Friday, April 26, 2024
29.7 C
Jayapura

Ada yang Menghilang, Ada Juga yang Muncul Saat Bama Didrop

ANTRE: Warga Kelurahan Hamadi  yang dinyatakan reaktif berjejer antre mengikuti tes SWAB yang dilaksanakan di Puskesmas Hamadi, Kamis (14/5) kemarin. Dengan status karantina, satu persatu yang dinyatakan reaktif dipanggil untuk kembali memeriksakan diri. (FOTO: Gamel/Cepos)

Upaya Pemkot Jayapura Melakukan Rapid Test Guna Memutus Mata Rantai Pandemi Covid-19 

Virus Covid-19  tak bisa berpindah jika bukan manusia yang memindahkan. Jika manusia berdiam disatu titik maka virus juga tak kemana. Begitu sebaliknya. Setelah berdiam, kini giliran Pemkot Jayapura melakukan rapid test ke semua titik. Kuncinya patuh dan tertib. 

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

PENANGANAN pandemi Covid-19 di Kota Jayapura terus digencarkan. Setiap hari ada saja lokasi yang dipakai untuk melakukan rapid test. Dengan jumlah atau stok yang masih terbilang cukup nampaknya Pemkot Jayapura ingin segera semua warganya melakukan tes ini. 

Tentunya semakin banyak yang terjaring atau ditemukan maka semakin mudah penanganannya ke depan. Namun akan menyulitkan bila dari niat  ini masih ada warga yang tidak mendukung. Tak mau dilakukan rapid dan merasa dirinya aman-mana saja. Ini kondisi ril di tengah masyarakat saat ini. Padahal niat pemerintah tentunya baik agar jangan sampai ada yang positif namun terap berkeliaran dan menularkan ke yang lain. 

 Jika dulu sebelum ada alat rapid, tak sedikit yang cemas, panik dan meminta segera dilakukan pengetesan. Namun setelah alat ini disiapkan ternyata masyarakat juga belum sepenuhnya sadar pentingnya memeriksakan diri. 

Satu alat rapid sendiri sejatinya tak murah. Dimana satu alat tes harganya bisa Rp 3 hingga 4 juta. Nah saat ini pemerintah melayani dengan semuanya gratis sehingga tak tepat bila menganggap semua baik – baik saja dan tidak memeriksakan diri. 

 “Kami menemukan ada beberapa persoalan di lapangan terkait antusias warga saat ini. Bagi yang pola pikirnya maju ia pasti memilih untuk memeriksakan diri tanpa harus menunggu parah. Namun ada yang juga yang menghindar,” kata Ketua Gugus Tugas Covid 19 Kota Jayapura, Ir. H. Rustas Saru, MM di Hamadi, Kamis (14/5). 

Rustan Saru menyebut ada tiga karakter warga merespon rapid tes. Ada yang mau menerima sembako tapi tidak mau mengikuti tes rapid. Kedua ada yang memang takut atau tidak berani dan ketiga ada akhirnya memilih menghilang. 

 Karakter aneh-aneh warga kota ini yang dianggap tidak mendukung kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan warganya. Karenanya Rustan Saru yang juga Wakil Wali Kota Jayapura ini meminta agar lurah maupun RT/RW untuk langsung ‘memegang’ warganya yang sengaja kabur atau menghindari tes. “Kami menemukan ada yang seperti itu. Ada yang izin kerja tapi tidak pulang dan disuruh tes tidak muncul, ini yang berbahaya,” katanya. 

Akhirnya ia merubah sedikit strategi dalam pembagian Sembako. Dimana yang sudah menerima bantuan maka ia diwajibkan untuk mengikuti tes rapid  dan yang belum maka ia wajib mengikuti tes lebih dulu barulah diberikan.  “Kemarin kami salah strategi. Saat ini kalau tidak mau dirapid ya jangan terima sembako,” tegasnya. 

Rustan Saru menyampaikan bahwa penyakit ini bukan aib sehingga tak perlu ditakuti. Yang perlu ditakuti adalah ketika positif namun tak mau memeriksakan diri dan ketika sudah parah baru dilakukan penanganan. 

Begitu juga bagi yang reaktif, Rustan Saru menyemangati bahwa tidak semua yang reaktif akan berakhir positif. Masa karantina di hotel tujuannya guna mengecek perkembangan kesehatan. Bila membaik dan setelah 14 hari diperiksa ternyata negatif maka langsung dipulangkan, ketimbang memilih diam karena merasa tubuh sehat ternyata berstatus orang tanpa gejala (OTG). Selama karantina menurutnya ada treatment yang diberikan. Mulai dari makanan bergizi hingga olahraga bersama – sama agar menjaga kebugaran tubuh. “Kami siapkan instruktur senamnya,” tambahnya. 

Baca Juga :  Sidang Putusan Kasus Mutilasi Digelar 6 Juni

 Ia merincikan dari beberapa hari melakukan rapid tes ternyata tak sedikit yang terjaring reaktif. Pada hari pertama pada Rabu (13/5) dilakukan rapid test ternyata dari 302 orang ada 73 yang reaktif. Hari kedua diperiksa 607 orang diperoleh 167 yang reaktif. Jadi dari dua hari pemeriksaan dengan total 909 orang yang dirapid ternyata ada 240 yang reaktif. 

Rustan Saru mengaku cukup kaget dengan angka ini, sebab hampir 26 persen. “Ini sangat mencengangkan. Jika tidak terjaring semua maka bayangkan berapa banyak yang  tumbang,” wantinya.

 Padahal kata, Rustan rapid test ini semuanya gratis dan warga cukup datang membawa KTP ke pos yang melakukan rapid test. Bisa juga diakomodir oleh RT/RW kemudian dilakukan pemeriksaan secara massal untuk mengetahui jumlah dan hasil dari satu kawasan. Nah dari  dua hari dilakukan ternyata hasilnya mencengangkan.  Karenanya tak heran jika pemerintah memberlakukan kebijakan karantina. Hanya namanya karantina tentunya semua berdiam di dalam, bukan keluar masuk sebab   jika masih ada yang keluar masuk itu bukan karantina namanya. 

 Tim Gugus Covid-19 Kota Jayapura hanya memperbolehkan yang wira wiri adalah petugas keamanan dan petugas kesehatan sedangkan untuk kantor atau perusahaan tidak diizinkan. “Kalau mau keluar berikan surat izin,” tegasnya. 

 Nah dari upaya penutupan dan rapid tes yang dilakukan ini harus diakui bahwa tak sedikit yang khawatir dengan hasil.  Ibu Deha misalnya, wanita 58 tahun ini mengaku kaget ketika menerima SMS yang meminta dirinya untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Hamadi. Pemeriksaan  lanjutan karena ia dinyatakan reaktif. Iapun datang  untuk mengikuti tes swab atau pemeriksaan dengan cara pengambilan sampel lendir di kerongkongan maupun rongga hidung.

 Sampel ini akan diperiksa menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk kemudian memastikan apakah benar-benar positif atau tidak. Nah untuk mendapatkan hasil swab sendiri dibutuhkan waktu 2 x 24 jam atau dua hari. Ini tentunya berbeda dengan  rapid test yang hanya membutuhkan 10-15 menit untuk mendapatkan hasil awal.  Akan tetapi meski terbilang cepat untuk mengetahui hasil awal namun kekurangan dari rapid test adalah tak bisa mendiagnosis Covid-19. Karenanya warga yang  dinyatakan reaktif diminta untuk melanjutkan pemeriksaan lewat metode swab tadi.  Tes ini dipastikan jauh lebih akurat.“Saya kaget saja kenapa kok ikut dipanggil tapi tidak apa – apa sekalian dites saja semoga negatif,” kata Deha kepada Cenderawasih Pos. Wanita yang berdagang di lantai II Pasar Sentral Hamadi ini  menjelaskan bahwa selama bekerja ia tak pernah melakukan kontak dengan orang yang dinyatakan positif. Meski demikian ia berfikir bisa saja ia tertular dari warga yang datang berbelanja. “Kalau untuk pikiran saya tidak mau terlalu pikir yang berat – berat, saya selalu enjoy biar tidak mengganggu imun tapi ternyata reaktif juga,” akun dengan sedikit bergaya gaul.

Baca Juga :  Giliran SD Negeri Dekai jadi Sasaran OTK

 Hal senada disampaikan Dian, wanita berkulit terang ini mengaku jarang berinteraksi di luar. “Itu dia, bingung juga kok reaktif sementara suami saya tidak,” singkatnya. 

Namun wanita berparas cantik ini  tak keberatan jika akhirnya harus dikarantina. “Ya ketimbang nanti tambah parah,” sambungnya. 

 Namun berbeda dengan wanita bernama Basira yang juga reaktif. Kata sang suami, istrinya ini sering melakukan kontak dengan ayahnya (mertua) yang lebih dulu dinyatakan reaktif. Namun ia berharap dirinya dan anak-anaknya tidak tertular. “Memang istri saya tinggal serumah tapi kadang dia main ke rumah ayahnya yang lebih dulu masuk ke hotel. Tapi saya sendiri periksa ternyata negarif,” aku  pria tersebut. 

 Hanya  di tengah upaya gencar gencarnya dilakukan rapid test ternyata persoalan lain di lapangan mulai bermuculan yaitu terkait sembako. Rustan Saru mengaku kebingungan karena banyak data yang tidak cocok. 

Dikatakan, data yang diperoleh  untuk Hamadi awalnya sekira 2.000 paket sembako untuk 6 titik. Namun kemudian bertambah menjadi 2.323 dan hari ini bertambah lagi menjadi 708. “Setelah kami cek ternyata ada RT yang tertutup dan belum dihitung yaitu di belakang Pasar Hamadi dan belakang kantor kelurahan. Ada juga warga yang saat pencatatan ternyata belum terhitung sehingga total yang kami catat kami butuh 2.384 paket  dan kami sudah terima 1.706 dan masih kurang 708 paket dan kami harap pemerintah provinsi bisa membantu,” tambah Rustan Saru.

 Dalam pendistribusiannya ia meminta warga  tetap tahu aturan. Tidak berkumpul.  Rustan meminta pembagiannya dilakukan dari rumah – rumah dan bukan berkumpul. “Sembako diberikan dari rumah ke rumah sehingga tak menibulkan kerumunan warga,”  tegasnya. 

Rustan  menyinggung bahwa angka reaktif setiap hari terus ditemukan dan terus bertambah, ini karena warga kita tidak  mau diatur, harus berkumpul dan ngobrol sama –sama. Karena inilah bayak yang tertular.  “Kenapa banyak yang tertular? itu karena tak mau diatur, 26 persen itu banyak sekali dan saat ini hotel sudah tidak cukup,” imbuhnya. 

Khusus untuk  Hamadi, Pemkot menyiapkan alat rapid test sebanyak 7.500 untuk beberapa titik dan ia meminta semua belajar tertib. Jika merasa belum melakukan rapid test sebisa mungkin segera melakukan agar bila ketahuan langsung dilakukan penanganan. 

Sementara terkait alat rapid test yang terkadang diketahui akurasinya lemah bahkan ada beberapa produk yang disebut tidak masuk rekomendasi untuk dipakai hingga kini belum mendapat pernyataan resmi dari dinas kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura, dr Ni Nyoman Sri Antari yang terhubung via WhatsApp ternyata tak merespon pertanyaan Cenderawasih Pos. 

 Namun menurut Rustan Saru rapid tes memang masih perkiraan awal. Ada gejala namun belum positif karenanya direkomendasikan untuk diteruskan pemeriksaan menggunakan swab. “Kalau swab sudah bisa dipastikan hasilnya sedangkan rapid memang hanya gejala. Jadi kalau dibilang reaktif kemudian dites swab ternyata tidak terjangkit ya karena itu hanya pemeriksaan awalnya saja,” imbuhnya. (*) 

ANTRE: Warga Kelurahan Hamadi  yang dinyatakan reaktif berjejer antre mengikuti tes SWAB yang dilaksanakan di Puskesmas Hamadi, Kamis (14/5) kemarin. Dengan status karantina, satu persatu yang dinyatakan reaktif dipanggil untuk kembali memeriksakan diri. (FOTO: Gamel/Cepos)

Upaya Pemkot Jayapura Melakukan Rapid Test Guna Memutus Mata Rantai Pandemi Covid-19 

Virus Covid-19  tak bisa berpindah jika bukan manusia yang memindahkan. Jika manusia berdiam disatu titik maka virus juga tak kemana. Begitu sebaliknya. Setelah berdiam, kini giliran Pemkot Jayapura melakukan rapid test ke semua titik. Kuncinya patuh dan tertib. 

