Ia menilai pekerjaan tersebut menunjukkan lemahnya penerapan ilmu teknik dan rekayasa konstruksi di lapangan. Padahal, menurut Albert, standar dan pedoman teknis untuk penanganan kestabilan lereng sudah sangat jelas.
“Saya bingung, ini seperti konstruksi baru saja, karena dalam spesifikasi teknik tidak ada penahan lereng pakai karung. Harusnya bronjong,” ujarnya.
Albert menjelaskan, selain bronjong, masih ada metode lain yang lebih aman, seperti penggunaan geotekstil. Material tersebut berfungsi sebagai penahan tanah yang disusun berlapis dan memiliki ketahanan tinggi terhadap tekanan dan erosi.
“Kalau mau lebih bagus, bisa pakai geotekstil. Dibentangkan seperti karpet, diisi tanah atau batu, lalu dilipat dan disusun berlapis. Itu jauh lebih aman,” jelasnya.
Ia menegaskan, pekerjaan talud di kawasan Tugu Theys Eluai terkesan dikerjakan asal-asalan dan berpotensi mengalami kegagalan struktur. “Menurut saya, pekerjaan ini sama saja seperti buang garam di laut, sia-sia. Ini bukan bencana alam, tapi kegagalan struktur,” tegas Albert.
Ia menambahkan, sejumlah kasus longsor yang terjadi di Kota Jayapura, termasuk di Ring Road dan kawasan Tais, merupakan akibat dari kegagalan konstruksi akibat pekerjaan yang tidak sesuai dengan ilmu dan spesifikasi teknik.
“Kalau pekerjaan seperti ini terus dilakukan, saya yakin tidak akan bertahan lama. Hujan datang sedikit saja, karung hancur, batu keluar, dan longsor terjadi lagi,” pungkasnya.