Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Negara Abai Dengan Kasus Pelanggaran HAM di Papua

LAPORAN KHUSUS (SESI 1)

** Liputan Kolaborasi Konflik di Papua **

Laporan: Elfira Halifa – Cenderawasih Pos 

Papua, sebuah Provinsi paling timur Indonesia. Orang orang menyebutkan surga kecil yang jatuh ke bumi. Gunung gunung menjulang tinggi, bukit bukit tersusun hijau dan aliran sungainya yang deras.

Tapi, Papua yang dieluk elukkan sebagai surga kecil berbanding 80 derajat dengan kehidupan masyarakatnya. Kontak senjata antara TPN-OPM atau versi lain KKB dan TNI-Polri kerap terjadi di tanah, bisa di bilang hampir setiap hari di waktu waktu tertentu kontak senjata itu terjadi. TNI-Polri, warga sipil hingga KKB berguguran dalam kontak senjata di atas tanah yang pernah dijajah belanda ini.

Masyarakatnya kerap menjadi korban kekerasan di atas tanahnya sendiri, menjadi korban konflik bersenjata. Bahkan, mengungsi di atas tanahnya sendiri.

Cerita cerita pilu kerap terdengar, setiap kali terjadi kontak senjata. Anak anak dan perempuan ditembak. Anak anak yang meninggal di lokasi pengungsian akibat kelaparan, atau lansia yang meninggal dunia akibat tak mendapatkan pelayanan kesehatan di lokasi pengungsian.

Dilain sisi, kontak senjata yang dilakukan pihak yang bertikai TPNPB dan TNI-Polri di ruang ruang publik. Ruang dimana anak anak dan perempuan berada, semisalnya di pasar, di bandara hingga di pemukiman warga. Pertikaian yang disaksikan langsung oleh anak anak dan perempuan.

Di Papua, konflik bersenjata yang paling sering terjadi di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak Jaya dan Yahukimo. Di 7 daerah ini, korbannya mulai dari sipil, aparat hingga OPM atau penyebutan lain KKB.

Sepanjang tahun 2020, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terjadi 40 peristiwa pelanggaran HAM di Papua. 40 kasus tersebut didominasi kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penangkapan sewenang wenang oleh aparat. Dari puluhan kasus itu, mengakibatkan 276 orang menjadi korban baik ditangkap, luka luka maupun meninggal dunia.

Baca Juga :  Papua Dipromosikan dalam World Economic Forum 2022 di Swiss

Data lainnya, Amnesty International Indonesia mencatat sepanjang 2020 setidaknya ada 19 kasus pelanggaran HAM berupa pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua dan Papua Barat.

Peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya mengungkapkan dari 19 kasus tersebut, 10 diantaranya melibatkan TNI, 4 kasus melibatkan anggota kepolisian, dan 5 kasus melibatkan keduanya. Adapun, jumlah korban yang jatuh dari keseluruhan kasus tersebut mencapai 30 orang. Seluruh terduga pelaku dari 19 kasus tersebut belum ada yang dijatuhi vonis dari pengadilan, baik pengadilan militer maupun pengadilan umum.

Sedang Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, sepanjang tahun 2021 menerima pengaduan sebanyak 71 aduan. Dalam aduan tersebut, paling banyak hak yang dilanggar adalah hak atas rasa aman.

Data lainnya dari Polda Papua, 12 tahun terakhir. Sebanyak 90 orang sipil tewas dan 127 orang lainnya luka luka akibat kontak senjata yang terjadi di beberapa daerah di Papua. Data lainnya, sebanyak 61 personel TNI-Polri tewas dan 135 perosenel TNI-Polri mengalami luka luka.

Dari jumlah 90 orang sipil yang tewas, salah satunya Pendeta Jeremia Zanambani yang ditembak TNI di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya pada September 2020. Tertembaknya seorang pendeta ini menambah daftar kekerasan di Intan Jaya yang masih terjadi hingga saat ini menyusul beberapa daerah lainnya seperti Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga dan Yahukimo.

Daftar konflik yang terjadi di beberapa Kabupaten di Papua ini membuat ribuan warga mengungsi  ke hutan dan beberapa daerah lainnya yang dianggap aman, warga Intan Jaya yang masih mengungsi ke Nabire dan Mimika, serta warga Kiwirok yang mengungsi di Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang.

*Janji dan Kewajiban Negara yang Tidak Terpenuhi.

Direktur Eksekutif Amnesty Internaional Usman Hamid mengatakan, seluruh janji dan kewajiban Negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua tidak ada yang terpenuhi.

Terlebih, impunitas selama ini yang terjadi di Papua. Sejak Papua masih berada di era orde baru hingga Papua berada di era reformasi. Khususnya, dalam hal kejahatan pelanggaran HAM.

Baca Juga :  Mahasiswa Penerima Beasiswa Pemprov Diminta Lapor Hasil Studinya

“Hingga saat ini, pembunuhan yang tidak sah, pembunuhan di luar proses hukum, penculikan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan hingga pemindahan paksa masih saja terjadi di Papua dan terus berulang, tanpa ada satupun pelaku yang dihukum secara adil,” papar Usman.

Di sisi lain, beberapa pejabat militer yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua justru mendapatkan promosi tanpa adanya penghukuman. Usman ingat benar, janji pemerintah Indonesia pada tahun 2015 di depan sidang dewan HAM PBB untuk membawa kasus Wamena dan Wasior ke pengadilan. Namun, itu semua tidak terpenuhi.

“Bisa dikatakan, kondisi Papua di bidang HAM sama sekali tidak ada kemajuan yang berarti. Praktek masa lalu yang tidak kunjung diselesaikan, membuat orang Papua untuk melawan  Negara,” kata Usman.

Dalam segi hukum humaniter, banyak norma hukum humaniter yang tidak dipatuhi baik negara maupun pihak berkonflik yang bersenjata di Papua. Norma hukum humaniter misalnya, tidak boleh menyerang objek sipil, menyasar warga sipil, kantor pemerintahan sipil, rumah warga sipil.

Kenyataannya, justru itu terjadi. Norma lainnya kata Usman, dalam berperang atau dalam konflik bersenjata. Serangan hanya bisa dilakukan terhadap objek militer atau sasaran militer. Dan dilakukan secara proporsional, namun itu juga tidak terpenehi dalam banyak kasus.

Di sisi lain kata Usman, tidak ada proses penegakan hukum humaniter di Papua. Tidak ada  kebijakan resmi dari pemerintah yang menyatakan memberlakukan hukum humaniter di Papua.

“Dalam benturan konflik bersenjata di Papua, terdapat sejumlah kasus dimana ketika salah satu pihak tokoh pro kemerdekaan ditangkap. Ia masih mengalami penyiksaan, penyerangan dan penangkapan. Padahal, dalam hukum humaniter hanya dibolehkan terhadap sasaran militer atau sasaran kepada pihak yang berperang,” terangnya. (*)

LAPORAN KHUSUS (SESI 1)

** Liputan Kolaborasi Konflik di Papua **

Laporan: Elfira Halifa – Cenderawasih Pos 

Papua, sebuah Provinsi paling timur Indonesia. Orang orang menyebutkan surga kecil yang jatuh ke bumi. Gunung gunung menjulang tinggi, bukit bukit tersusun hijau dan aliran sungainya yang deras.

Tapi, Papua yang dieluk elukkan sebagai surga kecil berbanding 80 derajat dengan kehidupan masyarakatnya. Kontak senjata antara TPN-OPM atau versi lain KKB dan TNI-Polri kerap terjadi di tanah, bisa di bilang hampir setiap hari di waktu waktu tertentu kontak senjata itu terjadi. TNI-Polri, warga sipil hingga KKB berguguran dalam kontak senjata di atas tanah yang pernah dijajah belanda ini.

Masyarakatnya kerap menjadi korban kekerasan di atas tanahnya sendiri, menjadi korban konflik bersenjata. Bahkan, mengungsi di atas tanahnya sendiri.

Cerita cerita pilu kerap terdengar, setiap kali terjadi kontak senjata. Anak anak dan perempuan ditembak. Anak anak yang meninggal di lokasi pengungsian akibat kelaparan, atau lansia yang meninggal dunia akibat tak mendapatkan pelayanan kesehatan di lokasi pengungsian.

Dilain sisi, kontak senjata yang dilakukan pihak yang bertikai TPNPB dan TNI-Polri di ruang ruang publik. Ruang dimana anak anak dan perempuan berada, semisalnya di pasar, di bandara hingga di pemukiman warga. Pertikaian yang disaksikan langsung oleh anak anak dan perempuan.

Di Papua, konflik bersenjata yang paling sering terjadi di Nduga, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak, Puncak Jaya dan Yahukimo. Di 7 daerah ini, korbannya mulai dari sipil, aparat hingga OPM atau penyebutan lain KKB.

Sepanjang tahun 2020, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat terjadi 40 peristiwa pelanggaran HAM di Papua. 40 kasus tersebut didominasi kasus kekerasan berupa penembakan, penganiayaan dan penangkapan sewenang wenang oleh aparat. Dari puluhan kasus itu, mengakibatkan 276 orang menjadi korban baik ditangkap, luka luka maupun meninggal dunia.

Baca Juga :  Hendak Menyeberang ke PNG, Mantan Tapol Diamankan

Data lainnya, Amnesty International Indonesia mencatat sepanjang 2020 setidaknya ada 19 kasus pelanggaran HAM berupa pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil di Papua dan Papua Barat.

