Saturday, April 27, 2024
27.7 C
Jayapura

Pecel Menu Favorit Sejak Mahasiswa, Minta Nasi Bebek Dua Versi Bumbu

Pecel SGPC Bu Wiryo 1959 dan Bebek Bumbu Merah dan Bumbu Putih Kegemaran Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah bagian dari kenangan Warung Sego Pecel (SGPC) Bu Wiryo 1959. Dari sejak berstatus mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sampai menjadi wali kota Solo, menu favoritnya masih sama. Pecel plus telur ceplok dan sup.

SEPTIAN NUR HADI, Jogjakarta  &  Folly Akbar, Banda Aceh

BERDIRI sejak 1959, kini SGPC Bu Wiryo dikelola oleh Kelik Indarto. Generasi kedua warung pecel legendaris itu mengambil alih kendali setelah sang ibu meninggal dunia pada 1995. Sebelum menempati lokasi yang sekarang di Jalan Agro, Caturtunggal, Depok, SGPC Bu Wiryo terletak di lingkungan kampus UGM. Tepatnya, di dekat fakultas kehutanan.

Saat itu, SGPC Bu Wiryo merupakan warung pecel pertama di UGM. Menu utamanya tentu saja pecel. Mahal atau tidaknya bergantung lauk yang dipilih menjadi teman pecel. Tidak hanya murah meriah dan pas di kantong, SGPC Bu Wiryo langsung menjadi favorit karena ada layanan pay later. Alias, ngutang dulu.

Kelik mengatakan bahwa para mahasiswa pengutang biasanya melunasi tanggungan mereka selepas Lebaran. Atau, setelah mereka menerima wesel dari orang tua di kampung halaman. Pada masa itu, uang tunai lazim dikirimkan via pos. Karena kiriman uang dari kampung halaman sering terlambat, SGPC Bu Wiryo pun tidak keberatan jika ada yang utang. Tapi, harus jujur dan mencatatkan besaran utangnya.

’’Ada yang berkata jujur. Ada yang sebaliknya. Banyak yang mengaku dharmaji, dhahar lima ngaku siji. Makan lima, mengaku satu. Meski tahu banyak yang bohong, ibu nggak marah,’’ papar Kelik tentang istilah dharmaji.

Ketika itu, Jokowi pun termasuk dalam rombongan dharmaji tersebut. Setelah mereka lulus dari UGM, istilah itu menjadi bahan lelucon. Setiap kali datang lagi ke SGPC Bu Wiryo, Jokowi selalu menanyakan siapa saja temannya yang masih punya utang. Jika memang masih ada yang utang, Jokowi menagihkannya kepada yang bersangkutan. Atau, malah dia yang melunasi utang-utang itu.

’’Kalau dulu dharmaji, sekarang sebaliknya. Makan satu ngaku lima. Bahkan saling bayarin utang teman. Maklum, sudah jadi pejabat. Uangnya banyak,’’ ujar Kelik.

Pria 55 tahun itu bercerita, Jokowi kali pertama datang ke warungnya pada 1980-an. Saat warung masih dikelola ibunya, Kelik mengatakan bahwa Jokowi hampir setiap hari makan di sana. Meski postur badannya slim alias langsing, porsi makan Jokowi banyak.

Bapak tiga anak itu paling suka sego pecel (nasi pecel) dengan lauk telur ceplok. Menu lain yang juga dia suka adalah sup. Dari dulu, Jokowi tidak suka dilayani. Dia lebih memilih untuk mengambil makanannya sendiri. Kebiasaan itu berlaku sampai dia lulus dari UGM dan menjadi pejabat pemerintah.

Kepada Jawa Pos yang menyambanginya pada pertengahan Desember 2021, Kelik mengatakan bahwa Jokowi kali terakhir mampir ke warungnya pada 2011. Ketika itu, Jokowi masih menjabat wali kota Solo dan sedang persiapan mengikuti pilkada Jakarta. Jokowi datang ke SGPC Bu Wiryo bersama istrinya, Iriana.

’’Menu yang dipilih masih sama. Nasi pecel telur caplok dan sup,’’ terang bapak empat anak tersebut. Tapi, imbuh dia, ada beberapa lauk tambahan yang Jokowi pilih saat itu. Tempe, tahu, perkedel, sate telur puyuh, dan ayam goreng, dicoba semua. Tidak pakai hemat-hematan lagi. Maklum, sudah jadi pejabat.

’’Jadi, uangnya akeh (banyak, Red), nggak kayak zaman kuliah dulu,’’ imbuh Kelik, lantas tertawa.

Pada lawatan 2011 itu, Jokowi sempat mengatakan kepada Kelik bahwa rasa pecel dan supnya tidak berubah. Tetap sama seperti saat masih dikelola Bu Wiryo. Kalimat itu membuat Kelik bangga. ’’Kalau makan di sini, beliau jadi teringat zaman kuliah dulu. Ibaratnya, alumni UGM itu belum mudik ke Jogja kalau belum makan sego pecel Bu Wiryo,’’ papar Kelik.

Meski sudah berjualan nasi pecel selama 63 tahun, SGPC Bu Wiryo tidak berminat untuk beralih ke menu lain. Nasi pecel dengan berbagai pilihan lauk dan nasi sup tetap menjadi andalan. Ketimbang diversifikasi menu, Kelik lebih tertarik untuk meningkatkan layanan kepada pelanggan. Selain pay later, SGPC Bu Wiryo juga menyajikan musik tradisional di warungnya. Live music dengan gamelan sebagai iringan tetap.

Baca Juga :  Sempat Tujuh Tahun Tak Berani Cerita Kondisi ke Keluarga

Selain untuk melestarikan musik tradisional, Kelik mengatakan bahwa live music gamelan itu juga menjadi caranya untuk membantu para seniman Jogja. Sebelum pandemi, mereka bisa berkeliling ke berbagai tempat untuk ngamen. Namun, pandemi menggulung rezeki yang biasanya mereka pungut di jalanan.

SGPC Bu Wiryo buka setiap hari mulai pukul 06.00 WIB dan tutup pada pukul 19.00 WIB. Sekarang satu porsi nasi pecel dijual dengan harga Rp 18 ribu. Sedangkan, harga nasi sup Rp 24 ribu. Dalam sehari, sebanyak 250 hingga 500 porsi pecel dan sup terjual.

Sejak mulai buka itulah, alunan musik tradisional terdengar. Setiap pagi para seniman lokal tersebut mengiringi para pelanggan bersantap. Kendati alat musik mereka adalah gamelan, Kelik menuntut para seniman itu bisa memainkan segala jenis lagu. Itu merupakan bentuk komitmennya kepada para pengunjung warung yang dia persilakan me-request lagu secara bebas. Kadang, beberapa pengunjung memilih untuk menyanyi bersama, seperti berkaraoke.

’’Pelanggan jadi merasa terhibur. Sehingga mereka datang ke sini tidak hanya untuk makan, tapi juga menikmati musik gamelan,” terangnya.

Saat Jawa Pos mencicipi pecel legendaris itu, warung memang ramai. Pengunjung datang silih berganti. Yang satu pergi, yang lain datang. Begitu terus. Tidak pernah ada bangku yang kosong. Meski kadang harus ada yang antre, pengunjung tidak sampai bad mood. Mereka bisa menunggu sambil ikut berdendang karena alunan musik tradisional tidak berhenti.

Pagi itu, pengunjung warung tidak hanya datang dari Jogja. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Indriawati salah satunya. Warga Pasteur, Bandung, itu sengaja ke SGPC Bu Wiryo pagi-pagi untuk menjawab rasa penasarannya.

’’Kebetulan lagi liburan di Jogjakarta. Lalu, saya mampir ke sini,’’ kata perempuan 25 tahun itu. Dia mengatakan bahwa apa yang dia dengar ternyata sama dengan faktanya. Pecel Bu Wiryo enak, unik, dan bikin ketagihan. Pagi itu, dia menyantap nasi pecel dengan lauk telur ceplok, tempe, dan perkedel. ’’Pas dengan selera aku,” imbuhnya.

Kelik mengaku hampir menyerah menjalankan amanat mendiang ibunya saat badai Covid-19 melanda. Khususnya, saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Warung harus tutup, otomatis tak ada pendapatan. Namun, dia selalu berpegang pada wasiat sang ibu. Maka, dengan berbagai cara, dia kemudian bertahan.

’’Sebelum meninggal, ibu bilang sego pecel harus tetap berjalan sampai kapan pun. Dia juga pesan, rasanya harus sama. Nggak boleh ada yang berubah,’’ ungkapnya.

Sementara itu, nasi bebek menjadi menu andalan Bu Si Itek Bireuen. Potongan daging bebek di atas piring-piring saji itu memang berkubang bumbu kari. Warnanya merah kecokelatan dengan tekstur seperti santan kental. Namun, di lidah Jawa Pos yang mencoba olahan bebek tersebut pada awal Februari lalu, kuliner khas Aceh itu lebih dari sekadar kari. Aroma rempahnya jauh lebih kuat dan rasanya sangat gurih.

Saiful, juru masak paling senior di restoran tersebut, menyatakan bahwa ada belasan rempah yang dicampur menjadi bumbu nasi bebek. Mulai yang populer seperti bawang, cabai merah, ketumbar, merica, kunyit, jahe, serai, dan pala, sampai yang jarang dipakai dalam masakan seperti jintan, kapulaga putih, bunga lawang, dan daun temurui.

Ada rahasia yang Saiful ungkap kepada Jawa Pos saat berbincang di Banda Aceh. Nanas. Selalu ada nanas yang dimasak bersama bumbu bebek. Potongan-potongan nanas itu lantas diikutkan dalam nasi bebek yang tersaji di atas meja. Tidak banyak-banyak, satu potong saja. Namun, wajib ada. Potongan nanas dalam bumbu tidak boleh ketinggalan. ’’Setelah makan daging, makan nanas. Istilahnya cuci mulut,’’ terangnya.

Baca Juga :  Menginap di Bibir Kawah Bawa Kubis dan Bawang Merah

Orang kepercayaan Ustad Heri, pemilik Bu Si Itek Bireuen, itu menyatakan bahwa masyarakat Aceh terbiasa makan buah setelah makan besar. Bagi restoran yang terletak di Jalan Teuku Umar itu, nanas adalah buah yang paling tepat untuk mendampingi nasi bebek. Maka, sejak awal berdiri, rumah makan di samping Pasar Setui tersebut selalu menyertakan potongan nanas dalam porsi makanan yang disajikan untuk pelanggan.

Jokowi, kata Saiful, pernah singgah ke Bu Si Itek Bireuen. Ketika itu, presiden ke-7 RI tersebut juga menyantap nasi bebek. ’’Sekitar 2018,’’ ujarnya tentang tahun kunjungan Jokowi. Yang Saiful ingat, sang presiden minta nasi bebek dalam dua versi bumbu. Versi merah dan versi putih. Khusus bumbu putih, bebek diolah mirip opor. Bumbu putih biasanya disuguhkan untuk pelanggan yang tidak suka pedas.

Dalam kunjungannya ke Bu Si Itek Bireuen, Jokowi didampingi pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh. ’’Awalnya Pak Jokowi pengin mencicipi makanan khas Aceh, gimana rasanya. Dibawalah kemari,’’ tuturnya.

Selain nasi bebek bumbu merah dan bumbu putih, Bu Si Itek Bireuen menyuguhkan menu lainnya kepada Jokowi. Ada ayam tangkap khas Aceh, hati ayam, teri balado, dan tumis kembang pepaya. Tak lupa, es pepaya serut juga disuguhkan sebagai minuman. ’’Pak Jokowi suka menunya,’’ kata Saiful. Sayang, dia tidak ingat sajian apa saja selain bebek yang dicicipi presiden.

Dalam satu hari, Bu Si Itek Bireuen bisa melayani ratusan pelanggan. Ustad Heri biasanya memotong 60 ekor bebek dan sekitar 50 ekor ayam. Jumlah itu bertambah hampir dua kali lipat pada musim liburan. Terutama libur akhir tahun. Harga satu porsi nasi bebek khas Aceh di restoran tersebut berkisar Rp 30 ribu. Bisa menjadi lebih mahal jika pelanggan menghendaki lauk tambahan.

Apakah kedatangan Jokowi ke Bu Si Itek Bireuen membuat kunjungan ke restoran tersebut meningkat? ’’Banyak tamu pendatang dari luar. Dari Jakarta, Padang, Medan, dan Jawa,’’ terang Saiful. Menurut dia, kedatangan Jokowi menjadi promosi yang membuat nama Bu Si Itek Bireuen dikenal luas. Bukan hanya di Pulau Sumatera, melainkan juga di seluruh penjuru tanah air.

Kesuksesan yang kini dirasakan Bu Si Itek Bireuen, menurut Saiful, tidak datang dengan tiba-tiba. Dia menyaksikan perjuangan Ustad Heri dari nol sampai sekarang. Awalnya, nasi bebek kreasi sang ustad hanya dijual di emperan ruko. Pada awal 2000-an, Ustad Heri berjualan dengan menggunakan gerobak. Setiap hari dia mangkal di depan Masjid Teungku Umar, Banda Aceh.

’’Selang lima tahun baru pindah ke ruko, setelah ada rezeki,’’ lanjut pria 32 tahun itu. Ruko yang kini menjadi lokasi Bu Si Itek Bireuen terletak tidak jauh dari tempat mangkal Ustad Heri saat masih berjualan dengan gerobak pada 2000-an lalu.

Saiful menyatakan bahwa Bu Si Itek Bireuen tidak punya cabang. Bahkan, Ustad Heri tidak berencana membuka cabang. Dia lebih fokus menjaga kualitas kulinernya. Selain itu, dengan mempertahankan warung pada skala yang sekarang, Ustad Heri menjadi lebih mudah mengontrol karyawannya. ’’Ustad Heri sangat perhatian pada karyawan,’’ ungkap Saiful.

Tidak hanya memperhatikan kesejahteraan karyawannya, Ustad Heri juga selalu mengingatkan mereka untuk menjaga salat. Tepatnya salat berjamaah. Karena itu, tiap kali azan berkumandang, dia memerintah seluruh karyawannya berhenti beraktivitas sejenak. Apa pun yang sedang dikerjakan harus ditinggalkan. Semua karyawan wajib salat berjamaah. ’’Sejak dulu sampai sekarang, begitu mendengar azan ya kegiatan berhenti. Itu setiap hari. Selalu,’’ cerita Saiful.

Kebiasaan baik Bu Si Itek Bireuen itu mendapatkan respons positif dari para pelanggan. Jika kebetulan ada yang singgah ke restoran bertepatan dengan waktu salat, mereka akan menunggu. Namun, biasanya pelanggan datang ke rumah makan sebelum atau sesudah azan. Saiful menegaskan bahwa aturan tersebut akan tetap dijalankan sampai kapan pun. Itu menjadi bagian dari ketaatan penduduk Aceh pada aturan agama yang mereka pegang teguh. (*/c6/c12/hep/JPG)

Pecel SGPC Bu Wiryo 1959 dan Bebek Bumbu Merah dan Bumbu Putih Kegemaran Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah bagian dari kenangan Warung Sego Pecel (SGPC) Bu Wiryo 1959. Dari sejak berstatus mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM sampai menjadi wali kota Solo, menu favoritnya masih sama. Pecel plus telur ceplok dan sup.

SEPTIAN NUR HADI, Jogjakarta  &  Folly Akbar, Banda Aceh

BERDIRI sejak 1959, kini SGPC Bu Wiryo dikelola oleh Kelik Indarto. Generasi kedua warung pecel legendaris itu mengambil alih kendali setelah sang ibu meninggal dunia pada 1995. Sebelum menempati lokasi yang sekarang di Jalan Agro, Caturtunggal, Depok, SGPC Bu Wiryo terletak di lingkungan kampus UGM. Tepatnya, di dekat fakultas kehutanan.

Saat itu, SGPC Bu Wiryo merupakan warung pecel pertama di UGM. Menu utamanya tentu saja pecel. Mahal atau tidaknya bergantung lauk yang dipilih menjadi teman pecel. Tidak hanya murah meriah dan pas di kantong, SGPC Bu Wiryo langsung menjadi favorit karena ada layanan pay later. Alias, ngutang dulu.

Kelik mengatakan bahwa para mahasiswa pengutang biasanya melunasi tanggungan mereka selepas Lebaran. Atau, setelah mereka menerima wesel dari orang tua di kampung halaman. Pada masa itu, uang tunai lazim dikirimkan via pos. Karena kiriman uang dari kampung halaman sering terlambat, SGPC Bu Wiryo pun tidak keberatan jika ada yang utang. Tapi, harus jujur dan mencatatkan besaran utangnya.

’’Ada yang berkata jujur. Ada yang sebaliknya. Banyak yang mengaku dharmaji, dhahar lima ngaku siji. Makan lima, mengaku satu. Meski tahu banyak yang bohong, ibu nggak marah,’’ papar Kelik tentang istilah dharmaji.

Ketika itu, Jokowi pun termasuk dalam rombongan dharmaji tersebut. Setelah mereka lulus dari UGM, istilah itu menjadi bahan lelucon. Setiap kali datang lagi ke SGPC Bu Wiryo, Jokowi selalu menanyakan siapa saja temannya yang masih punya utang. Jika memang masih ada yang utang, Jokowi menagihkannya kepada yang bersangkutan. Atau, malah dia yang melunasi utang-utang itu.

’’Kalau dulu dharmaji, sekarang sebaliknya. Makan satu ngaku lima. Bahkan saling bayarin utang teman. Maklum, sudah jadi pejabat. Uangnya banyak,’’ ujar Kelik.

Pria 55 tahun itu bercerita, Jokowi kali pertama datang ke warungnya pada 1980-an. Saat warung masih dikelola ibunya, Kelik mengatakan bahwa Jokowi hampir setiap hari makan di sana. Meski postur badannya slim alias langsing, porsi makan Jokowi banyak.

Bapak tiga anak itu paling suka sego pecel (nasi pecel) dengan lauk telur ceplok. Menu lain yang juga dia suka adalah sup. Dari dulu, Jokowi tidak suka dilayani. Dia lebih memilih untuk mengambil makanannya sendiri. Kebiasaan itu berlaku sampai dia lulus dari UGM dan menjadi pejabat pemerintah.

Kepada Jawa Pos yang menyambanginya pada pertengahan Desember 2021, Kelik mengatakan bahwa Jokowi kali terakhir mampir ke warungnya pada 2011. Ketika itu, Jokowi masih menjabat wali kota Solo dan sedang persiapan mengikuti pilkada Jakarta. Jokowi datang ke SGPC Bu Wiryo bersama istrinya, Iriana.

’’Menu yang dipilih masih sama. Nasi pecel telur caplok dan sup,’’ terang bapak empat anak tersebut. Tapi, imbuh dia, ada beberapa lauk tambahan yang Jokowi pilih saat itu. Tempe, tahu, perkedel, sate telur puyuh, dan ayam goreng, dicoba semua. Tidak pakai hemat-hematan lagi. Maklum, sudah jadi pejabat.

’’Jadi, uangnya akeh (banyak, Red), nggak kayak zaman kuliah dulu,’’ imbuh Kelik, lantas tertawa.

Pada lawatan 2011 itu, Jokowi sempat mengatakan kepada Kelik bahwa rasa pecel dan supnya tidak berubah. Tetap sama seperti saat masih dikelola Bu Wiryo. Kalimat itu membuat Kelik bangga. ’’Kalau makan di sini, beliau jadi teringat zaman kuliah dulu. Ibaratnya, alumni UGM itu belum mudik ke Jogja kalau belum makan sego pecel Bu Wiryo,’’ papar Kelik.

Meski sudah berjualan nasi pecel selama 63 tahun, SGPC Bu Wiryo tidak berminat untuk beralih ke menu lain. Nasi pecel dengan berbagai pilihan lauk dan nasi sup tetap menjadi andalan. Ketimbang diversifikasi menu, Kelik lebih tertarik untuk meningkatkan layanan kepada pelanggan. Selain pay later, SGPC Bu Wiryo juga menyajikan musik tradisional di warungnya. Live music dengan gamelan sebagai iringan tetap.

Baca Juga :  Semua Biaya Ditanggung Pemkot, Diharapkan jadi Generasi Emas Port Numbay

Selain untuk melestarikan musik tradisional, Kelik mengatakan bahwa live music gamelan itu juga menjadi caranya untuk membantu para seniman Jogja. Sebelum pandemi, mereka bisa berkeliling ke berbagai tempat untuk ngamen. Namun, pandemi menggulung rezeki yang biasanya mereka pungut di jalanan.

SGPC Bu Wiryo buka setiap hari mulai pukul 06.00 WIB dan tutup pada pukul 19.00 WIB. Sekarang satu porsi nasi pecel dijual dengan harga Rp 18 ribu. Sedangkan, harga nasi sup Rp 24 ribu. Dalam sehari, sebanyak 250 hingga 500 porsi pecel dan sup terjual.

Sejak mulai buka itulah, alunan musik tradisional terdengar. Setiap pagi para seniman lokal tersebut mengiringi para pelanggan bersantap. Kendati alat musik mereka adalah gamelan, Kelik menuntut para seniman itu bisa memainkan segala jenis lagu. Itu merupakan bentuk komitmennya kepada para pengunjung warung yang dia persilakan me-request lagu secara bebas. Kadang, beberapa pengunjung memilih untuk menyanyi bersama, seperti berkaraoke.

