Thursday, April 25, 2024
31.7 C
Jayapura

Jeda Kemanusian Tidak Direspon, Pemerintah Tidak Serius Selesaikan Konflik ?

JAYAPURA – Konflik senjata yang berulang antara TNI-Polri dan TPN-OPM terus terjadi di tanah Papua. Beberapa daerah yang paling sering terjadi konflik senjata yakni Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak dan Pegunungan Bintang. Belum lama ini, konflik senjata juga terjadi di Maybrat Provinsi Papua Barat.

Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy menyampaikan, sudah cukup lama kedua pihak dalam hal ini TNI-Polri dan TPN-OPM berkonflik. Namun, itikad untuk menyudahi konflik ini hanya berasal dari sepihak yakni TPN-OPM yang bersedia untuk melakukan dialog.

Sementara dari pemerintah sendiri, kata Yan, walaupun Presiden pernah menyatakan bahwa bersedia berdialog dengan semua pihak, tetapi pernyataan presiden itu bertentangan  dalam pelaksanaan di  lapangan.

“Konflik hari ini eskalasinya terus meningkat, pembunuhan terhadap aparat keamanan TNI-Polri, penyerangan terhadap tenaga kesehatan hingga sipil menjadi korban dari konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN OPM,” terang Yan kepada Cenderawasih Pos, Selasa (25/1)

 Lanjut advocat senior ini menjelaskan, tidak adanya keinginan untuk dialog menyebabkan eskalasi meningkat dan operasi militer terus dilakukan di Papua. Walaupun secara tegas, pemerintah tidak menyatakan Papua daerah operasi militer, tapi fakta di lapangan terlihat seperti daerah operasi militer.

Penambahan pasukan ke Papua terus dilakukan dengan dalil operasi penegakan  hukum. Namun, tidak pernah ada yang dibawa ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Baca Juga :  Warga Kesal Saat Banjir Ada yang Lakukan Ini

“Dengan situasi seperti ini dan sipil selalu menjadi korban, kita mengusulkan jeda kemanusiaan harus dilakukan. Kedua belah pihak TNI-Polri dan TPN-OPM yang bertikai di lapangan atau yang dilabeli KKB dan lainnya menahan diri. Jeda itu harus dilakukan, supaya memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melihat masyarakatnya,” tegasnya.

Lanjut Yan, akibat konflik bersenjata, ada banyak pengungsi, ada anak-anak  yang sakit, anak anak tidak bersekolah lantaran sekolah mereka dijadikan sebagai pos militer, masyarakat tidak punya akses untuk membeli sesuatu kepentingan asupan gizi untuk keluarganya karena ketakutan, dan banyak hal lain yang jadi korban.

“Di daerah konflik, masyarakat sipil didahulukan, supaya mereka bisa mendapatkan aspek pelayanan sosial, pembangunan dan lainnya sembari melakukan jeda kemanusiaan dari kedua belah pihak,” kata Yan.

Dalam upaya mendorong damai di Papua, JDP, kata Yan, punya peran sebagai fasilitator sekalipun tidak diminta secara resmi oleh kedua belah pihak maupun pemerintah dalam mendorong dialog di tanah Papua. Merangkul dan mengimbau para pihak yang bertikai untuk duduk dan bicara.

“Sejak masih ada almarhum Peter Neles, jeda kemanusiaan terus kita gaungkan. Bahkan, jeda kemanusiaan ini sudah disampaikan kepada pemerintah melalui Kantor Staf Preasiden maupun kantor sekertariat Wapres di Jakarta. Tapi hingga saat ini kita belum mendapat respon postif langsung dari pemerintah,” tuturnya.

Baca Juga :  Silakan Pulangkan Namun Jangan Jadi Masalah Baru

Yan menilai tidak diresponnya jeda kemanusiaan ini, terkesan Pemerintah tidak serius menangani konflik yang terjadi di Papua. Sebab, konflik terus berpindah pindah di tanah Papua. Seperti Intan Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang dan Puncak hingga Maybrat Provinsi Papua Barat yang diketahui daerah tersebut dulunya aman kini konfliknya mirip seperti yang terjadi di Papua.

Mirisnya kata Yan, setelah kejadian di Maybrat. Beberapa hari kemudian terjadi pergantian dua Pangdam di wilayah Papua dan Papua Barat, dimana mantan Pangdam Kodam Kasuari dapat promosi jabatan menjadi panglima Kogabwilhan III.

“Apakah konflik di Papua ini untuk mendapat promosi jabatan ? agar tidak terkesan seperti itu, maka para pihak harus serius menyelesiakan masalah Papua sesuai dengan komitmen dari panglima TNI dan KSAD,” tegasnya.

 Selain itu kata Yan, setiap ada kontak senjata yang terjadi di Papua, Negara sebatas mengirim pasukan tanpa menyelesaikan akar persoalan. Kesannya konflik ini bagian daripada upaya seakan akan Papua dan Papua Barat ini tidak aman. (fia)

JAYAPURA – Konflik senjata yang berulang antara TNI-Polri dan TPN-OPM terus terjadi di tanah Papua. Beberapa daerah yang paling sering terjadi konflik senjata yakni Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak dan Pegunungan Bintang. Belum lama ini, konflik senjata juga terjadi di Maybrat Provinsi Papua Barat.

Juru Bicara Jaringan Damai Papua (JDP) Yan Christian Warinussy menyampaikan, sudah cukup lama kedua pihak dalam hal ini TNI-Polri dan TPN-OPM berkonflik. Namun, itikad untuk menyudahi konflik ini hanya berasal dari sepihak yakni TPN-OPM yang bersedia untuk melakukan dialog.

Sementara dari pemerintah sendiri, kata Yan, walaupun Presiden pernah menyatakan bahwa bersedia berdialog dengan semua pihak, tetapi pernyataan presiden itu bertentangan  dalam pelaksanaan di  lapangan.

“Konflik hari ini eskalasinya terus meningkat, pembunuhan terhadap aparat keamanan TNI-Polri, penyerangan terhadap tenaga kesehatan hingga sipil menjadi korban dari konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPN OPM,” terang Yan kepada Cenderawasih Pos, Selasa (25/1)

 Lanjut advocat senior ini menjelaskan, tidak adanya keinginan untuk dialog menyebabkan eskalasi meningkat dan operasi militer terus dilakukan di Papua. Walaupun secara tegas, pemerintah tidak menyatakan Papua daerah operasi militer, tapi fakta di lapangan terlihat seperti daerah operasi militer.

Penambahan pasukan ke Papua terus dilakukan dengan dalil operasi penegakan  hukum. Namun, tidak pernah ada yang dibawa ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Baca Juga :  Milad Ke-55,  Yapis di Tanah Papua Berbagi Sembako

“Dengan situasi seperti ini dan sipil selalu menjadi korban, kita mengusulkan jeda kemanusiaan harus dilakukan. Kedua belah pihak TNI-Polri dan TPN-OPM yang bertikai di lapangan atau yang dilabeli KKB dan lainnya menahan diri. Jeda itu harus dilakukan, supaya memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk melihat masyarakatnya,” tegasnya.

Lanjut Yan, akibat konflik bersenjata, ada banyak pengungsi, ada anak-anak  yang sakit, anak anak tidak bersekolah lantaran sekolah mereka dijadikan sebagai pos militer, masyarakat tidak punya akses untuk membeli sesuatu kepentingan asupan gizi untuk keluarganya karena ketakutan, dan banyak hal lain yang jadi korban.

“Di daerah konflik, masyarakat sipil didahulukan, supaya mereka bisa mendapatkan aspek pelayanan sosial, pembangunan dan lainnya sembari melakukan jeda kemanusiaan dari kedua belah pihak,” kata Yan.

Dalam upaya mendorong damai di Papua, JDP, kata Yan, punya peran sebagai fasilitator sekalipun tidak diminta secara resmi oleh kedua belah pihak maupun pemerintah dalam mendorong dialog di tanah Papua. Merangkul dan mengimbau para pihak yang bertikai untuk duduk dan bicara.

“Sejak masih ada almarhum Peter Neles, jeda kemanusiaan terus kita gaungkan. Bahkan, jeda kemanusiaan ini sudah disampaikan kepada pemerintah melalui Kantor Staf Preasiden maupun kantor sekertariat Wapres di Jakarta. Tapi hingga saat ini kita belum mendapat respon postif langsung dari pemerintah,” tuturnya.

Baca Juga :  Terjebak Lumpur di Jalan Trans Papua, 21 Motor Curian Diamankan

Yan menilai tidak diresponnya jeda kemanusiaan ini, terkesan Pemerintah tidak serius menangani konflik yang terjadi di Papua. Sebab, konflik terus berpindah pindah di tanah Papua. Seperti Intan Jaya, Nduga, Pegunungan Bintang dan Puncak hingga Maybrat Provinsi Papua Barat yang diketahui daerah tersebut dulunya aman kini konfliknya mirip seperti yang terjadi di Papua.

Mirisnya kata Yan, setelah kejadian di Maybrat. Beberapa hari kemudian terjadi pergantian dua Pangdam di wilayah Papua dan Papua Barat, dimana mantan Pangdam Kodam Kasuari dapat promosi jabatan menjadi panglima Kogabwilhan III.

“Apakah konflik di Papua ini untuk mendapat promosi jabatan ? agar tidak terkesan seperti itu, maka para pihak harus serius menyelesiakan masalah Papua sesuai dengan komitmen dari panglima TNI dan KSAD,” tegasnya.

 Selain itu kata Yan, setiap ada kontak senjata yang terjadi di Papua, Negara sebatas mengirim pasukan tanpa menyelesaikan akar persoalan. Kesannya konflik ini bagian daripada upaya seakan akan Papua dan Papua Barat ini tidak aman. (fia)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya