“Berapa-berapa (orang) saja kami jalan. Yang penting itu bentuk aksi nyatanya, bukan hanya bicara – bicara, kumpulkan banyak orang tapi lebih banyak cerita, foto kemudian posting ketimbang kerjanya,” sindir Ikbal.
Ia menceritakan dulu di tahun 2018-2019 ia bersama Komunitas Jayapura Litter Pickers selalu turun di hari Sabtu. Dan dengan konsep yang sama, menyasar lokasi fasilitas umum yang kerap menebar banyak sampah. Aksi ini dilakukan secara swadaya dengan gaya ala-ala muda dan semuanya dilakukan tuntas.
Dan jika di Bandung ada Pandawara Group maka di Jayapura ada Rumah Bakau Jayapura yang sudah melakukan aksi pedulinya sejak 2018 lalu.
“Artinya kami tidak menyisakan pekerjaan bagi orang lain. Sampah kami kantongi kemudian buang di bak-bak sampah. Kadang ada yang kumpul tapi diletakkan di pinggir jalan dengan harapan diangkut oleh petugas Damkar,” tambahnya. Dulunya kelompok Rumah Bakau Jayapura dan komunitas lainnya ini hanya menggunakan motor. Jadi kantong sampah seabreg – abreg itu digotong pakai motor menuju bak sampah. Malah biasa dilakukan pemilahan lebih dulu untuk mengetahui jumlah dan berat serta sampah terbanyak.
“Itu menjadi bagian yang paling sulit. Brand Audit. Kami memilah satu – satu sampah yang dikumpulkan kemudian mencatat perusahan yang mengeluarkan produk termasuk tahun pembuatan,” sambung Ikbal.
Diakui pekerjaan tersebut tidak semua mau melakukan karena memakan waktu dan repot. Namun pihaknya tetap menuntaskan untuk menjadikan hasil temuan itu sebagai data.
“Yang kami temukan tidak jauh berbeda dengan data nasional dimana sampah perusahaan Unilever, PT Mayora, Nestle hingga Coca-cola sebagai penyumbang sampah plastic terbanyak selama ini. Untuk sampah botolnya masih didominasi produk Teh Pucuk, Aqua dan Qualala,” bebernya.
Ikbal menjelaskan agenda 1 Januari ini sebelumnya disusun pada malam Akhir Tahun Tanpa Racun. Momen ini biasa dilakukan dengan camping 2 hari guna dilakukan evaluasi dan menyiapkan resolusi di tahun baru nanti.
“Disini peserta diajak untuk memahami sisi negative dari euphoria yang berlebihan diakhir tahun apalagi sampai melakukan pesta kembang api. Kami memilih duduk menepi di hutan dan tidak membakar petasan, kembang api maupun mercon karena asapnya hanya memberi polusi. Kita belum bisa melakukan banyak hal untuk alam tapi dengan mudah merusak. Baru tanam 1 pohon tapi bertingkah seolah-olah sudah menjadi pahlawan lingkungan,” sindirnya lagi.
“Jadi tanggal 1 kami tidak membakas petasan, kembang api dan lainnya. Kami justru di tanggal 1 Januari memilih menanam pohon untuk mengimbangi polusi yang dihasilkan di malam pergantian tahun kemudian dilanjutkan dengan membersihkan sampah-sampah sisa pesta,” bebernya.
“Yang jelas semua adalah inisiatif anak muda. Kami dititipi pesan untuk tidak selalu bergantung pada pemerintah. Tidak selalu menunggu bantuan dan kehadiran pemerintah tapi meski itu tidak ada kami tetap jalan,” tambahnya.
Senada disampaikan Rahmatullah, satu peserta kegiatan yang mengatakan bahwa semua dilakukan atas inisiatif anak muda yang peduli.
“Saya setuju tidak harus banyak untuk memulai aksi. Dan enaknya gabung dalam kegiatan ini adalah selalu ada cerita menarik dan suasana kebersamaannya kental sekali,” imbuhnya.
Meski begitu, pria yang berprofesi sebagai guru ini mengaku kadang ia dan rekan-rekannya mendapatkan kejadian tak mengenakkan. Mulai dari dipalak orang mabuk, ribut dengan orang mabuk hingga diusir dan dianggap kegiatan kami ada uangnya.
“Mungkin masyarakat belum terbiasa saja melihat ada kelompok yang bekerja dengan ikhlas dan tanpa sponsor. Mereka tahunya kegiatan seperti ini selalu dilakukan pemerintah dan itu ada uangnya. Kadang setelah dijelaksan barulah mereka paham,” kata Rahmatullah.
Hal tak mengenakkan juga pernah dirasakan. Diakui kerja memungut sampah kerap dipertemukan dengan orang mabuk.
“Karena lokasi yang kami datangi biasa tempat wisata atau fasilitas umum dan agak rawan memang,” akunya.