Sunday, November 24, 2024
30.7 C
Jayapura

Koalisi LSM HAM Paniai Berdarah Minta Hakim Berikan Putusan Maksimal

JAYAPURA – Jelang sidang putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai 2014 yang akan digelar di PN Makasar pada 5 Desember mendatang, koalisi LSM HAM dan Solidaritas meminta Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharusnya diminta ikut bertanggungjawab.

“Dengan kategori,  komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan dan pelaku pembiaran.  mempertimbangkan asas kepastian hukum dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya,” ujar Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar pada Konprensi Pers, di Kantor ALDP, Padang Bulan, Jumat, (25/11) kemarin.

Ia mengatakan  pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi  hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus  dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme Yudisial.

“Kami harap pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi  hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus  dugaan pelanggaran HAM Melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM RI,” katanya.

Baca Juga :  Harhubnas, Sekda Sentil Tingginya Harga Tiket

Sementara itu, berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan  menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.

” Kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN  MKS. Bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan hak dari  para korban tentang restitusi, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana mestinya,” bebernya.

Sementara pembuktian untuk usur pelanggaran HAM  juga dan ada unsur sistematis dan adanya kebijakan yang menempatkan Paniai sebagai  daerah merah dan rawan ditindaklanjuti dengan adanya operasi dan penempatan  pasukan dari kesatuan khusus sehingga pendekatan penanganan masalah  keamanan direspon dengan pola serupa/represif/melampaui batas kewajaran.

“Istilah “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang  diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap,  ads juga unsur meluas: ada pola keterkaitan dari rangkaian peristiwa serangan di tanggal 7 desember 2014 dan 8 desember 2014 yang menyebabkan  terjadinya korban dalam satu lingkup kebijakan yang sama. Peristiwa ini  berupa serangan yang ditargetkan kepada masyarakat sipil (penyiksaan dan  pembunuhan).

Baca Juga :  Tiba di Jakarta, Akan Temui Mendagri-Menkopolhukam

“Meluas juga dapat diartikan sebagai tindakan yang sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan secara  kolektif dan berakibat yang serius,” katanya.

Untuk itu koalisi berpendapat bahwa dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 merupakan kejahatan kemanusian melalui ‘serangan yang meluas atau sitematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap  kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki  tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan  kejahatan harus dimintai tanggungawab pidana. Contoh pada peradilan HAM Timor Leste mengadili 5 orang; Abepura 2 orang dan Tanjung Priok 12 orang. Bahwa

Selain itu  meski terdakwa Mayor Inf  (Purn) Isak Sattu sebagai Pabung (Perwira penghubung) yang  tidak memiliki pasukan namun terdakwa merupakan pemilik pangkat tertinggi  yang ada di lokasi kejadian sehingga menjadi pemilik komando efektif dan komando de facto.

“Seharusnya mampu memberikan perintah penghentian penembakan setelah massa membubarkan diri,” ujarnya (oel/wen)

JAYAPURA – Jelang sidang putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai 2014 yang akan digelar di PN Makasar pada 5 Desember mendatang, koalisi LSM HAM dan Solidaritas meminta Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharusnya diminta ikut bertanggungjawab.

“Dengan kategori,  komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan dan pelaku pembiaran.  mempertimbangkan asas kepastian hukum dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya,” ujar Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar pada Konprensi Pers, di Kantor ALDP, Padang Bulan, Jumat, (25/11) kemarin.

Ia mengatakan  pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi  hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus  dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme Yudisial.

“Kami harap pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi  hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus  dugaan pelanggaran HAM Melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM RI,” katanya.

Baca Juga :  Kebijakan Perubahan Pola Operasi dalam Penanganan Masalah Papua

Sementara itu, berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan  menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.

” Kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN  MKS. Bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan hak dari  para korban tentang restitusi, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana mestinya,” bebernya.

Sementara pembuktian untuk usur pelanggaran HAM  juga dan ada unsur sistematis dan adanya kebijakan yang menempatkan Paniai sebagai  daerah merah dan rawan ditindaklanjuti dengan adanya operasi dan penempatan  pasukan dari kesatuan khusus sehingga pendekatan penanganan masalah  keamanan direspon dengan pola serupa/represif/melampaui batas kewajaran.

“Istilah “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang  diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap,  ads juga unsur meluas: ada pola keterkaitan dari rangkaian peristiwa serangan di tanggal 7 desember 2014 dan 8 desember 2014 yang menyebabkan  terjadinya korban dalam satu lingkup kebijakan yang sama. Peristiwa ini  berupa serangan yang ditargetkan kepada masyarakat sipil (penyiksaan dan  pembunuhan).

Baca Juga :  Jemaan Haji Papua Tiba di Tanah Air

“Meluas juga dapat diartikan sebagai tindakan yang sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan secara  kolektif dan berakibat yang serius,” katanya.

Untuk itu koalisi berpendapat bahwa dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 merupakan kejahatan kemanusian melalui ‘serangan yang meluas atau sitematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap  kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki  tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan  kejahatan harus dimintai tanggungawab pidana. Contoh pada peradilan HAM Timor Leste mengadili 5 orang; Abepura 2 orang dan Tanjung Priok 12 orang. Bahwa

Selain itu  meski terdakwa Mayor Inf  (Purn) Isak Sattu sebagai Pabung (Perwira penghubung) yang  tidak memiliki pasukan namun terdakwa merupakan pemilik pangkat tertinggi  yang ada di lokasi kejadian sehingga menjadi pemilik komando efektif dan komando de facto.

“Seharusnya mampu memberikan perintah penghentian penembakan setelah massa membubarkan diri,” ujarnya (oel/wen)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya