Sunday, April 28, 2024
27.7 C
Jayapura

Pemerintah Usul April Atau Mei

*Jadwal-Tahapan Pemilu 2024 Belum Pasti

JAKARTA-Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali gagal mengambil keputusan. Kemendagri kemarin (16/9) menolak draf jadwal dan tahapan pemilu yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kemarin menyampaikan sikap resmi. Tito menyatakan tidak sependapat dengan draf usulan KPU. Sebagaimana diketahui, KPU mengusulkan tahapan dimulai pada Januari 2022 dan pemungutan suara digelar pada 21 Februari 2024.

Tito mengatakan, pihaknya mengusulkan pemungutan suara tetap digelar April atau Mei 2024. Dia beralasan, jika coblosan digelar Februari, maka konsekuensinya tahapan pemilu akan berlangsung lebih cepat. Hal itu akan membuat iklim politik nasional dan daerah juga memanas lebih dini. “Ini akan berdampak pada polarisasi, stabilitas politik keamanan,” ujarnya.

Padahal, pemerintah pusat mencanangkan tahun 2022 sebagai momen pemulihan ekonomi nasional. Oleh karenanya, dibutuhkan iklim sosial politik yang kondusif. Supaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat lebih fokus bekerja menjalankan program. Lagi pula, kata Tito, sekalipun pemungutan suara digelar di bulan April atau Mei, waktu untuk transisi pemerintahan masih cukup. 

Baca Juga :  Jangan Buat Situasi Papua Tak Kondusif!

Selain keberatan soal waktu coblosan, pemerintah juga tidak sepakat dengan usulan tahapan digelar sejak Januari 2022. Tahapan selama 25 bulan itu dinilai terlampau panjang dan tidak efektif. Apalagi, masa lima bulan diantaranya hanya diisi persiapan yang bersifat internal di KPU. Tito mengusulkan agar tahapan tetap digelar 20 bulan. “Selama lima bulan, diganti dalam bentuk narasi program kegiatan-kegiatan KPU,” ujarnya.

Dengan pola semacam itu, tahapan pemilu bisa dimulai pertengahan tahun 2022. Sehingga masih ada ruang bagi pemerintah memanfaatkan tahun depan untuk pemulihan ekonomi. Selain itu, dari aspek anggaran, pihaknya meyakini akan lebih efisien.

Terkait anggaran, Tito juga meminta agar usulan sebesar Rp 86 triliun yang diajukan KPU diteliti lebih lanjut. Sebab jika dibandingkan kebutuhan pemilu 2019 lalu yang hanya di kisaran Rp 27,4 triliun, angkanya naik signifikan. Sementara untuk tahapan pilkada, pemerintah sepakat dengan usulan KPU.

Baca Juga :  Yanes Fakdawer : Kami Sengsara di Luar Negeri

Merespon Tito, KPU tetap mengusulkan pemungutan suara digelar 21 Februari 2024. Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, waktu tersebut dipilih atas berbagai pertimbangan. Seperti memperhatikan beban petugas, hari keagamaan, hingga memberi jarak waktu untuk sengketa hasil pemilu.

“Mengingat salah satu syarat pencalonan pemilihan (pilkada) adalah jumlah kursi hasil pemilu 2024,” ujarnya. Jika terlampau mepet, dia khawatir tahapannya tidak terkejar. Sebab pilkada yang coblosannya digelar pada November, pencalonannya akan dibuka Agustus 2024.

Karena ada perbedaan sikap, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia memutuskan untuk kembali menunda pengambilan kesepakatan. Sebab, perbedaan tersebut memunculkan dua opsi yang berbeda. “(Jika dibahas) ini dua hari dua malam tidak akan selesai,” ujarnya.

Doli menegaskan, pihaknya menargetkan kesepakatan bisa diambil sebelum habis masa sidang. Karena itu rapat konsinyering akan digelar secara intensif. “(Keputusan) paling lama di awal Oktober sebelum masa reses,” kata politikus Partai Golkar tersebut. (far/deb/bay/JPG)

*Jadwal-Tahapan Pemilu 2024 Belum Pasti

JAKARTA-Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR dengan penyelenggara pemilu dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali gagal mengambil keputusan. Kemendagri kemarin (16/9) menolak draf jadwal dan tahapan pemilu yang diajukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian kemarin menyampaikan sikap resmi. Tito menyatakan tidak sependapat dengan draf usulan KPU. Sebagaimana diketahui, KPU mengusulkan tahapan dimulai pada Januari 2022 dan pemungutan suara digelar pada 21 Februari 2024.

Tito mengatakan, pihaknya mengusulkan pemungutan suara tetap digelar April atau Mei 2024. Dia beralasan, jika coblosan digelar Februari, maka konsekuensinya tahapan pemilu akan berlangsung lebih cepat. Hal itu akan membuat iklim politik nasional dan daerah juga memanas lebih dini. “Ini akan berdampak pada polarisasi, stabilitas politik keamanan,” ujarnya.

Padahal, pemerintah pusat mencanangkan tahun 2022 sebagai momen pemulihan ekonomi nasional. Oleh karenanya, dibutuhkan iklim sosial politik yang kondusif. Supaya pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat lebih fokus bekerja menjalankan program. Lagi pula, kata Tito, sekalipun pemungutan suara digelar di bulan April atau Mei, waktu untuk transisi pemerintahan masih cukup. 

Baca Juga :  Jumlah Perawat di Tanah Papua Mencukupi, Tapi Belum Merata

Selain keberatan soal waktu coblosan, pemerintah juga tidak sepakat dengan usulan tahapan digelar sejak Januari 2022. Tahapan selama 25 bulan itu dinilai terlampau panjang dan tidak efektif. Apalagi, masa lima bulan diantaranya hanya diisi persiapan yang bersifat internal di KPU. Tito mengusulkan agar tahapan tetap digelar 20 bulan. “Selama lima bulan, diganti dalam bentuk narasi program kegiatan-kegiatan KPU,” ujarnya.

Dengan pola semacam itu, tahapan pemilu bisa dimulai pertengahan tahun 2022. Sehingga masih ada ruang bagi pemerintah memanfaatkan tahun depan untuk pemulihan ekonomi. Selain itu, dari aspek anggaran, pihaknya meyakini akan lebih efisien.

Terkait anggaran, Tito juga meminta agar usulan sebesar Rp 86 triliun yang diajukan KPU diteliti lebih lanjut. Sebab jika dibandingkan kebutuhan pemilu 2019 lalu yang hanya di kisaran Rp 27,4 triliun, angkanya naik signifikan. Sementara untuk tahapan pilkada, pemerintah sepakat dengan usulan KPU.

Baca Juga :  Yanes Fakdawer : Kami Sengsara di Luar Negeri

Merespon Tito, KPU tetap mengusulkan pemungutan suara digelar 21 Februari 2024. Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, waktu tersebut dipilih atas berbagai pertimbangan. Seperti memperhatikan beban petugas, hari keagamaan, hingga memberi jarak waktu untuk sengketa hasil pemilu.

“Mengingat salah satu syarat pencalonan pemilihan (pilkada) adalah jumlah kursi hasil pemilu 2024,” ujarnya. Jika terlampau mepet, dia khawatir tahapannya tidak terkejar. Sebab pilkada yang coblosannya digelar pada November, pencalonannya akan dibuka Agustus 2024.

Karena ada perbedaan sikap, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia memutuskan untuk kembali menunda pengambilan kesepakatan. Sebab, perbedaan tersebut memunculkan dua opsi yang berbeda. “(Jika dibahas) ini dua hari dua malam tidak akan selesai,” ujarnya.

Doli menegaskan, pihaknya menargetkan kesepakatan bisa diambil sebelum habis masa sidang. Karena itu rapat konsinyering akan digelar secara intensif. “(Keputusan) paling lama di awal Oktober sebelum masa reses,” kata politikus Partai Golkar tersebut. (far/deb/bay/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya