Friday, March 29, 2024
26.7 C
Jayapura

Dulu Bersembunyi di Balik Pensil Alis, Kini Kampanyekan Penghapusan Stigma

Itang Setiawan, Penyandang Vitiligo yang Turut Patahkan Konstruksi Fisik Seorang Model

Begitu wajah dan tangannya yang belang terekspos dalam pemotretan, hilang sudah ketidakpercayaan diri Itang Setiawan akibat vitiligo. Kepada mereka yang senasib dengannya, dia berpesan, bersahabatlah dengan warna belang-belang.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya, Jawa Pos

SEBUAH pesan langsung yang masuk ke akun Instagram Itang Setiawan tahun lalu bak cahaya penunjuk jalan yang memancar dari lorong kegelapan. Seorang fotografer kawakan, Hendra Kusuma, memintanya menjadi model.
Itang yang kala itu baru keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan ritel di Bandung kaget sekaligus senang, tetapi juga ragu menerima ajakan tersebut. Siapalah Itang ini, begitu pikirnya kala itu. Dia merasa bentuk tubuhnya tidak merepresentasikan gambaran-gambaran model yang biasa diketahuinya selama ini.
Kepada Jawa Pos akhir Juli lalu, dia bahkan menyebut dirinya seperti buaya putih. Atau mungkin kuda nil. ”Waktu itu aku juga ingin menolak. Masak iya sih, ’bentukan’ aku kan kayak begini,” ucapnya.
Namun, Hendra meyakinkan Itang. Katanya, Itang itu unik. Model pria yang memiliki vitiligo. Di mana lagi menemukan karakter unik seperti itu?
Itang akhirnya luluh. Rasa percaya dirinya makin terbangun. Kerja sama dengan Hendra berakhir dalam halaman rubrik Aksesori di majalah Dewi edisi November 2020. Wajah dan tangan Itang yang belang terekspos bersama perhiasan-perhiasan dan jam tangan mewah dalam rubrik tersebut. Dia pun ikut mematahkan konstruksi model sebagai sosok dengan fisik nyaris sempurna.
Ya, vitiligo telah banyak mengubah kehidupan Itang. Model yang bermukim di Subang, Jawa Barat, itu menjalani bab-bab kehidupan bak roller coaster bersama penyakit yang disebabkan autoimun tersebut. Kadang vitiligo membawanya menukik ke jurang kekecewaan. Berikutnya lagi, dia dipapah ke puncak kebanggaan atas perjalanan hidupnya.
Vitiligo mulai menyapa kehidupan Itang pada 2013. Tepatnya saat dia duduk di bangku kelas XII SMK Tunas Bangsa Ciater, Subang. Awalnya, vitiligo menjelma bintik-bintik kecil mirip jerawat pada wajah Itang. Lambat laun, bintik-bintik itu semakin melebar. Wajah Itang menjadi belang, cokelat, dan putih. Belang-belang itu lantas menyebar ke telinga, dada, dan tangan Itang. Helai-helai rambutnya pun ikut belang, hitam dan putih.
Rupanya, sel-sel melanosit pada tubuh Itang ”terbunuh” gara-gara autoimun. Pigmentasi pada sekujur tubuh Itang tidak merata. Belang-belang itu makin menggila saat Itang stres. ”Karena autoimun, kalau aku lagi merasa tertekan, biasanya belang-belang itu makin banyak,” kisahnya.
Lulus SMK, Itang hijrah ke Bandung. Dia bekerja pindah-pindah, mulai di restoran, butik roti, hingga yang terakhir di perusahaan ritel. Pekerjaannya pun berganti-ganti. Mulai cook helper, waiter, baker, sales promotion boy (SPB), hingga supervisor. Selama beberapa tahun menjalani pekerjaan-pekerjaan itu, ada saat-saat waktu Itang merasa sulit berkawan dengan si vitiligo.
Kakak sulungnya, Nani Sumarni, sempat menyarankan Itang menutupi belang-belang tersebut. Itang setuju. Dia menutupinya dengan pensil alis. ”Saya yang belikan make-up buat Itang kalau dia pulang ke Subang,” kata Nani.
Tentu saja dia sayang kepada Itang. Nani tidak tega melihat adiknya, bungsu di empat bersaudara tersebut, sedih karena penampilannya berbeda dengan orang-orang lain.
Lama-lama, vitiligo pada tubuh Itang semakin tertutupi. Bukan hanya oleh pensil alis, tetapi juga foundation dan bedak two-way cake. Sebab, salep, obat dokter, maupun obat-obat tradisional yang dikonsumsi Itang tidak membuahkan hasil.
