Saturday, April 27, 2024
30.7 C
Jayapura

Peristiwa Paniai Berdarah Penuhi Unsur Kejahatan Kemanusiaan

Ahmad Taufan Damanik ( FOTO: Elfira/Cepos)

Komnas HAM RI Menetapkannya Sebagai Kasus Pelanggaran HAM Berat

 JAYAPURA- Keputusan Paripurna Khusus Komnas HAM RI Peristiwa Paniai berdarah yang terjadi pada (7-8/12) 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat. Sebagaimana pada 3 Februari 2020, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM telah memutuskan peristiwa Paniai sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

  Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan, setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014, secara aklamasi diputuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM.

   Sebagaimana peristiwa Paniai pada tanggal 7-8 Desember 2014 terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan 4 orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. 

  “ Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc,” ucap Ahmad Taufan sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (19/2). 

  Adapun penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang  No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. TIM bekerja selama 5 tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“ Selanjutnya kasus ini menjadi tugas Jaksa Agung sebagai penyidik untuk proses hukum lanjutan,” ucap Ketua Komnas HAM saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos.

Terkait dengan yang terlibat dalam penyidikan  dan proses hukum selanjutnya, Ahmad Taufan menyatakan itu menjadi ranah Jaksa Agung. “Mereka yang harus menentukan langkah hukum selanjutnya,” jelasnya.

Baca Juga :  Uncen Tambah Tiga Guru Besar

  Sementara itu, – Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai, M. Choirul Anam, menyebutkan bahwa Peristiwa Paniai tanggal 7 – 8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.

“Peristiwa Paniai tanggal 7 – 8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan element of crimes, adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Juga, dilakukan secara sistematis atau meluas dengan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” ujar M. Choirul Anam dalam rilis resmi Komnas HAM RI yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (19/2) kemarin.

Bekerja selama 5 tahun, mulai 2015 hingga 2020, penyelidikan pelanggaran berat HAM yang dilakukan berdasarkan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM, Tim ad hoc telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7 – 8 Desember 2014 tersebut.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. 

Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri. 

Disamping hal-hal di atas, Tim juga menemukan adanya indikasi obstruction of juctice dalam proses penanganan pasca peristiwa. Obstruction of justice dalam proses penanganan ini mengakibatkan kaburnya fakta peritiwa dan memperlambat proses penegakan hukum. 

Baca Juga :  Akhirnya, Gubernur Berkomunikasi Dengan Direktur Penyidik KPK

Demikian, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 telah memutuskan peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat.  Peristiwa Paniai pada tanggal 7-8 Desember 2014 terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan 4 (empat) orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 (dua puluh satu) orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. 

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

Anggota Tim ad hoc, Munafrizal Manan, mengatakan, obstruction of justice penting untuk tetap disebutkan sebagi fakta, walau tidak harus dikaitkan dengan adanya sistematis atau meluas. Ini bertujuan agar mendapat perhatian oleh penegak hukum untuk bekerja profesional dan menegakkan keadilan, bukan yang lain.

Berkas penyelidikan telah dikirim kepada Jaksa Agung/ Penyidik pada tanggal 11 Februari 2020 sesuai dengan ketentuan dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM berharap kasus ini segera dapat berproses ke Pengadilan.

Demikian, Anggota Tim ad hoc lainnya, Sandrayati Moniaga, berharap segera ada proses sampai ke Pengadilan. “Harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan,” tutup Sandrayati Moniaga. (fia/gr/luc) 

Ahmad Taufan Damanik ( FOTO: Elfira/Cepos)

Komnas HAM RI Menetapkannya Sebagai Kasus Pelanggaran HAM Berat

 JAYAPURA- Keputusan Paripurna Khusus Komnas HAM RI Peristiwa Paniai berdarah yang terjadi pada (7-8/12) 2014 sebagai Pelanggaran HAM yang Berat. Sebagaimana pada 3 Februari 2020, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM telah memutuskan peristiwa Paniai sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat.

  Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyampaikan, setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7-8 Desember 2014, secara aklamasi diputuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM.

   Sebagaimana peristiwa Paniai pada tanggal 7-8 Desember 2014 terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan 4 orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. 

  “ Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. Keputusan paripurna khusus tersebut berdasarkan hasil penyelidikan oleh TIM Ad hoc,” ucap Ahmad Taufan sebagaimana rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (19/2). 

  Adapun penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai yang bekerja berdasarkan Undang-Undang  No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. TIM bekerja selama 5 tahun, dari Tahun 2015 hingga 2020.

“ Selanjutnya kasus ini menjadi tugas Jaksa Agung sebagai penyidik untuk proses hukum lanjutan,” ucap Ketua Komnas HAM saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos.

Terkait dengan yang terlibat dalam penyidikan  dan proses hukum selanjutnya, Ahmad Taufan menyatakan itu menjadi ranah Jaksa Agung. “Mereka yang harus menentukan langkah hukum selanjutnya,” jelasnya.

Baca Juga :  DPRP-Pemprov Sepakat Hanya Urus 8 Kabupaten dan 1 Kota

  Sementara itu, – Ketua Tim ad hoc penyelidikan pelanggaran berat HAM peristiwa Paniai, M. Choirul Anam, menyebutkan bahwa Peristiwa Paniai tanggal 7 – 8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan.

“Peristiwa Paniai tanggal 7 – 8 Desember 2014 memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan dengan element of crimes, adanya tindakan pembunuhan dan tindakan penganiayaan. Juga, dilakukan secara sistematis atau meluas dengan ditujukan pada penduduk sipil dalam kerangka kejahatan kemanusiaan sebagai prasyarat utama terpenuhi,” ujar M. Choirul Anam dalam rilis resmi Komnas HAM RI yang diterima Cenderawasih Pos, Rabu (19/2) kemarin.

Bekerja selama 5 tahun, mulai 2015 hingga 2020, penyelidikan pelanggaran berat HAM yang dilakukan berdasarkan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM, Tim ad hoc telah melakukan kerja penyelidikan dengan melakukan pemeriksaan para saksi sebanyak 26 orang, meninjau dan memeriksa TKP di Enarotali Kabupaten Paniai, pemeriksaan berbagai dokumen, diskusi ahli dan berbagai informasi yang menunjang pengungkapan peristiwa pada tanggal 7 – 8 Desember 2014 tersebut.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut disimpulkan bahwa anggota TNI yang bertugas pada medio peristiwa tersebut, baik dalam struktur komando Kodam XVII/ Cenderawasih sampai komando lapangan di Enarotali, Paniai diduga sebagai pelaku yang bertanggung jawab. 

Tim Penyelidik juga menemukan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, namun bukan dalam kerangka pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, direkomendasikan untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut dan memperbaiki kepatuhan terhadap hukum yang berlaku, khususnya terkait perbantuan TNI-Polri. 

Disamping hal-hal di atas, Tim juga menemukan adanya indikasi obstruction of juctice dalam proses penanganan pasca peristiwa. Obstruction of justice dalam proses penanganan ini mengakibatkan kaburnya fakta peritiwa dan memperlambat proses penegakan hukum. 

Baca Juga :  Pengumuman Hasil Tes Bawaslu Wilayah 1 Ditunda

Demikian, Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM pada 3 Februari 2020 telah memutuskan peristiwa Paniai 7 – 8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM yang berat.  Peristiwa Paniai pada tanggal 7-8 Desember 2014 terjadi peristiwa kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan 4 (empat) orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Sedangkan 21 (dua puluh satu) orang lain mengalami luka penganiayaan. Peristiwa ini tidak lepas dari status Paniai sebagai daerah rawan dan adanya kebijakan atas penanganan daerah rawan tersebut. 

“Setelah melakukan pembahasan mendalam di sidang paripurna peristiwa Paniai pada 7 – 8 desember 2014, secara aklamasi kami putuskan sebagai peristiwa pelanggran berat HAM” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.

Anggota Tim ad hoc, Munafrizal Manan, mengatakan, obstruction of justice penting untuk tetap disebutkan sebagi fakta, walau tidak harus dikaitkan dengan adanya sistematis atau meluas. Ini bertujuan agar mendapat perhatian oleh penegak hukum untuk bekerja profesional dan menegakkan keadilan, bukan yang lain.

Berkas penyelidikan telah dikirim kepada Jaksa Agung/ Penyidik pada tanggal 11 Februari 2020 sesuai dengan ketentuan dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM berharap kasus ini segera dapat berproses ke Pengadilan.

Demikian, Anggota Tim ad hoc lainnya, Sandrayati Moniaga, berharap segera ada proses sampai ke Pengadilan. “Harapan besar dari korban dan masyarakat Papua secara umum agar kasus ini dapat mendatangkan keadilan,” tutup Sandrayati Moniaga. (fia/gr/luc) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya