Thursday, April 25, 2024
32.7 C
Jayapura

Pemekaran Papua Tak Disambut Positif

Keberatan Aturan Kewenangan Pada Pusat

JAKARTA-Rencana memekarkan tanah Papua menjadi lima provinsi masih memunculkan polemik. Di Papua sendiri, rencana pemerintah tersebut tidak disambut positif oleh sejumlah elemen. Hingga saat ini, beberapa kelompok yang menyuarakan penolakan. Mulai dari aktivis hingga lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP).

Anggota Pokja Masyarakat Papua, Minggus Madai mengatakan, pemekaran yang disiapkan pemerintah pusat tidak merepresentasikan keinginan orang asli Papua. Melainkan lebih memperlihatkan ambisi pusat. Hal itu terlihat dari perubahan norma dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus), yang memberikan kewenangan pusat melakukan pemekaran.

Minggus menambahkan, rencana pemekaran itu terlalu dipaksakan. Padahal secara logika, Papua tidak memenuhi syarat ideal untuk dipecah menjadi lima daerah. Untuk jumlah penduduk misalnya, total populasi di Papua secara keseluruhan hanya lima juta jiwa. Nah jika dibagi lima, maka populasi terlampau kecil.

Baca Juga :  Judul Sebenarnya Disembunyikan, Sempat Diinterogasi Pasukan Jepang

Jumlah itu jauh berbeda dengan provinsi di luar Papua. ’’Luas wilayah mungkin oke, Sumber Daya Alam oke. Tapi jumlah penduduk ga memenuhi syarat,’’ ujarnya dalam diskusi Rabu (23/2) kemarin.

Dibanding melakukan pemekaran, Minggus meminta pemerintah untuk fokus memberikan hak-hak dalam UU Otsus versi lama. Banyak aturan yang dipandang belum dilaksanakan. Seperti keadilan, hak politik, sumber daya alam hingga kesejahteraan. ’’Karena sampai hari ini kita tidak melihat kekhususannya di mana,’’ imbuhnya.

Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI) Miya Irawati menilai, rencana pemekaran lebih kental nuansa politik dibanding aspek kesejahteraan. Sebab, secara ekonomi, dampak dari pemekaran tidak terlampau signifikan.

Namun dari aspek politik, kendali pusat makin kuat lewat penambahan kepala daerah. Kemudian, saat provinsi baru terbentuk, maka secara otomatis akan menambah jumlah institusi Komando Distrik Militer (Kodam), yang dijabat jenderal bintang dua di Papua. ’’Penambahan Kodam baru, berdampak pada distribusi pasukan TNI yang kian masif di Papua,’’ ujarnya.

Baca Juga :  Puslitbang Polri Mulai Bahas Polda Baru

Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua I Yoel Luiz Maulit mengatakan, pihaknya sudah mengambil jalur konstitusional atas rencana pemekaran. Salah satunya melalui gugatan terhadap UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi. Saat ini, persidangan masih berlangsung.

Pihaknya menilai revisi UU Otsus yang disahkan tahun lalu prosesnya menabrak ketentuan. Di mana semestinya, revisi berangkat dari usulan MRP selaku representasi orang asli Papua sebagai daerah khusus. ’’MRP melihat bahwa proses revisi yang dilakukan menabrak pasal 18 a dan 18 b (UUD 1945),’’ ujarnya. (far/bay/JPG)

Keberatan Aturan Kewenangan Pada Pusat

JAKARTA-Rencana memekarkan tanah Papua menjadi lima provinsi masih memunculkan polemik. Di Papua sendiri, rencana pemerintah tersebut tidak disambut positif oleh sejumlah elemen. Hingga saat ini, beberapa kelompok yang menyuarakan penolakan. Mulai dari aktivis hingga lembaga Majelis Rakyat Papua (MRP).

Anggota Pokja Masyarakat Papua, Minggus Madai mengatakan, pemekaran yang disiapkan pemerintah pusat tidak merepresentasikan keinginan orang asli Papua. Melainkan lebih memperlihatkan ambisi pusat. Hal itu terlihat dari perubahan norma dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus), yang memberikan kewenangan pusat melakukan pemekaran.

Minggus menambahkan, rencana pemekaran itu terlalu dipaksakan. Padahal secara logika, Papua tidak memenuhi syarat ideal untuk dipecah menjadi lima daerah. Untuk jumlah penduduk misalnya, total populasi di Papua secara keseluruhan hanya lima juta jiwa. Nah jika dibagi lima, maka populasi terlampau kecil.

Baca Juga :  Pelayanan RSUD Jayapura Masih Berjalan Normal

Jumlah itu jauh berbeda dengan provinsi di luar Papua. ’’Luas wilayah mungkin oke, Sumber Daya Alam oke. Tapi jumlah penduduk ga memenuhi syarat,’’ ujarnya dalam diskusi Rabu (23/2) kemarin.

Dibanding melakukan pemekaran, Minggus meminta pemerintah untuk fokus memberikan hak-hak dalam UU Otsus versi lama. Banyak aturan yang dipandang belum dilaksanakan. Seperti keadilan, hak politik, sumber daya alam hingga kesejahteraan. ’’Karena sampai hari ini kita tidak melihat kekhususannya di mana,’’ imbuhnya.

Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI) Miya Irawati menilai, rencana pemekaran lebih kental nuansa politik dibanding aspek kesejahteraan. Sebab, secara ekonomi, dampak dari pemekaran tidak terlampau signifikan.

Namun dari aspek politik, kendali pusat makin kuat lewat penambahan kepala daerah. Kemudian, saat provinsi baru terbentuk, maka secara otomatis akan menambah jumlah institusi Komando Distrik Militer (Kodam), yang dijabat jenderal bintang dua di Papua. ’’Penambahan Kodam baru, berdampak pada distribusi pasukan TNI yang kian masif di Papua,’’ ujarnya.

Baca Juga :  Lukas Enembe: Saya Mau hadir Langsung di Pengadilan

Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua I Yoel Luiz Maulit mengatakan, pihaknya sudah mengambil jalur konstitusional atas rencana pemekaran. Salah satunya melalui gugatan terhadap UU Otsus ke Mahkamah Konstitusi. Saat ini, persidangan masih berlangsung.

Pihaknya menilai revisi UU Otsus yang disahkan tahun lalu prosesnya menabrak ketentuan. Di mana semestinya, revisi berangkat dari usulan MRP selaku representasi orang asli Papua sebagai daerah khusus. ’’MRP melihat bahwa proses revisi yang dilakukan menabrak pasal 18 a dan 18 b (UUD 1945),’’ ujarnya. (far/bay/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya