Thursday, March 28, 2024
31.7 C
Jayapura

Tingkatkan PAD, Kepala Daerah Dituntut Inovatif

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkeu Sri Mulyani

Transfer Dana dari Pusat Masih Jadi Ketergantungan

JAKARTA, Jawa Pos-Pelaksanaan otonomi daerah (otda) yang membawa konsep desentralisasi telah berlangsung 25 tahun. Meski sudah berjalan cukup lama, masih banyak daerah yang belum cukup mandiri secara finansial. Dalam arti lain, kehidupannya masih bergantung kepada pusat.

Hal itu menjadi salah satu refleksi yang disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam perayaan puncak Hari Otda XXV 2021 yang digelar secara virtual kemarin (26/4).

Tito menilai kemandirian fiskal sebagai tantangan ke depan. Keuangan fiskal menjadi salah satu instrumen yang dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan daerah. Sejak sistem desentralisasi digulirkan, sejumlah daerah berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). ”Misalnya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kabupaten Badung, Mimika, dan Merauke,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Tito, jumlah daerah dengan PAD tinggi belum banyak. Di level provinsi, misalnya, dari 34 daerah, hanya delapan yang PAD-nya tinggi. Yakni melampaui dana transfer pusat atau di atas 50 persen APBD.

Baca Juga :  Dugaan Persetubuhan Anak Dibawah Umur, 8 Orang Diperiksa

Sementara mayoritas daerah lainnya masih mengandalkan dana transfer pusat sebagai sumber pendapatan daerah. Bahkan, ungkap Tito, masih ada provinsi dengan PAD di bawah 10 persen. Situasi tidak jauh berbeda juga terjadi di kabupaten/kota.

Dengan kondisi tersebut, kata Tito, keberlangsungan daerah akan bergantung pada kondisi keuangan pusat. Jika keuangan nasional terganggu dan dana transfer mengalami pemotongan, dipastikan keuangan daerah ikut terguncang. Berbeda halnya dengan daerah yang mampu menghasilkan pemasukan memadai. Pemotongan oleh pusat tidak akan berpengaruh pada laju ekonomi daerah. ”Gejolak di pusat tidak terlalu berpengaruh di daerah tersebut,” imbuh mantan Kapolri itu.

Tito mendorong kepala daerah berupaya meningkatkan PAD di wilayahnya. Dia menyebutkan, dengan sistem otonomi, pemerintah daerah punya lebih banyak ruang melahirkan inovasi dibanding sistem sentralistis saat Orde Baru. ”Kepala daerah harus punya kemampuan berpikir secara bisnis untuk mendapatkan pendapatan melebihi belanja,” tuturnya.

Baca Juga :  Amankan Idul Fitri, Tujuh Pos Disiapkan

Di acara yang sama, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, penyelenggaraan urusan pemerintah daerah, khususnya pada sektor pembangunan ekonomi, memegang peran kunci. Khususnya sebagai penentu peningkatan kuantitas dan kualitas layanan pemerintahan.

Ma’ruf juga berpesan kepada kepala daerah untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemda. Di antaranya dengan mengubah paradigma pemerintahan dan pembangunan yang masih berorientasi pada rutinitas. ”Atau business as usual,” ujarnya.

Ma’ruf juga menyampaikan laporan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) terkait perjalanan otda di tanah air. Indeks tersebut mengukur tiga indikator, yaitu harapan hidup, pendidikan, dan perekonomian. ”Indonesia pada 2020 berada di peringkat ke-107 dengan skor 71,8 (poin, Red),” katanya.

Skor itu tumbuh sekitar 0,003 persen dibanding capaian periode sebelumnya. Posisi HDI negeri ini berada di peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand. (far/wan/c9/bay/JPG)

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkeu Sri Mulyani

Transfer Dana dari Pusat Masih Jadi Ketergantungan

JAKARTA, Jawa Pos-Pelaksanaan otonomi daerah (otda) yang membawa konsep desentralisasi telah berlangsung 25 tahun. Meski sudah berjalan cukup lama, masih banyak daerah yang belum cukup mandiri secara finansial. Dalam arti lain, kehidupannya masih bergantung kepada pusat.

Hal itu menjadi salah satu refleksi yang disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam perayaan puncak Hari Otda XXV 2021 yang digelar secara virtual kemarin (26/4).

Tito menilai kemandirian fiskal sebagai tantangan ke depan. Keuangan fiskal menjadi salah satu instrumen yang dibutuhkan untuk mempercepat pembangunan daerah. Sejak sistem desentralisasi digulirkan, sejumlah daerah berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). ”Misalnya DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Kabupaten Badung, Mimika, dan Merauke,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Tito, jumlah daerah dengan PAD tinggi belum banyak. Di level provinsi, misalnya, dari 34 daerah, hanya delapan yang PAD-nya tinggi. Yakni melampaui dana transfer pusat atau di atas 50 persen APBD.

Baca Juga :  IRT Tewas Dikampak Anak Tiri

Sementara mayoritas daerah lainnya masih mengandalkan dana transfer pusat sebagai sumber pendapatan daerah. Bahkan, ungkap Tito, masih ada provinsi dengan PAD di bawah 10 persen. Situasi tidak jauh berbeda juga terjadi di kabupaten/kota.

Dengan kondisi tersebut, kata Tito, keberlangsungan daerah akan bergantung pada kondisi keuangan pusat. Jika keuangan nasional terganggu dan dana transfer mengalami pemotongan, dipastikan keuangan daerah ikut terguncang. Berbeda halnya dengan daerah yang mampu menghasilkan pemasukan memadai. Pemotongan oleh pusat tidak akan berpengaruh pada laju ekonomi daerah. ”Gejolak di pusat tidak terlalu berpengaruh di daerah tersebut,” imbuh mantan Kapolri itu.

Tito mendorong kepala daerah berupaya meningkatkan PAD di wilayahnya. Dia menyebutkan, dengan sistem otonomi, pemerintah daerah punya lebih banyak ruang melahirkan inovasi dibanding sistem sentralistis saat Orde Baru. ”Kepala daerah harus punya kemampuan berpikir secara bisnis untuk mendapatkan pendapatan melebihi belanja,” tuturnya.

Baca Juga :  Untuk Sementara Jangan Dulu Berenang di Pantai Holtekamp

Di acara yang sama, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan, penyelenggaraan urusan pemerintah daerah, khususnya pada sektor pembangunan ekonomi, memegang peran kunci. Khususnya sebagai penentu peningkatan kuantitas dan kualitas layanan pemerintahan.

Ma’ruf juga berpesan kepada kepala daerah untuk mengefektifkan penyelenggaraan pemda. Di antaranya dengan mengubah paradigma pemerintahan dan pembangunan yang masih berorientasi pada rutinitas. ”Atau business as usual,” ujarnya.

Ma’ruf juga menyampaikan laporan indeks pembangunan manusia (human development index/HDI) terkait perjalanan otda di tanah air. Indeks tersebut mengukur tiga indikator, yaitu harapan hidup, pendidikan, dan perekonomian. ”Indonesia pada 2020 berada di peringkat ke-107 dengan skor 71,8 (poin, Red),” katanya.

Skor itu tumbuh sekitar 0,003 persen dibanding capaian periode sebelumnya. Posisi HDI negeri ini berada di peringkat ketiga di kawasan Asia Tenggara. Indonesia berada di bawah Malaysia dan Thailand. (far/wan/c9/bay/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya