Bagi mereka, hidup di Gajah Mada adalah dilema panjang antara rasa takut dan keterpaksaan. Setiap kali hujan turun, jantung mereka ikut berdegup kencang, mengingat betapa cepat air bisa naik dan menelan semuanya.
Indra, salah satu mantan penghuni BTN Gajah Mada, akhirnya menyerah. Ia memilih meninggalkan rumahnya, meski itu berarti kehilangan harta yang telah ia bangun dengan susah payah. “Setiap hujan pasti banjir. Semua perabot rusak. Ketimbang terus hidup dengan rasa cemas, saya lebih baik pindah ke tempat baru, meski cuma kos-kosan,” ujarnya pelan.
Fitus, penghuni lainnya, menambahkan kisah serupa. “Rumah saya sebenarnya sudah lunas tahun ini,” katanya lirih. “Tapi lihat sekarang, yang tersisa cuma puing. Dindingnya runtuh, materialnya hancur. Semua sirna.”jelasnya.
Kini, BTN Gajah Mada lebih mirip kuburan tua. Rumput liar tumbuh lebat di jalanan yang dulu beraspal halus. Kangkung rawa dan enceng gondok merayap di pekarangan yang dulu menjadi taman. Sunyi menyelimuti seluruh kompleks, seakan waktu berhenti di sana sejak 2019.
Tak ada investor yang berani melirik kawasan itu lagi. Trauma banjir terlalu dalam, dan nilai tanah yang dulu ratusan juta kini tak lebih dari sebidang lahan kosong yang ditinggalkan waktu.
BTN Gajah Mada menjadi pengingat bahwa di balik pembangunan yang megah, ada kisah manusia yang tertinggal. Kisah tentang kehilangan, bertahan, dan harapan yang masih menunggu entah sampai kapan. (*/wen)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos