Dari sisi teknis, Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang dikelolanya terkesan tidak dipersiapkan dengan baik, misalnya tidak adanya ruangan kantor yang representatif. Selain itu lantai satu bangunan difungsikan sebagai kantor untuk 15 orang pegawai. Sebelum mengekspoler lebih lanjut di museum tergolong mini itu, para pengunjung terlebih dahulu melakukan isi buku tamu sebagai laporan para petugas kepada pemerintah.
Untuk naik ke lantai ll, para pengunjung harus melewati lorong jalan yang disampaikan kirinya diperlihatkan foto-foto dokumentasi terkait dengan fungsi dan kegunaan noken oleh orang tua jaman dulu. Yang unik dalam deretan poster foto yang terpampang di dinding museum itu terlihat seorang bayi manusia digendong dengan mengunakan noken.
Namun sayangnya, lorong jalan masuk ke lantai ll itu tanpak licin karena sedikit tergenang air sisa AC yang mengalami bocor kedalam ruangan. Kondisi mengakibatkan lantai masuk ke pameran Noken di lantai ll sedikit mengalami basah dan licin. Sementara disudut lain satu dari sekian deretan poster Noken yang terpampang itu jatuh terkapar di lantai yang sedikit kotor. Tiba lantai ll, tempat semua jenis-jenis noken dari berbagai daerah di tanah Papua tersimpan rapih dalam lemari kaca.
Nahasnya, disetiap sudut lemari kaca itu, menjadi rumah bagi laba-laba, seperti jarang di bersihkan petugas. Tak sampai disitu kaca bening yang dahulunya bersih tanpa debu, kini berubah menjadi buram keputihan. Menanggapi terkait dengan itu, Guru besar Ilmu Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Cenderawasih (Uncen) Prof. Dr. Fredrik F. Sokoy, S.Sos, M.Sos mengaku sangat prihatin melihat kondisi bangunan itu.
Menurutnya kondisi ini terjadi karena masalah anggaran sehingga oprasi dari museum noken tidak berjalan optimal. Selain itu dampak dari efisiensi yang mengakibatkan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengalami efisiensi yg tidak masuk akal. “Terkait museum di Waena, kita merasa sangat prihatin. Masalah Anggaran untuk sebuah museum dapat melakukan tugas inventarisasi, perawatan koleksi, pengadaan koleksi papua dari berbagai suku bangsa di Papua adalah masalah yg melilit aspek kepemimpinan di museum waena belum berjalan optimal,” kata sang profesor kepada Cenderawasih Pos, Rabu (3/12).
Hal ini kata Prof Fredrik sangat bertentangan dengan semangat otsus papua yang menempatkan ‘Pendekatan Kultural’ sebagai model yang tepat membangun dunia museum yang merupakan wajah orang Papua di masa lampau dan nilai identitas yang dapat memandu masa depan bagi orang papua.
Karena itu dirinya, sangat menyayangkan kondisi museum noken yang tidak dirawat semestinya. Karena itu ia berharap kepada pemerintah provinsi Papua untuk lebih memperhatikan secara optimal seluruh asset kultural Pemerintah daerah Papua tersebut.
“Kondisi ini tidak bisa di tinggalkan lama sampai dengan seluruh artefak budaya hancur dan hilang. Kita juga akan membicarakan juga dengan gubernur Papua agar memiliki kesempatan untuk mengunjungi Museum ini, karena telah menjadi asset kultural pemerintah,” pungkasnya.