Ketika bekerja di perusahaan ritel, Itang bahkan menghabiskan waktu satu jam untuk berdandan sebelum berangkat ke toko. Itang mengakui jarang menggunakan pelindung kulit (sunscreen). Dia merasa pekerjaannya yang menempatkannya di ruangan ber-AC cukup adaptif dengan kondisinya sebagai penyandang autoimun. Hanya, dia memang butuh menutupi si vitiligo agar orang tidak mengejeknya.
Hari demi hari, Itang makin dewasa dalam menghadapi penyakitnya. Keinginan untuk menunjukkan jati diri Itang perlahan tumbuh. Itang hanya mendandani wajahnya. Tangannya yang belang dibiarkan apa adanya. ”Itu bentuk kampanye kecil dari saya,” tutur pria 24 tahun tersebut.
Dia ingin lepas dari stigma yang menempel pada penderita vitiligo. Beruntung, teman-temannya di toko tidak menghinanya. Justru konsumen yang datang ke toko tempat Itang bekerja yang kadang memiliki pandangan buruk. ”Laki-laki kok dandan,” kenang Itang.
Kadang dia sedih jika melihat ada orang yang mencibir penampilannya. ”Padahal, orang tidak tahu, di balik topeng yang saya pakai itu, ada cerita apa,” ujarnya.
Awal 2020, Itang memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya lantaran ditipu konsumen. Dia kembali ke rumah orang tuanya di Subang. Dia menghabiskan hari-harinya dengan berkebun. Saat itulah dia semakin belajar menerima diri apa adanya.
Semesta menyambut. Itang bertemu dengan Hendra dan mulai menjadi model. Eko Prasetyo, seorang manajer di SMI Models di Jakarta, tertarik pada karakter Itang. Kebetulan, Tyo –sapaan akrab Eko Prasetyo– beberapa kali terlibat dalam kerja sama dengan Hendra. ”Jujur saja, saya waktu itu belum memiliki model yang berbeda. Sebab, rata-rata model kami itu look-nya ya, bodinya proporsional, wajahnya ideal,” ungkapnya.
Namun, setelah melihat foto-foto Hendra, Tyo langsung bungah. Dia pun mengajak Itang bergabung dalam SMI Models. Itang mengiyakan. Perjalanan karier Itang sebagai model terus melaju. Hingga akhirnya, dia dipercaya membawakan koleksi Menswear Spring Summer 2022 dari Harry Halim. Desainer yang bermukim di Paris, Prancis, itu memilih beberapa model untuk memperagakan koleksi terbarunya. Itang pun harus beradaptasi dan mulai belajar berjalan di atas catwalk.
Menurut Tyo, Itang memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi. Dia tidak melihat Itang menganggap dirinya sendiri berbeda dengan model-model lain. Dan, berkat keyakinan dan rasa percaya diri itu, sepatu berhak 30 cm pun bisa dipakai Itang dengan baik. Padahal, itulah kali pertama Itang berjalan di atas catwalk. ”Kami sangat terkesan karena Itang bisa menaklukkan tantangan itu,” tutur Tyo.
Nani pun kaget saat mengetahui adiknya menjadi model. Dulu dia kaget-senang-terharu ketika kali pertama melihat wajah Itang muncul di majalah. Kemudian, dia kembali dibuat kaget-senang-terharu, kali ini campur bangga, saat melihat foto dan video Itang berjalan di atas catwalk. ”Saya senang, Itang semakin mandiri. Udah ganteng lah pokoknya,” ucapnya, lantas diimbuhi tawa lega.
Sebagai model pria dengan vitiligo, Itang merasa bangga. Dia pun kini aktif hadir dalam seminar-seminar kampanye tentang pematahan stigma kepada penyandang vitiligo. ”Vitiligo itu tidak menular dan kita tidak merugikan siapa pun hanya karena punya vitiligo,” jelas Itang yang juga ingin menjadi aktor.
Setelah penerimaan diri yang dilaluinya, Itang ingin agar penyandang vitiligo, bagaimanapun latar belakangnya, mampu bersahabat dengan warna belang-belang. Sebab, penampilan yang berbeda bukanlah kekurangan, melainkan bagian dari diri yang juga layak dicintai. (*/c14/ttg/JPG)

Baca Juga :  Terima Kasih Kepada Mantan Gubernur-dan Wagub

Itang Setiawan, Penyandang Vitiligo yang Turut Patahkan Konstruksi Fisik Seorang Model

Begitu wajah dan tangannya yang belang terekspos dalam pemotretan, hilang sudah ketidakpercayaan diri Itang Setiawan akibat vitiligo. Kepada mereka yang senasib dengannya, dia berpesan, bersahabatlah dengan warna belang-belang.

SHABRINA PARAMACITRA, Surabaya, Jawa Pos

SEBUAH pesan langsung yang masuk ke akun Instagram Itang Setiawan tahun lalu bak cahaya penunjuk jalan yang memancar dari lorong kegelapan. Seorang fotografer kawakan, Hendra Kusuma, memintanya menjadi model.
Itang yang kala itu baru keluar dari pekerjaannya di sebuah perusahaan ritel di Bandung kaget sekaligus senang, tetapi juga ragu menerima ajakan tersebut. Siapalah Itang ini, begitu pikirnya kala itu. Dia merasa bentuk tubuhnya tidak merepresentasikan gambaran-gambaran model yang biasa diketahuinya selama ini.
Kepada Jawa Pos akhir Juli lalu, dia bahkan menyebut dirinya seperti buaya putih. Atau mungkin kuda nil. ”Waktu itu aku juga ingin menolak. Masak iya sih, ’bentukan’ aku kan kayak begini,” ucapnya.
Namun, Hendra meyakinkan Itang. Katanya, Itang itu unik. Model pria yang memiliki vitiligo. Di mana lagi menemukan karakter unik seperti itu?
Itang akhirnya luluh. Rasa percaya dirinya makin terbangun. Kerja sama dengan Hendra berakhir dalam halaman rubrik Aksesori di majalah Dewi edisi November 2020. Wajah dan tangan Itang yang belang terekspos bersama perhiasan-perhiasan dan jam tangan mewah dalam rubrik tersebut. Dia pun ikut mematahkan konstruksi model sebagai sosok dengan fisik nyaris sempurna.
Ya, vitiligo telah banyak mengubah kehidupan Itang. Model yang bermukim di Subang, Jawa Barat, itu menjalani bab-bab kehidupan bak roller coaster bersama penyakit yang disebabkan autoimun tersebut. Kadang vitiligo membawanya menukik ke jurang kekecewaan. Berikutnya lagi, dia dipapah ke puncak kebanggaan atas perjalanan hidupnya.
Vitiligo mulai menyapa kehidupan Itang pada 2013. Tepatnya saat dia duduk di bangku kelas XII SMK Tunas Bangsa Ciater, Subang. Awalnya, vitiligo menjelma bintik-bintik kecil mirip jerawat pada wajah Itang. Lambat laun, bintik-bintik itu semakin melebar. Wajah Itang menjadi belang, cokelat, dan putih. Belang-belang itu lantas menyebar ke telinga, dada, dan tangan Itang. Helai-helai rambutnya pun ikut belang, hitam dan putih.
Rupanya, sel-sel melanosit pada tubuh Itang ”terbunuh” gara-gara autoimun. Pigmentasi pada sekujur tubuh Itang tidak merata. Belang-belang itu makin menggila saat Itang stres. ”Karena autoimun, kalau aku lagi merasa tertekan, biasanya belang-belang itu makin banyak,” kisahnya.
Lulus SMK, Itang hijrah ke Bandung. Dia bekerja pindah-pindah, mulai di restoran, butik roti, hingga yang terakhir di perusahaan ritel. Pekerjaannya pun berganti-ganti. Mulai cook helper, waiter, baker, sales promotion boy (SPB), hingga supervisor. Selama beberapa tahun menjalani pekerjaan-pekerjaan itu, ada saat-saat waktu Itang merasa sulit berkawan dengan si vitiligo.
Kakak sulungnya, Nani Sumarni, sempat menyarankan Itang menutupi belang-belang tersebut. Itang setuju. Dia menutupinya dengan pensil alis. ”Saya yang belikan make-up buat Itang kalau dia pulang ke Subang,” kata Nani.
Tentu saja dia sayang kepada Itang. Nani tidak tega melihat adiknya, bungsu di empat bersaudara tersebut, sedih karena penampilannya berbeda dengan orang-orang lain.
Lama-lama, vitiligo pada tubuh Itang semakin tertutupi. Bukan hanya oleh pensil alis, tetapi juga foundation dan bedak two-way cake. Sebab, salep, obat dokter, maupun obat-obat tradisional yang dikonsumsi Itang tidak membuahkan hasil.
