“Dokumen pembelaan utama adalah surat keterangan sah kayu olahan yang dimiliki PT CPA, serta putusan praperadilan yang menyatakan penyitaan tersebut tidak sah,” kata Agustinus. Ungkapnya kasus ini bermula ketika anggota TNI AL melaporkan dugaan penggunaan dokumen palsu pada 13 Maret 2024. Sehari setelah itu, 14 Maret 2024, Polisi Kehutanan memasang police line tanpa melakukan klarifikasi dokumen atau berkoordinasi dengan Korwas PPNS.
Lalu kayu olahan milik PT CPA sebanyak 32 ret yang diangkut dari industri ke Tempat Penimbunan Kayu Olahan (TPKO) pada, 12 Maret 2024 oleh PPNS KLHK. Hal ini pihaknya menilai tindakan penyitaan tersebut tidak sah, sehingga pihaknya mengajukan praperadilan. Meski putusan praperadilan memenangkan PT CPA, namun PPNS KLHK kembali menyita kayu tersebut. Kasus ini kemudian berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri Jayapura dengan Nomor Perkara: 309/Pid.Sus-LH/2024/PN Jap.
Jaksa mendakwa PT CPA dengan pasal-pasal terkait pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (illegal logging), serta menuntut perusahaan membayar denda Rp 6 miliar. Selain itu, jaksa meminta agar 4.458 kayu dan 9 kontainer milik PT Putra Selebes dirampas untuk dilelang.
“Penyitaan dilakukan tanpa izin, tanpa koordinasi yang benar, sehingga mengakibatkan PT Crown Pasifik abadi mengalami kerugian sebesar sekitar Rp 8,85 miliar,” ungkapnya.
Lebih jauh Agustinus menjelaskan, PT CPA merupakan perusahaan PMDN yang berkontribusi pada penerimaan negara, devisa ekspor, dan penyerapan tenaga kerja, dan taat aturan serta memakai bahan baku kayu berizin legal sesuai perundang-undangan.