JAYAPURA-Kasus suap pada aparat penegak hukum, khususnya kepada Hakim di Indonesia bukan menjadi rahasia umum. Seperti tahun 2023 Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman terbukti melanggar kode etik berat terkait uji materi tentang syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.
Lalu tahun 2024 ini 3 orang Hakim di PN Surabaya, ditetapkan sebagai tersangka karena terbukti menerima gratifikasi atau suap dari pengacara. Ketiganya terbukti menerima gratifikasi atau suap untuk memberikan vonis bebas kepada Terdakwa Ronald Tannur, selaku pelaku pembunuhan Dini Sera Afriyanti di Surabaya beberapa bulan lalu.
Dari beberapa catatan tak sedap ini ikut dikomentari praktisi hukum Gustaf Kawer. Ia menyatakan dari catatan kasus di atas memberi bukti betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia.
“Dari kasus suap di Surabaya ini kita bisa simpulkan, bahwa penegakan hukum Indonesia tidak lagi pakai UU, tapi bergantung siapa yang kuat dia yang menang, dan ini citra uang buruk didalam penegakan hukum kita,” ujarnya, Senin (28/10).
Mirisnya lagi lanjut Gustaf kasus pelanggaran kode etik ini tidak pernah mendapatkan langkah serius dari institusi terkait, seperti Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, maupun Kejaksaan Agung. Pelaku selalu mendapatkan hukuman yang mudah, salah satunya di pindah tugas ketempat lain ataupun diundur dari jabatan sebagai ketua seperti kasus Ketua MK Anwar Usman.
Meski terbukti melanggar kode etik berat, namun yang bersangkutan tidak dipecat, namun justru kembali diangkat sebagai anggota Hakim MK.