JAYAPURA- Salah satu akademisi Uncen, Marinus Yaung menyampaikan pendapat bahwa untuk penanganan pengungsi ini ada empat pihak yang harus bertanggungjawab. Pertama adalah gubernur, lalu bupati, DPR dan dewan gereja. “Empat pihak ini memiliki hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dengan masyarakat pengungsi maupun dan kelompok TPN – OPM. Secara teori, konstruksi situasi dan kondisi dari konflik dan perang ke situasi aman, damai dan saling bekerja sama, bisa dimungkinkan terjadi apabila ada variabel – variabel pendukung utamanya,” jelas Marinus Yaung melalui ponselnya, Jumat (17/12).
Variabel pendukungnya yaitu kesamaan latar belakang budaya dan bahasa, kesamaan perhatian dan nasib, dan kesamaan kepentingan. Dan variabel atau prasyarat ini hanya dimiliki oleh Gubernur Papua, para bupati serta elit politik dan Dewan Gereja Papua dengan kelompok KKB.
Aparat keamanan TNI dan Polri, serta Presiden Jokowi beserta administrasi di Jakarta menurutnya, tidak miliki prasyarat tersebut. Sehingga jika ada yang menyebut bahwa persoalan pengungsi menjadi tanggung jawab presiden dan TNI-Polri, ini juga tidak tepat. “Keliru jika mengatakan presiden dan TNI-Polri yang bertanggung jawab, itu salah. Yang bertanggung jawab adalah empat pihak yang saya sebut di atas tadi,” bebernya.
Lalu untuk mengatasi atau merelokasi para pengungsi ke asalnya, pemerintah daerah kata Yaung yang memiliki peran sedangkan stakeholder lainnya yakni elit politik, Dewan Gereja Papua dan para aktivis kemanusian harus bisa memfasilitasi komunikasi intensif dengan pihak TPN – OPM dan pihak keamanan. Komunikasi ini harus sampai pada sebuah kesepakatan damai. Kalau KKB misalnya menolak membuka komunikasi dengan aparat keamanan, maka pemerintah daerah bersama stakeholder terkait tadi yang harus bisa berkomunikasi dengan para pengungsi dan harus siap pasang badan untuk mengembalikan pengungsi ke tempat asalnya.
“Para pihak di atas tadi harus bisa meyakinkan warga pengungsi bahwa negara akan hadir menjaga dan melindungi mereka di tempat asalnya. Asalkan warga masyarakat ketika sudah kembali ke tempat asal, harus mendukung pemerintah, melawan dan menentang aktivitas TPN-OPM, lalu warga juga tidak boleh mendukung logistik KKB,” tegasnya.
Disini Yaung lantas menasehati bahwa untuk kelompok TPN-OPM jika ingin berjuang untuk kepentingan rakyat Papua, maka jangan korbankan rakyat Papua. Terutama perempuan dan anak – anak.
Ia mengingatkan bahwa perlawanan dengan senjata terhadap negara Indonesia sudah berlangsung puluhan tahun atau tepatnya sudah 56 tahun terhitung sejak tanggal 28 Juli 1965 di Arfai, Manokwari.
Ini jauh lebih lama dari perjuangan pasukan Fretelin di Timor Leste yang hanya butuh waktu 24 tahun terhitung sejak deklarasi Balibo, 30 November 1975. “Perjuangan senjata 56 tahun tanpa hasil yang signifikan namun mengorban nyawa ribuhan orang asli Papua sehingga sudah waktunya dievaluasi dan diakhiri. Pendekata perang dalam perjuangan nasib Papua, sudah tidak relevan dengan situasi dunia saat ini,” bebernya.
Lagi pula dikatakan masyarakat dunia atau komunitas internasional sudah menolak perang sebagai instrumen penyelesain konflik soal kebangsaan atau nation building. “Sudah waktunya TPN – OPM meninggalkan pendekatan perang dan menggantikan dengan pendekan non kekerasan dalam menyelesaikan konflik Papua. Kalau TPN-OPM memilih pendekatan tanpa kekerasan, maka warga masyarakat Papua tidak akan lagi menjadi korban perang. Tidak lagi hidup terus menerus ditempat – tempat pengungsian,” pungkasnya. (fia/ade/nat)