Ketika bekerja di perusahaan ritel, Itang bahkan menghabiskan waktu satu jam untuk berdandan sebelum berangkat ke toko. Itang mengakui jarang menggunakan pelindung kulit (sunscreen). Dia merasa pekerjaannya yang menempatkannya di ruangan ber-AC cukup adaptif dengan kondisinya sebagai penyandang autoimun. Hanya, dia memang butuh menutupi si vitiligo agar orang tidak mengejeknya.
Hari demi hari, Itang makin dewasa dalam menghadapi penyakitnya. Keinginan untuk menunjukkan jati diri Itang perlahan tumbuh. Itang hanya mendandani wajahnya. Tangannya yang belang dibiarkan apa adanya. ”Itu bentuk kampanye kecil dari saya,” tutur pria 24 tahun tersebut.
Dia ingin lepas dari stigma yang menempel pada penderita vitiligo. Beruntung, teman-temannya di toko tidak menghinanya. Justru konsumen yang datang ke toko tempat Itang bekerja yang kadang memiliki pandangan buruk. ”Laki-laki kok dandan,” kenang Itang.
Kadang dia sedih jika melihat ada orang yang mencibir penampilannya. ”Padahal, orang tidak tahu, di balik topeng yang saya pakai itu, ada cerita apa,” ujarnya.
Awal 2020, Itang memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya lantaran ditipu konsumen. Dia kembali ke rumah orang tuanya di Subang. Dia menghabiskan hari-harinya dengan berkebun. Saat itulah dia semakin belajar menerima diri apa adanya.
Semesta menyambut. Itang bertemu dengan Hendra dan mulai menjadi model. Eko Prasetyo, seorang manajer di SMI Models di Jakarta, tertarik pada karakter Itang. Kebetulan, Tyo –sapaan akrab Eko Prasetyo– beberapa kali terlibat dalam kerja sama dengan Hendra. ”Jujur saja, saya waktu itu belum memiliki model yang berbeda. Sebab, rata-rata model kami itu look-nya ya, bodinya proporsional, wajahnya ideal,” ungkapnya.
Namun, setelah melihat foto-foto Hendra, Tyo langsung bungah. Dia pun mengajak Itang bergabung dalam SMI Models. Itang mengiyakan. Perjalanan karier Itang sebagai model terus melaju. Hingga akhirnya, dia dipercaya membawakan koleksi Menswear Spring Summer 2022 dari Harry Halim. Desainer yang bermukim di Paris, Prancis, itu memilih beberapa model untuk memperagakan koleksi terbarunya. Itang pun harus beradaptasi dan mulai belajar berjalan di atas catwalk.
Menurut Tyo, Itang memiliki rasa percaya diri yang cukup tinggi. Dia tidak melihat Itang menganggap dirinya sendiri berbeda dengan model-model lain. Dan, berkat keyakinan dan rasa percaya diri itu, sepatu berhak 30 cm pun bisa dipakai Itang dengan baik. Padahal, itulah kali pertama Itang berjalan di atas catwalk. ”Kami sangat terkesan karena Itang bisa menaklukkan tantangan itu,” tutur Tyo.
Nani pun kaget saat mengetahui adiknya menjadi model. Dulu dia kaget-senang-terharu ketika kali pertama melihat wajah Itang muncul di majalah. Kemudian, dia kembali dibuat kaget-senang-terharu, kali ini campur bangga, saat melihat foto dan video Itang berjalan di atas catwalk. ”Saya senang, Itang semakin mandiri. Udah ganteng lah pokoknya,” ucapnya, lantas diimbuhi tawa lega.
Sebagai model pria dengan vitiligo, Itang merasa bangga. Dia pun kini aktif hadir dalam seminar-seminar kampanye tentang pematahan stigma kepada penyandang vitiligo. ”Vitiligo itu tidak menular dan kita tidak merugikan siapa pun hanya karena punya vitiligo,” jelas Itang yang juga ingin menjadi aktor.
Setelah penerimaan diri yang dilaluinya, Itang ingin agar penyandang vitiligo, bagaimanapun latar belakangnya, mampu bersahabat dengan warna belang-belang. Sebab, penampilan yang berbeda bukanlah kekurangan, melainkan bagian dari diri yang juga layak dicintai. (*/c14/ttg/JPG)

Baca Juga :  Marak Kriminalitas di Wamena, Tuntut Aparat Jamin Keamanan Masyarakat

Berita Terbaru

Artikel Lainnya