Site icon Cenderawasih Pos

10 Tahun Ke Depan, Banjir dan Kemcetan Akan jadi Masalah Besar

Bincang-bincang dengan Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ Tentang Pembangunan Masif di Distrik Muara Tami (bag. 2/habis)

Pembangunan yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami terutama Koya Barat sangatlah cepat, para pengembang berlomba-lomba mendirikan perumahan, ruko, dan rukan, adakah dampak negatif yang ditimbulkan, berikut pandangan  Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura (USTJ), Musfira

Laporan Karolus Daot

Urbanisasi yang sedang terjadi di Distrik Muara Tami, terutama Koya Barat. Banyak warga dari Distrik Jayapura Uuatara, Selatan, Abepura, Heram bahkan Sentani atau bahkan dari kabupaten lainnya di Papua memilih Koya Barat sebagai tempat tinggalnya.

Sebab lokasi tanah yang terbatas, dan harga tanah di kota Jayapura yang sudah relatif mahal membuat masyarakat memilih tinggal di Koya, apalagi sejak ada Jembatan Youtefa jarak yang ditempuh ke Kota Jayapura relatif lebih dekat.

Musfira, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) USTJ mengatakan dalam 10 tahun ke depan masalah banjir di Muara Tami akan menjadi ancaman serius.

Hal Itu terjadi karena perubahan  urbanisasi yang cepat, perubahan tata guna lahan, dan kurangnya sistem pengelolaan air yang efektif.

Kondisi  ini akan sangat berdampak tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga mengancam keselamatan dan kehidupan masyarakat.

“Kita lihat sekarang perumahan yang ada saluran airnya sangat kecil, selain itu di Koya ini daerah datar aksesibilitas air ke laut cukup sulit, jadi saya lihat ancaman banjir akan semakin besar,” tuturnya.

Kemudian hal lain pembangunan yang semakin padat ini akan mempengaruhi kualitas air. Apalagi sebagian besar pembangunan yang dilakukan oleh pengembang (developer) saat ini dominan menggunakan air tanah. Air tanah ini menurutnya hanya dapat dinikmati sesat, tapi tidak untuk jangka panjang.

“Kalau saat ini mungkin belum terasa, karena rumah masih belum begitu padat, tapi 5-10 tahun ke depan kualitas air di Koya ini sangat tidak bagus,” tandasnya.

Tidak hanya itu, menurut prempuan kelahiran Serui itu hal yang paling urgent dampak dari pembangunan yang ada di Distrik Muara Tami ini adalah dampak sosial. Hal itu terjadi karena pola pembangunan di Muara Tami tidak menyerupai budaya lokal setempat.

Dimana menurutnya perumahan yang gencar dibangun, semua berkonsep moderen, sementara pola perumahan masyarakat lokal tidak demikian.

Kemudian budaya, dari sisi budaya masyarakat lokal lebih cendrung hidup berdampingan dengan anggota keluarganya yang lain. Namun dengan banyaknya proyek pembangunan perumahan membuat adanya jarak antara kehidupan masyarakat setempat dengan keluarga dekat mereka.

Inilah yang kemudian akan sangat rentan terjadinya konflik sosial, karena masyarakat lokal dengan masyarakat luar, karena mereka merasa bahwa pembangunan ini justru membuat mereka semakin terpinggirkan.

“Kedepannya konflik sosial di Muara Tami akan terjadi cukup tinggi, karena pembangun fisik ini membuat masyarakat lokal semakin terpinggrikan,” bebernya.

Sehingga lulusan S1 Prodi Teknik Planologi ITN Malang itu, bertanya tanya apakah pembangunan di Muara Tami ini telah melibatkan masyarakat adat maupun lokal.

Karena menurutnya pembangunan ini tidak boleh hanya mengejar profit atau keuntungan dalam hal pertumbuhan ekonomi, namun sisi lain masyarakat lokal termarginalkan. Karena dampak dari pada itu akan muncul konlflik sosial.

“Kalau dari amatan saya, pembangunan di Koya ini lebih dominan dinikmati oleh masyarakat luar, masyarakat lokalnya hanya segelintir,” bebernya.

Lebih lanjut dari amatan Musfira, pembangunan fisik di Muara Tami belum memenuhi aturan. Karena jika mengacu pada aturan, maka setiap pembangunan yang baru harus dikonsep sedemikian rupa terutama dari sisi penunjang. Seperti luas drainase, penyediaan lahan parkir pembuangan ipal, serta utilitas lainnya yang perlu diperhatikan.

“Ini nantinya akan terjadi seperti di Kota Jayapura, bahu jalan dijadikan lahan parkir, kemudian saluran drainase ditutup untuk dijadikan lahan parkir, dan tingkat kemacetan akan tinggi di sana,”tuturnya.

Hal lain seperti maraknya penggalian pengalian c, dikawasan tersebut. Menurutnya penggalian c ini akan berdampak pada permaslahan lingkungan. Sehingga harus dikaji secara mendalam oleh pemangku kepentingan.

Kita tidak tahu galian c di Koya ini ada izin dari pemerintah atau tidak, karena dampaknya sangat beresiko sekali untuk lingkungan,” tuturnya.

Lulusan S2 prodi MPSAL Uncen, itu mengharapkan untuk ke depan setiap pembangunan fisik, harus berpegang teguh pada RT/RT, ataupun RDTR. Kemudian izin lingkungan. Artinya kata dia setiap pembanguna fisik harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan. Bilamana tidak sesuai dengan lingkungan maka ditertibkan.

Jangan paksa, karena dampaknya besar untuk jangka panjang,” tandasnya.

Hal lain perlu adanya pengawasan ketat, disetiap pembangunan yang ada. Sehingga pembangunan yang digalakan oleh pengembang ini tidak terkesan hanya mencari profit, tapi tidak memikirkan daya pengelolahannya untuk jangka panjang.

Karena banyak kasus yang terjadi selama ini, setelah selesai pembangunan devloper ini lepas tanggung jawab, sehingga msalah yang terjadi di lingkungan itu hanya diselesikan oleh pengguna bangunan, akibatnya banyak permsalahan yang timbul disana,” tuturnya.

Kemudian perlu adanya integrasi antara masyarakat adat, masyarakat lokal dengan masyarakat luar atau pengguna bangunan fisik tersebut.

Hal itu bertujuan untuk mengatasi persoalan sosial. Kemudian  pembangunan harus mengakomodir masyarkaat setempat. Sehingga ada impack untuk pertumbuhan ekonomi mereka.

Karena pasca adanya pembangunan ini, banyak hal yang merusak tatanan kehidupan masyarakat setempat. Seperti lapangan pekerjaan yang dahulunya mereka dominan menjadi petani, peternak ataupun lekerjaan lokal lainnya, namun karena adanya kebijakan pemerintah untuk membuka kawasan tersebut menjadi kawasan perumahan rakyat, maka secara tidak sadar itu justru mempersulit bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan pekerjaan pokok mereka sesuai bidang yang ada.

“Kita lihat sekarang pola kehidupan di Muara Tami lebih kepada pusat bisnis, sementara pekerjaan pokok masyarakat tidak seperti itu, inilah yang menurut saya harus di lihat oleh pemangku kebijakan,” imbuhnya.

Dan paling pentik kata Musfira, harus adanya evaluasi rutin, setiap tahunnya. Sehingga betul betul diorong untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Harus ada evaluasi, sehingga ada manfaatnya baik untuk masyarakat adat, lokal maupun lengguna infrastruktur ini,” tutupnya. (*/wen)

Exit mobile version