Wednesday, April 24, 2024
26.7 C
Jayapura

MRP-MRPB Ajukan Gugatan ke MK

Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

JAYAPURA-Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001 dengan mengajukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 77 UU 21/2001.

“Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkap Ketua MRP Timotius Murib dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (17/6). 

Menurutnya, sejarah mencatat bahwa Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan ibu pertiwi.

Dikatakan, ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi Undang-Undang Ri Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian otonomi khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Kata Murib,  faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. Untuk itu, MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada tim hukum dan advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan. Rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tutur Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6).

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Baca Juga :  Pangdam Baru Diyakini Bawa Perubahan

Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Maxsi Nelson Ahoren menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. 

Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Sementara itu, Dr. Roy Rening anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya akan fight memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak menurut Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001. 

Secara terpisah, advokat muda Papua, Thomas. CH. Syufi, SH., mengatakan, Pasal 77 UU No 21 Tahun 2001 mengamanatkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tak hanya itu, menurut Syufi, sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hirarki Peraturan Perundang-Undangan, dimana UU berada di posis kedua setelah UUD 1945. Oleh karena itu, tidak bisa dikesampingkan.

Baca Juga :  Polisi Sebut Ada Bentuk Penjarahan

“Apalagi UU Otsus yang memiliki sifat lex specialis derogate lex generalis dan UU yang khusus serta menyampingkan UU yang bersifat umum. Itu status Otonomi Khusus (Otsus),” katanya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Kamis (16/6).

Oleh karena itu, menurut Syufi siapapun dia harus menghormati UU Otsus. Apalagi UU ini dibuat atas persetujuan rakyat, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga memiliki legitimasi dan legalitas yang tinggi dan bersifat kekhususan.

“Makanya saya mendukung kalau MRP mengajukan gugatan ke MK,” ucap alumni Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih ini. 

Syufi menilai apa yang dilakukan dan diajukan oleh DPR Papua dalam hal pembahasan dan revisi UU Otsus sangat aspiratif, karena hal ini mewakili rakyat Papua. Apalagi ini tingkatan dimana DPRD mewakili masyarakat di daerah dan DPRP mewakili masyarakat Papua.

“DPRP jika mengajukan, merupakan representatif dari mewakili akar rumput masyarakat Papua, sehingga revisi UU Otsus harus memperhatikan partisipasif. Apalagi ini menyangkut kebijakan pubik dan kepentingan orang Papua, sehingga harus dilibatkan seluruh orang Papua seperti DPRP, MRP, karena tidak dibenarkan pemerintah dominan untuk ikut mengintervensi dalam hal ini. Artinya pemerintah pusat harus mengakomodir aspirasi di daerah dan tidak boleh sepihak,” jelasnya.

Mantan Ketua BEM Hukum Uncen menyampaikan, hukum ini selalu mencerminkan realitas dan selalu dinamis berdasarkan perkembangan masyarakat dan tidak bisa berdiri sendiri. Hukum harus berefleksikan kepentingan masyarakat.

“Apa yang disampaikan dalam DPRP dan MRP, terkait revisi UU Otsus itu mewakili realitas atau kondisi yang dihadapi masyarakat Papua hari ini. Saya pikir jangan membuat peraturan dan sendiri menghianatinya lagi. UU Otsus berada di hirarki kedua dan dan kecuali UUD yang dapat menyampingkannya,” pungkasnya. (oel/bet/nat)

(oel).

Minta Negara Beri Keadilan Bagi Rakyat Papua

JAYAPURA-Merasa kecewa karena tidak diikutsertakan pada pembahasan revisi UU Otsus Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) menggugat UU No. 21/2001 dengan mengajukan uji sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 77 UU 21/2001.

“Pasal 77 UU 21/2001 yang menyatakan, usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Provinsi Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ungkap Ketua MRP Timotius Murib dalam rilis yang diterima Cenderawasih Pos, Kamis (17/6). 

Menurutnya, sejarah mencatat bahwa Papua bergabung ke Indonesia sejak 1 Mei 1963, dengan nama Irian Barat. Namun sejak awal, rakyat Papua merasa ada ketidakadilan. Hal itu ternyata masih dirasakan hingga kini, setelah 58 tahun bergabung dengan ibu pertiwi.

Dikatakan, ketidakadilan yang kini begitu nyata dirasakan terkait revisi Undang-Undang Ri Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Padahal, tadinya pemberian otonomi khusus dipandang sebagai solusi bijak dan konsensus politik antara Jakarta dengan Papua.

Kata Murib,  faktanya pemerintah pusat telah mengambil alih kewenangan tersebut. Untuk itu, MRP dan MRPB memberikan kuasa kepada tim hukum dan advokasi Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Rumah Bersama Advokat (RBA) untuk melayangkan gugatan tersebut.

“Kami mempertanyakan, siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan. Rakyat Papua atau pemerintah pusat?” tutur Timotius Murib Ketua MRP dalam acara Rapat Konsultasi sekaligus penandatanganan surat kuasa hukum untuk sengketa kewenangan di MK, di Jakarta, Rabu (16/6).

Menurut Murib, selama ini rakyat Papua bertanya-tanya, kenapa selama 20 tahun implementasi UU 21/2001 ini, dari 24 kekhususan yang diberikan, hanya 4 yang dilaksanakan. “Jelas ini tidak fair bagi rakyat Papua. Bahkan ada yang menduga itu hanya akal-akalan pemerintah pusat saja,” imbuh Murib.

Baca Juga :  Pangdam Baru Diyakini Bawa Perubahan

Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Maxsi Nelson Ahoren menegaskan, pihaknya tidak melawan negara, hanya mempertegas siapa sebenarnya yang berhak memberi usulan perubahan UU Otsus Papua. 

Selain itu, dipertanyakan pula soal sikap pemerintah pusat yang tidak melibatkan MRP dan MRPB dalam membahas kelanjutan Otsus yang habis masa berlakunya di tahun ini.

Sementara itu, Dr. Roy Rening anggota Tim Hukum dan Advokat MRP dan MRPB menegaskan, pihaknya ingin mempertegas soal kewenangan terkait usulan perubahan. “Kalau memang itu hak rakyat Papua, ya berikan saja. Jangan diambil alih oleh pemerintah pusat. Itu namanya sewenang-wenang. Jangan-jangan ini upaya pemerintah pusat untuk menarik kewenangan yang harusnya menjadi milik rakyat Papua,” ujarnya.

Untuk itu, pihaknya akan fight memperjuangkan keadilan bagi rakyat Papua. “Orang Papua juga warga Indonesia. Mereka memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya sendiri. Jangan hak itu diambil oleh pusat,” tegasnya.

Dirinya berharap MK bisa arif dan bijaksana dalam melihat persoalan ini. Paling tidak menurut Roy, MK bisa menunda revisi ini dan meminta agar UU ini didiskusikan dengan rakyat Papua sesuai amanat UU No. 21/2001. 

Secara terpisah, advokat muda Papua, Thomas. CH. Syufi, SH., mengatakan, Pasal 77 UU No 21 Tahun 2001 mengamanatkan bahwa usul perubahan atas undang-undang ini dapat diajukan oleh rakyat Papua melalui MRP dan DPRP kepada DPR atau pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Tak hanya itu, menurut Syufi, sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hirarki Peraturan Perundang-Undangan, dimana UU berada di posis kedua setelah UUD 1945. Oleh karena itu, tidak bisa dikesampingkan.

Baca Juga :  Tak Ada Sweeping Namun Perketat Razia

“Apalagi UU Otsus yang memiliki sifat lex specialis derogate lex generalis dan UU yang khusus serta menyampingkan UU yang bersifat umum. Itu status Otonomi Khusus (Otsus),” katanya saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos melalui telepon selulernya, Kamis (16/6).

Oleh karena itu, menurut Syufi siapapun dia harus menghormati UU Otsus. Apalagi UU ini dibuat atas persetujuan rakyat, yaitu melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga memiliki legitimasi dan legalitas yang tinggi dan bersifat kekhususan.

“Makanya saya mendukung kalau MRP mengajukan gugatan ke MK,” ucap alumni Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih ini. 

Syufi menilai apa yang dilakukan dan diajukan oleh DPR Papua dalam hal pembahasan dan revisi UU Otsus sangat aspiratif, karena hal ini mewakili rakyat Papua. Apalagi ini tingkatan dimana DPRD mewakili masyarakat di daerah dan DPRP mewakili masyarakat Papua.

“DPRP jika mengajukan, merupakan representatif dari mewakili akar rumput masyarakat Papua, sehingga revisi UU Otsus harus memperhatikan partisipasif. Apalagi ini menyangkut kebijakan pubik dan kepentingan orang Papua, sehingga harus dilibatkan seluruh orang Papua seperti DPRP, MRP, karena tidak dibenarkan pemerintah dominan untuk ikut mengintervensi dalam hal ini. Artinya pemerintah pusat harus mengakomodir aspirasi di daerah dan tidak boleh sepihak,” jelasnya.

Mantan Ketua BEM Hukum Uncen menyampaikan, hukum ini selalu mencerminkan realitas dan selalu dinamis berdasarkan perkembangan masyarakat dan tidak bisa berdiri sendiri. Hukum harus berefleksikan kepentingan masyarakat.

“Apa yang disampaikan dalam DPRP dan MRP, terkait revisi UU Otsus itu mewakili realitas atau kondisi yang dihadapi masyarakat Papua hari ini. Saya pikir jangan membuat peraturan dan sendiri menghianatinya lagi. UU Otsus berada di hirarki kedua dan dan kecuali UUD yang dapat menyampingkannya,” pungkasnya. (oel/bet/nat)

(oel).

Berita Terbaru

Artikel Lainnya