Di sana-sini, para calon juga tidak segan menerabas hukum, melakukan politik uang, menghalalkan nepotisme, bahkan mempraktekan isu-isu SARA (suku, agama, ras dan antar golongan).
Semuanya ini dilakukan hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau partai tertentu. Di banyak tempat pesta demokrasi itu sering kali berproses dan berakhir dengan konflik baik horizontal (di antara pribadi, keluarga keluarga, kelompok-kelompok masyarakat, antar partai) maupun konflik vertikal yang berkepanjangan sehingga memakan waktu dan biaya mahal dalam penyelesaian permasalahan terkait pemilu.
“Persiapan dan perayaan Natal kali ini cukup menarik dan menantang karena bersamaan dengan persiapan untuk Pemilu 2024.” Ungkap Uskup.
Kita sebagai warga bangsa akan memilih para pemimpin dan wakil rakyat. Di satu sisi, perhelatan politik itu membawa kegembiraan dan sukacita: tetapi di sisi lain perhelatan itu tidak jarang menyisahkan dampak negatif seperti lahir atau munculnya beragam konflik baik horisontal maupun vertikal.
“Bagi umat Kristiani pilihan untuk terlibat dalam politik merupakan bagian dari cara untuk memuliakan Allah. Maka politik identitas dan politik uang atau bentuk-bentuk politik yang tidak mencerminkan nilai-nilai Kristiani bukanlah pilihan perjuangan politik kita.”tandasnya.
“Kita menolak politik kekuasaan yang menghalalkan segala cara termasuk mengorbankan rakyat dan merendahkan martabat luhur kehidupan. Semangat Natal mesti menggerakan seluruh umat Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam menata kehidupan berbangsa yang lebih bermartabat demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, pantaslah kalau kita mendukung perjuangan politik yang mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.”lanjutnya.