JAYAPURA – Jelang sidang putusan Pengadilan HAM Kasus Paniai 2014 yang akan digelar di PN Makasar pada 5 Desember mendatang, koalisi LSM HAM dan Solidaritas meminta Majelis Hakim diharapkan memberikan putusan maksimal terhadap terdakwa serta menggunakan hukum yang progresif dalam hal memutuskan adanya pihak lain yang seharusnya diminta ikut bertanggungjawab.
“Dengan kategori, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan dan pelaku pembiaran. mempertimbangkan asas kepastian hukum dan memperhatikan nilai-nilai keadilan yang terdapat di masyarakat secara khusus memberikan keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas terhadap pelaku lainnya yang belum dimintai pertanggungjawabannya,” ujar Aliansi Demokrasi untuk Papua Latifah Anum Siregar pada Konprensi Pers, di Kantor ALDP, Padang Bulan, Jumat, (25/11) kemarin.
Ia mengatakan pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua melalui mekanisme Yudisial.
“Kami harap pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat dan konkrit dalam memenuhi hak korban dan mencegah impunitas melalui penyelesaian berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM Melalui mekanisme yudisial terutama pada kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 yang sudah pada tahap proses penyelidikan di Komnas HAM RI,” katanya.
Sementara itu, berbagai gerakan masyarakat sipil secara kelembagaan dan individu memperkuat advokasi dan bersolidaritas untuk mendesak pemerintahan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua.
” Kepada Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Nomor 01/Pid.Sus-HAM/2022/PN MKS. Bahwa Majelis Pemeriksa Perkara juga harus memperhatikan hak dari para korban tentang restitusi, kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana mestinya,” bebernya.
Sementara pembuktian untuk usur pelanggaran HAM juga dan ada unsur sistematis dan adanya kebijakan yang menempatkan Paniai sebagai daerah merah dan rawan ditindaklanjuti dengan adanya operasi dan penempatan pasukan dari kesatuan khusus sehingga pendekatan penanganan masalah keamanan direspon dengan pola serupa/represif/melampaui batas kewajaran.
“Istilah “sistematis” mencerminkan “suatu pola atau metode tertentu” yang diorganisir secara menyeluruh dan menggunakan pola yang tetap, ads juga unsur meluas: ada pola keterkaitan dari rangkaian peristiwa serangan di tanggal 7 desember 2014 dan 8 desember 2014 yang menyebabkan terjadinya korban dalam satu lingkup kebijakan yang sama. Peristiwa ini berupa serangan yang ditargetkan kepada masyarakat sipil (penyiksaan dan pembunuhan).
“Meluas juga dapat diartikan sebagai tindakan yang sering/berulang-ulang, tindakan dalam skala yang besar, dilaksanakan secara kolektif dan berakibat yang serius,” katanya.
Untuk itu koalisi berpendapat bahwa dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 merupakan kejahatan kemanusian melalui ‘serangan yang meluas atau sitematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.
Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa mereka yang memiliki tanggungjawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggungawab pidana. Contoh pada peradilan HAM Timor Leste mengadili 5 orang; Abepura 2 orang dan Tanjung Priok 12 orang. Bahwa
Selain itu meski terdakwa Mayor Inf (Purn) Isak Sattu sebagai Pabung (Perwira penghubung) yang tidak memiliki pasukan namun terdakwa merupakan pemilik pangkat tertinggi yang ada di lokasi kejadian sehingga menjadi pemilik komando efektif dan komando de facto.
“Seharusnya mampu memberikan perintah penghentian penembakan setelah massa membubarkan diri,” ujarnya (oel/wen)