Friday, December 27, 2024
26.7 C
Jayapura

Sedari Pagi Hingga Larut, Pejuang Budaya Justru Terpajang di Pinggiran Jalan

Noken menyimpan kekayaan budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Namun, perjalanan pelestarian noken tidak lepas dari tantangan ambisi sepihak, kebijakan negara apatis yang tidak menghargai hak kepemilikan warisan budaya kearifan lokal di tanah ini.

“Kondisi mama-mama perajin noken Papua sebagai pembuat dan penjual noken mengadakan hingga kini masih memprihatinkan karena lebih banyak hanya menjajakan jualannya di pingiran jalan. Berjuang dari pagi hingga larut malam,” jelasnya.

Upaya untuk memastikan jika bahan baku noken tetap ada juga sepantasnya dilakukan. “Persoalan bahan baku ini juga berpeluang menjadi masalah sebabĀ  pembangunan proyek ketahanan pangan raksasa mengancam ketersediaan bahan baku,” imbuhnya.

Titus lantas menyerukan pertama, peningkatan perhatian pemerintah negara anggota Unesco terhadap pelestarian noken warisan budaya tak benda dari UnescoĀ  baik dalam hal pemberdayaan perajin mama warisan budaya, penyediaan akses pasar, maupun pelestarian lingkungan hidup hutan tropis sebagai sumber bahan baku pohon noken, tanpa upaya deforestasi.

Kedua, penguatan pendidikan dan sosialisasi tentang nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Papua di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan pemajuan kebudayaan Papua. Ketiga, pemanfaatan noken dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk apresiasi dan pelestarian warisan budaya dengan peningkatan pembangunan museum, galeri dan pasar dari pelosok sampai kota di tanah ini.

Baca Juga :  Pastikan Stok Kebutuhan Aman, Diharapkan Harga Tetap Stabil

“Jadikan momentum ini sebagai langkah awal untuk kembali ke kearifan lokal,melestarikan warisan budaya nenek moyang, dan membangun masa depan Papua yang berkelanjutan,” imbuhnya.

Titus juga menyebut menurut hasil penelitian Ecology Papua Institute-EPI jumlah noken di Papua meliputi tiga jenis noken secara umum, yaitu Jenis noken rajut, rajutan dari benang pintal tangan dari serat pohon atau kulit yang dibuat jadi serat kecil lalu dipintal jadi benang merajut noken dari tangan trampil mama noken Papua.

Ditambahkan bahwa jenis noken sulam, nyulam dari bahan benang sintetis pabrik yang dikenalkan oleh misionaris gerejani Zending yang masuk sejak 5 Februari 1855. Di pulau Mansinam bersama Ottow & Geissler dan misionaris gerejani missi katolik yang masuk sejak 22 Mei 1894 bersama Pastor Cornelis Le Cocq d’Armanville SJ di Kampung Skroe Fak-Fak.

Baca Juga :  Lukas Enembe Tak Bisa Lakukan Pemeriksaan MRI

“Para misionaris gerejani melihat perempuan, mama- mama trampil merajut dan menganyam hasilkan noken rajut jaring dan noken anyam tikar sebagai wadah multifungsi akhirnya misionaris gerejani perkenalkan benang woll dan jarum hakpen,”Ā  ceritanya.

Setelah dibuka tempat latihan yang disebut SKB (sekolah kegiatan belajar) akhrinya mama-mama yang sampai sekarang terus berkembang yang disebut ekonomi kreatif perempuan mama noken Papua.

Jenis noken sendiri ada dua jenis yang asli Papua sedangkan satu noken imitasi modern, yang sudah terdaftar di Unesco. Untuk noken ke depannya, menurut Titus sebagai pengiat budaya bahwa Noken sudah diwariskan dari leluhur kepada generasi penerus sekarang tetap hidup hanya belum menyadari untuk memahami masyarakat noken kembali ke kearifan lokalnya. (*)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSĀ  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Noken menyimpan kekayaan budaya yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Namun, perjalanan pelestarian noken tidak lepas dari tantangan ambisi sepihak, kebijakan negara apatis yang tidak menghargai hak kepemilikan warisan budaya kearifan lokal di tanah ini.

“Kondisi mama-mama perajin noken Papua sebagai pembuat dan penjual noken mengadakan hingga kini masih memprihatinkan karena lebih banyak hanya menjajakan jualannya di pingiran jalan. Berjuang dari pagi hingga larut malam,” jelasnya.

Upaya untuk memastikan jika bahan baku noken tetap ada juga sepantasnya dilakukan. “Persoalan bahan baku ini juga berpeluang menjadi masalah sebabĀ  pembangunan proyek ketahanan pangan raksasa mengancam ketersediaan bahan baku,” imbuhnya.

Titus lantas menyerukan pertama, peningkatan perhatian pemerintah negara anggota Unesco terhadap pelestarian noken warisan budaya tak benda dari UnescoĀ  baik dalam hal pemberdayaan perajin mama warisan budaya, penyediaan akses pasar, maupun pelestarian lingkungan hidup hutan tropis sebagai sumber bahan baku pohon noken, tanpa upaya deforestasi.

Kedua, penguatan pendidikan dan sosialisasi tentang nilai-nilai budaya dan kearifan lokal Papua di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dengan pemajuan kebudayaan Papua. Ketiga, pemanfaatan noken dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk apresiasi dan pelestarian warisan budaya dengan peningkatan pembangunan museum, galeri dan pasar dari pelosok sampai kota di tanah ini.

Baca Juga :  Ikut Ritual, Jadi Lupa Rumah, Lupa Keluarga

“Jadikan momentum ini sebagai langkah awal untuk kembali ke kearifan lokal,melestarikan warisan budaya nenek moyang, dan membangun masa depan Papua yang berkelanjutan,” imbuhnya.

Titus juga menyebut menurut hasil penelitian Ecology Papua Institute-EPI jumlah noken di Papua meliputi tiga jenis noken secara umum, yaitu Jenis noken rajut, rajutan dari benang pintal tangan dari serat pohon atau kulit yang dibuat jadi serat kecil lalu dipintal jadi benang merajut noken dari tangan trampil mama noken Papua.

Ditambahkan bahwa jenis noken sulam, nyulam dari bahan benang sintetis pabrik yang dikenalkan oleh misionaris gerejani Zending yang masuk sejak 5 Februari 1855. Di pulau Mansinam bersama Ottow & Geissler dan misionaris gerejani missi katolik yang masuk sejak 22 Mei 1894 bersama Pastor Cornelis Le Cocq d’Armanville SJ di Kampung Skroe Fak-Fak.

Baca Juga :  Diharap Jadi Motivasi 86 Prodi Lain dan Berupaya Raih Akreditasi Internasional

“Para misionaris gerejani melihat perempuan, mama- mama trampil merajut dan menganyam hasilkan noken rajut jaring dan noken anyam tikar sebagai wadah multifungsi akhirnya misionaris gerejani perkenalkan benang woll dan jarum hakpen,”Ā  ceritanya.

Setelah dibuka tempat latihan yang disebut SKB (sekolah kegiatan belajar) akhrinya mama-mama yang sampai sekarang terus berkembang yang disebut ekonomi kreatif perempuan mama noken Papua.

Jenis noken sendiri ada dua jenis yang asli Papua sedangkan satu noken imitasi modern, yang sudah terdaftar di Unesco. Untuk noken ke depannya, menurut Titus sebagai pengiat budaya bahwa Noken sudah diwariskan dari leluhur kepada generasi penerus sekarang tetap hidup hanya belum menyadari untuk memahami masyarakat noken kembali ke kearifan lokalnya. (*)

Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos

BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSĀ  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

Berita Terbaru

Artikel Lainnya