’’Pelanggan jadi merasa terhibur. Sehingga mereka datang ke sini tidak hanya untuk makan, tapi juga menikmati musik gamelan,” terangnya.

Saat Jawa Pos mencicipi pecel legendaris itu, warung memang ramai. Pengunjung datang silih berganti. Yang satu pergi, yang lain datang. Begitu terus. Tidak pernah ada bangku yang kosong. Meski kadang harus ada yang antre, pengunjung tidak sampai bad mood. Mereka bisa menunggu sambil ikut berdendang karena alunan musik tradisional tidak berhenti.

Pagi itu, pengunjung warung tidak hanya datang dari Jogja. Ada yang dari Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Indriawati salah satunya. Warga Pasteur, Bandung, itu sengaja ke SGPC Bu Wiryo pagi-pagi untuk menjawab rasa penasarannya.

’’Kebetulan lagi liburan di Jogjakarta. Lalu, saya mampir ke sini,’’ kata perempuan 25 tahun itu. Dia mengatakan bahwa apa yang dia dengar ternyata sama dengan faktanya. Pecel Bu Wiryo enak, unik, dan bikin ketagihan. Pagi itu, dia menyantap nasi pecel dengan lauk telur ceplok, tempe, dan perkedel. ’’Pas dengan selera aku,” imbuhnya.

Kelik mengaku hampir menyerah menjalankan amanat mendiang ibunya saat badai Covid-19 melanda. Khususnya, saat penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Warung harus tutup, otomatis tak ada pendapatan. Namun, dia selalu berpegang pada wasiat sang ibu. Maka, dengan berbagai cara, dia kemudian bertahan.

’’Sebelum meninggal, ibu bilang sego pecel harus tetap berjalan sampai kapan pun. Dia juga pesan, rasanya harus sama. Nggak boleh ada yang berubah,’’ ungkapnya.

Sementara itu, nasi bebek menjadi menu andalan Bu Si Itek Bireuen. Potongan daging bebek di atas piring-piring saji itu memang berkubang bumbu kari. Warnanya merah kecokelatan dengan tekstur seperti santan kental. Namun, di lidah Jawa Pos yang mencoba olahan bebek tersebut pada awal Februari lalu, kuliner khas Aceh itu lebih dari sekadar kari. Aroma rempahnya jauh lebih kuat dan rasanya sangat gurih.

Saiful, juru masak paling senior di restoran tersebut, menyatakan bahwa ada belasan rempah yang dicampur menjadi bumbu nasi bebek. Mulai yang populer seperti bawang, cabai merah, ketumbar, merica, kunyit, jahe, serai, dan pala, sampai yang jarang dipakai dalam masakan seperti jintan, kapulaga putih, bunga lawang, dan daun temurui.

Ada rahasia yang Saiful ungkap kepada Jawa Pos saat berbincang di Banda Aceh. Nanas. Selalu ada nanas yang dimasak bersama bumbu bebek. Potongan-potongan nanas itu lantas diikutkan dalam nasi bebek yang tersaji di atas meja. Tidak banyak-banyak, satu potong saja. Namun, wajib ada. Potongan nanas dalam bumbu tidak boleh ketinggalan. ’’Setelah makan daging, makan nanas. Istilahnya cuci mulut,’’ terangnya.

Baca Juga :  Menginap di Bibir Kawah Bawa Kubis dan Bawang Merah

Orang kepercayaan Ustad Heri, pemilik Bu Si Itek Bireuen, itu menyatakan bahwa masyarakat Aceh terbiasa makan buah setelah makan besar. Bagi restoran yang terletak di Jalan Teuku Umar itu, nanas adalah buah yang paling tepat untuk mendampingi nasi bebek. Maka, sejak awal berdiri, rumah makan di samping Pasar Setui tersebut selalu menyertakan potongan nanas dalam porsi makanan yang disajikan untuk pelanggan.

Jokowi, kata Saiful, pernah singgah ke Bu Si Itek Bireuen. Ketika itu, presiden ke-7 RI tersebut juga menyantap nasi bebek. ’’Sekitar 2018,’’ ujarnya tentang tahun kunjungan Jokowi. Yang Saiful ingat, sang presiden minta nasi bebek dalam dua versi bumbu. Versi merah dan versi putih. Khusus bumbu putih, bebek diolah mirip opor. Bumbu putih biasanya disuguhkan untuk pelanggan yang tidak suka pedas.

Dalam kunjungannya ke Bu Si Itek Bireuen, Jokowi didampingi pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) Aceh. ’’Awalnya Pak Jokowi pengin mencicipi makanan khas Aceh, gimana rasanya. Dibawalah kemari,’’ tuturnya.

Selain nasi bebek bumbu merah dan bumbu putih, Bu Si Itek Bireuen menyuguhkan menu lainnya kepada Jokowi. Ada ayam tangkap khas Aceh, hati ayam, teri balado, dan tumis kembang pepaya. Tak lupa, es pepaya serut juga disuguhkan sebagai minuman. ’’Pak Jokowi suka menunya,’’ kata Saiful. Sayang, dia tidak ingat sajian apa saja selain bebek yang dicicipi presiden.

Dalam satu hari, Bu Si Itek Bireuen bisa melayani ratusan pelanggan. Ustad Heri biasanya memotong 60 ekor bebek dan sekitar 50 ekor ayam. Jumlah itu bertambah hampir dua kali lipat pada musim liburan. Terutama libur akhir tahun. Harga satu porsi nasi bebek khas Aceh di restoran tersebut berkisar Rp 30 ribu. Bisa menjadi lebih mahal jika pelanggan menghendaki lauk tambahan.

Apakah kedatangan Jokowi ke Bu Si Itek Bireuen membuat kunjungan ke restoran tersebut meningkat? ’’Banyak tamu pendatang dari luar. Dari Jakarta, Padang, Medan, dan Jawa,’’ terang Saiful. Menurut dia, kedatangan Jokowi menjadi promosi yang membuat nama Bu Si Itek Bireuen dikenal luas. Bukan hanya di Pulau Sumatera, melainkan juga di seluruh penjuru tanah air.

Kesuksesan yang kini dirasakan Bu Si Itek Bireuen, menurut Saiful, tidak datang dengan tiba-tiba. Dia menyaksikan perjuangan Ustad Heri dari nol sampai sekarang. Awalnya, nasi bebek kreasi sang ustad hanya dijual di emperan ruko. Pada awal 2000-an, Ustad Heri berjualan dengan menggunakan gerobak. Setiap hari dia mangkal di depan Masjid Teungku Umar, Banda Aceh.

’’Selang lima tahun baru pindah ke ruko, setelah ada rezeki,’’ lanjut pria 32 tahun itu. Ruko yang kini menjadi lokasi Bu Si Itek Bireuen terletak tidak jauh dari tempat mangkal Ustad Heri saat masih berjualan dengan gerobak pada 2000-an lalu.

Saiful menyatakan bahwa Bu Si Itek Bireuen tidak punya cabang. Bahkan, Ustad Heri tidak berencana membuka cabang. Dia lebih fokus menjaga kualitas kulinernya. Selain itu, dengan mempertahankan warung pada skala yang sekarang, Ustad Heri menjadi lebih mudah mengontrol karyawannya. ’’Ustad Heri sangat perhatian pada karyawan,’’ ungkap Saiful.

Tidak hanya memperhatikan kesejahteraan karyawannya, Ustad Heri juga selalu mengingatkan mereka untuk menjaga salat. Tepatnya salat berjamaah. Karena itu, tiap kali azan berkumandang, dia memerintah seluruh karyawannya berhenti beraktivitas sejenak. Apa pun yang sedang dikerjakan harus ditinggalkan. Semua karyawan wajib salat berjamaah. ’’Sejak dulu sampai sekarang, begitu mendengar azan ya kegiatan berhenti. Itu setiap hari. Selalu,’’ cerita Saiful.

Kebiasaan baik Bu Si Itek Bireuen itu mendapatkan respons positif dari para pelanggan. Jika kebetulan ada yang singgah ke restoran bertepatan dengan waktu salat, mereka akan menunggu. Namun, biasanya pelanggan datang ke rumah makan sebelum atau sesudah azan. Saiful menegaskan bahwa aturan tersebut akan tetap dijalankan sampai kapan pun. Itu menjadi bagian dari ketaatan penduduk Aceh pada aturan agama yang mereka pegang teguh. (*/c6/c12/hep/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya