JAYAPURA-Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey dan tim pemantauan dan negosiasi di Papua telah menyelesaikan kerja mereka, dalam melakukan negosiasi dan pendekatan kesejumlah markas dan petinggi TPN OPM di Papua.
Hasilnya ada sejumlah poin penting berhasil dihimpun dan laporan itu dibuat dalam bentuk buku. Selasa (23/5), peluncuran buku yang berjudul membuka ruang membangun dialog resmi diluncurkan. Sejumlah akademisi dan tokoh turut hadir dalam acara peluncuran buku tersebut.
Usai kegiatan itu, Frits Ramandei mengatakan, pembentukan tim pemantauan dan negosiasi di Papua ini dilakukan pihaknya setelah pemerintah pusat melalui Menkopolhukam, mengumumkan TPN OPM atau KKB sebagai kelompok kriminal bersenjata.
Karena ada sejumlah sorotan dari pihak gereja di Papua, Kapolri dan Panglima TNI telah melakukan pertemuan di Timika.
“Bagaimana cara penyelesaiannya sehingga dibentuklah tim ini yang terdiri dari pemerintah daerah, Gereja, NU yang mewakili NGO, jaringan keutuhan kecintaan masyarakat pegunungan,”katanya.
Mandat dari tim ini bagaimana melakukan Pemantauan dan upaya negosiasi, karena tim melakukan penetaan siapa-siapa yang perlu ditemui. Karena kata dia, apabila kelompok TPN OPM ini sudah dijadikan sebagai kelompok teroris bersenjata maka operasinya akan menggunakan standar operasi teroris, jadi itu sangat berbahaya dan banyak korban.
“Maka tim ini bekerja dan kami datang ke markasnya Goliat Tabuni, menanyakan pendapat mereka, lalu konsep mereka. Kami petakan ada empat kelompok sipil bersenjata yang ada di Papua, ada yang dibawa Goliat Tabuni, di bawah Demeanus Yogi, di bawah Amos Sorondanya, di bawah Fernando Worabay. Dibawa mereka ini ada Kodap-kodap” katanya.
“Kita mendengarkan pernyataan-pernyataan mereka, bahkan Goliat itu bilang perundingan, proses ini kemudian jalan dan kami kemudian sampaikan ke pak gubernur Lukas Enembe. Kami ketemu komandan BIN kami beritahu.,” katanya.
Menurutnya dari hasil diskusi dengan sejumlah petinggi TPN/OPM ini, ternyata tidak hanya pemerintah tetapi mereka juga menginginkan adanya perdamaian di tanah Papua.
Jadi dua-duanya punya komitmen. Pertanyaannya adalah siapa yang mau memulai.  Kemudian mengenai Dialog atau perundingan ini, bisa difasilitasi oleh tokoh gereja, individu.
“Kalaupun tidak bisa kita bisa minta orang-orang yang pernah mendapat Nobel Perdamaian. Misalnya kita menyarankan Xanana Gusmao, atau Ramos Horta atau lembaga-lembaga lain. Belajar dari penyelesaian Aceh. Karena itu kita mendorong laporan ini dan kami juga sudah kirim ke Menko, presiden, tapi kita perlu petakan siapa yang menjadi pihak dalam proses dialog,” paparnya.
“Kalau tidak kekerasan ini akan berlarut-larut, banyak orang yang menjadi korban. Solusinya untuk perdamaian di Papua ini harus ada dialog atau perundingan. Kalau tidak sebagai pimpinan Komnas HAM, ini sangat memungkinkan adanya intervensi, baik melalui mekanisme PBB, atau intervensi dengan pihak asing lain. Karena itu sesegera mungkin kita menyelesaikan konflik di Papua dengan dialog,” tambahnya. (roy/wen)