Peneliti Amnesty International Indonesia Ari Pramuditya mengungkapkan dari 19 kasus tersebut, 10 diantaranya melibatkan TNI, 4 kasus melibatkan anggota kepolisian, dan 5 kasus melibatkan keduanya. Adapun, jumlah korban yang jatuh dari keseluruhan kasus tersebut mencapai 30 orang. Seluruh terduga pelaku dari 19 kasus tersebut belum ada yang dijatuhi vonis dari pengadilan, baik pengadilan militer maupun pengadilan umum.

Sedang Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, sepanjang tahun 2021 menerima pengaduan sebanyak 71 aduan. Dalam aduan tersebut, paling banyak hak yang dilanggar adalah hak atas rasa aman.

Data lainnya dari Polda Papua, 12 tahun terakhir. Sebanyak 90 orang sipil tewas dan 127 orang lainnya luka luka akibat kontak senjata yang terjadi di beberapa daerah di Papua. Data lainnya, sebanyak 61 personel TNI-Polri tewas dan 135 perosenel TNI-Polri mengalami luka luka.

Dari jumlah 90 orang sipil yang tewas, salah satunya Pendeta Jeremia Zanambani yang ditembak TNI di Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya pada September 2020. Tertembaknya seorang pendeta ini menambah daftar kekerasan di Intan Jaya yang masih terjadi hingga saat ini menyusul beberapa daerah lainnya seperti Puncak, Puncak Jaya, Pegunungan Bintang, Nduga dan Yahukimo.

Daftar konflik yang terjadi di beberapa Kabupaten di Papua ini membuat ribuan warga mengungsi  ke hutan dan beberapa daerah lainnya yang dianggap aman, warga Intan Jaya yang masih mengungsi ke Nabire dan Mimika, serta warga Kiwirok yang mengungsi di Oksibil Kabupaten Pegunungan Bintang.

*Janji dan Kewajiban Negara yang Tidak Terpenuhi.

Direktur Eksekutif Amnesty Internaional Usman Hamid mengatakan, seluruh janji dan kewajiban Negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua tidak ada yang terpenuhi.

Terlebih, impunitas selama ini yang terjadi di Papua. Sejak Papua masih berada di era orde baru hingga Papua berada di era reformasi. Khususnya, dalam hal kejahatan pelanggaran HAM.

Baca Juga :  Mahasiswa Penerima Beasiswa Pemprov Diminta Lapor Hasil Studinya

“Hingga saat ini, pembunuhan yang tidak sah, pembunuhan di luar proses hukum, penculikan, penghilangan orang secara paksa, penyiksaan hingga pemindahan paksa masih saja terjadi di Papua dan terus berulang, tanpa ada satupun pelaku yang dihukum secara adil,” papar Usman.

Di sisi lain, beberapa pejabat militer yang pernah terlibat dalam pelanggaran HAM di Papua justru mendapatkan promosi tanpa adanya penghukuman. Usman ingat benar, janji pemerintah Indonesia pada tahun 2015 di depan sidang dewan HAM PBB untuk membawa kasus Wamena dan Wasior ke pengadilan. Namun, itu semua tidak terpenuhi.

“Bisa dikatakan, kondisi Papua di bidang HAM sama sekali tidak ada kemajuan yang berarti. Praktek masa lalu yang tidak kunjung diselesaikan, membuat orang Papua untuk melawan  Negara,” kata Usman.

Dalam segi hukum humaniter, banyak norma hukum humaniter yang tidak dipatuhi baik negara maupun pihak berkonflik yang bersenjata di Papua. Norma hukum humaniter misalnya, tidak boleh menyerang objek sipil, menyasar warga sipil, kantor pemerintahan sipil, rumah warga sipil.

Kenyataannya, justru itu terjadi. Norma lainnya kata Usman, dalam berperang atau dalam konflik bersenjata. Serangan hanya bisa dilakukan terhadap objek militer atau sasaran militer. Dan dilakukan secara proporsional, namun itu juga tidak terpenehi dalam banyak kasus.

Di sisi lain kata Usman, tidak ada proses penegakan hukum humaniter di Papua. Tidak ada  kebijakan resmi dari pemerintah yang menyatakan memberlakukan hukum humaniter di Papua.

“Dalam benturan konflik bersenjata di Papua, terdapat sejumlah kasus dimana ketika salah satu pihak tokoh pro kemerdekaan ditangkap. Ia masih mengalami penyiksaan, penyerangan dan penangkapan. Padahal, dalam hukum humaniter hanya dibolehkan terhadap sasaran militer atau sasaran kepada pihak yang berperang,” terangnya. (*)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya