Lebih jauh, wanggo-wanggo juga merekam keterhubungan antara tubuh perempuan dan ruang alam, khususnya dalam konteks Hutan Perempuan—wilayah mangrove yang secara adat dijaga dan dimiliki oleh para perempuan Enggros. Di hutan ini, perempuan tidak hanya mencari kepiting atau bia, tetapi juga menjaga warisan pengetahuan tentang musim, tata ruang, dan ritme hidup.
Permainan anak-anak yang terjadi di sekitar hutan ini secara tidak langsung mewarisi cara-cara perempuan merawat alam: lewat gerak yang lembut, lewat kedekatan, bukan dominasi. Maka wanggo-wanggo adalah juga upaya mempertahankan relasi tubuh-anak-perempuan-alam dari ancaman penghapusan.
“Habitart hadir bukan hanya untuk menciptakan karya seni, tapi untuk menyimak, menjaga, dan menumbuhkan kembali simpul-simpul kehidupan yang terus diuji oleh krisis ekologis dan budaya dan kegiatan ini akan berlanjut hingga 21 Juni nanti,” tutupnya. (*)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOSÂ https://www.myedisi.com/cenderawasihpos