Menurut Mollet, pelaksanaan program MBG di Papua tidak hanya dari sisi kesehatan saja, tetapi juga dilihat dari budaya masyarakat setempat, sehingga tidak terjadi penolakan MBG di daerah.
“Kunci utama program MBG di Papua ini sebenarnya selain kebersihan, tetap juga supplay chain (rantai pasok) seperti sayuran karena hal ini harus berkelanjutan,” terangnya.
Di satu sisi Prof. Julius berharap program MBG di Papua secepatnya dilakukan. Namun karena masih banyak proses atau tahapan yang harus dilakukan. Maka dengan itu, pelaksanaan program MBG di Papua diperkirakan dapat berjalan maksimal, pada 2026 mendatang.
Dikatakan, program MBG tidak hanya fokus pada penyediaan gizi seimbang anak, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi lokal. Dalam pelaksanaannya, pemerintah mendorong pengadaan bahan pangan yang berasal dari petani, peternak, dan pelaku UMKM setempat.
Skema ini sekaligus membuka peluang baru bagi sektor ekonomi domestik, menciptakan rantai pasok yang memberdayakan masyarakat desa, dan mempercepat perputaran ekonomi daerah.
“Program MBG ini dampaknya sangat luas. Kalau gizi anak terpenuhi sejak usia sekolah, mereka tumbuh lebih sehat, daya pikirnya juga lebih baik, dan risiko sakitnya rendah. Anak yang sehat dan cerdas itu modal utama untuk membentuk generasi kerja yang unggul di masa depan,”pungkasnya. (jim/tri)
Layanan Langganan Koran Cenderawasih Pos, https://bit.ly/LayananMarketingCepos
BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS https://www.myedisi.com/cenderawasihpos