Semua lampu sorot publik pun tertuju pada “mengapa strategi brilian STY tiba-tiba tumpul?” Tekanan kian deras, mulai dari tuntutan media, netizen garis keras, hingga lobi-lobi internal PSSI. Di sinilah ET tampaknya menimbang berbagai faktor dengan kepala pening.
Sebenarnya, rumor pemecatan STY sudah menggema seketika usai laga melawan China. Hanya saja, PSSI memilih menunggu momen yang lebih tepat—mungkin agar tidak terlihat gegabah. Semakin hari, aura di ruang ganti makin suram, bagai langit mendung yang menanti hujan badai. Lalu, akhirnya pada 6 Januari 2025, keputusan pun jatuh: Shin Tae-yong diberhentikan sebagai pelatih Timnas Indonesia.
Meski menyesakkan, saya mengajak publik untuk melihat dari perspektif yang lebih luas. Bukan berarti STY tak punya jasa. Justru, kita semua tahu tangan dinginnya sudah melejitkan performa Timnas. Namun, di dunia kepelatihan, relasi antarpemain dan pelatih itu ibarat klop kunci dan gembok. Ketika mulai macet, risikonya adalah seretnya kinerja satu tim. Dalam konstelasi kompetisi kualifikasi Piala Dunia Zona Asia yang makin kejam, dinamika internal tim berpotensi menjadi bumerang lebih fatal.
Saya tidak sedang mengatakan ini adalah keputusan terbaik atau terburuk. Hanya saja, kita juga tahu bahwa PSSI sebagai federasi tentu tak ingin Timnas terperosok lebih dalam gara-gara konflik berlarut. Baik STY maupun para pemain diaspora, saya yakin, sama-sama punya niat mulia untuk memajukan sepakbola Indonesia. Tapi sekali lagi, “perceraian” kerap terjadi bukan semata tak cocok, melainkan karena keretakan kecil yang tak terjembatani di saat krusial.