Laporan : Abdel Gamel Naser – Jayapura 

PENANGANAN pandemi Covid-19 di Kota Jayapura terus digencarkan. Setiap hari ada saja lokasi yang dipakai untuk melakukan rapid test. Dengan jumlah atau stok yang masih terbilang cukup nampaknya Pemkot Jayapura ingin segera semua warganya melakukan tes ini. 

Tentunya semakin banyak yang terjaring atau ditemukan maka semakin mudah penanganannya ke depan. Namun akan menyulitkan bila dari niat  ini masih ada warga yang tidak mendukung. Tak mau dilakukan rapid dan merasa dirinya aman-mana saja. Ini kondisi ril di tengah masyarakat saat ini. Padahal niat pemerintah tentunya baik agar jangan sampai ada yang positif namun terap berkeliaran dan menularkan ke yang lain. 

 Jika dulu sebelum ada alat rapid, tak sedikit yang cemas, panik dan meminta segera dilakukan pengetesan. Namun setelah alat ini disiapkan ternyata masyarakat juga belum sepenuhnya sadar pentingnya memeriksakan diri. 

Satu alat rapid sendiri sejatinya tak murah. Dimana satu alat tes harganya bisa Rp 3 hingga 4 juta. Nah saat ini pemerintah melayani dengan semuanya gratis sehingga tak tepat bila menganggap semua baik – baik saja dan tidak memeriksakan diri. 

 “Kami menemukan ada beberapa persoalan di lapangan terkait antusias warga saat ini. Bagi yang pola pikirnya maju ia pasti memilih untuk memeriksakan diri tanpa harus menunggu parah. Namun ada yang juga yang menghindar,” kata Ketua Gugus Tugas Covid 19 Kota Jayapura, Ir. H. Rustas Saru, MM di Hamadi, Kamis (14/5). 

Rustan Saru menyebut ada tiga karakter warga merespon rapid tes. Ada yang mau menerima sembako tapi tidak mau mengikuti tes rapid. Kedua ada yang memang takut atau tidak berani dan ketiga ada akhirnya memilih menghilang. 

 Karakter aneh-aneh warga kota ini yang dianggap tidak mendukung kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan warganya. Karenanya Rustan Saru yang juga Wakil Wali Kota Jayapura ini meminta agar lurah maupun RT/RW untuk langsung ‘memegang’ warganya yang sengaja kabur atau menghindari tes. “Kami menemukan ada yang seperti itu. Ada yang izin kerja tapi tidak pulang dan disuruh tes tidak muncul, ini yang berbahaya,” katanya. 

Akhirnya ia merubah sedikit strategi dalam pembagian Sembako. Dimana yang sudah menerima bantuan maka ia diwajibkan untuk mengikuti tes rapid  dan yang belum maka ia wajib mengikuti tes lebih dulu barulah diberikan.  “Kemarin kami salah strategi. Saat ini kalau tidak mau dirapid ya jangan terima sembako,” tegasnya. 

Rustan Saru menyampaikan bahwa penyakit ini bukan aib sehingga tak perlu ditakuti. Yang perlu ditakuti adalah ketika positif namun tak mau memeriksakan diri dan ketika sudah parah baru dilakukan penanganan. 

Begitu juga bagi yang reaktif, Rustan Saru menyemangati bahwa tidak semua yang reaktif akan berakhir positif. Masa karantina di hotel tujuannya guna mengecek perkembangan kesehatan. Bila membaik dan setelah 14 hari diperiksa ternyata negatif maka langsung dipulangkan, ketimbang memilih diam karena merasa tubuh sehat ternyata berstatus orang tanpa gejala (OTG). Selama karantina menurutnya ada treatment yang diberikan. Mulai dari makanan bergizi hingga olahraga bersama – sama agar menjaga kebugaran tubuh. “Kami siapkan instruktur senamnya,” tambahnya. 

Baca Juga :  Argentina Juara Piala Dunia

 Ia merincikan dari beberapa hari melakukan rapid tes ternyata tak sedikit yang terjaring reaktif. Pada hari pertama pada Rabu (13/5) dilakukan rapid test ternyata dari 302 orang ada 73 yang reaktif. Hari kedua diperiksa 607 orang diperoleh 167 yang reaktif. Jadi dari dua hari pemeriksaan dengan total 909 orang yang dirapid ternyata ada 240 yang reaktif. 

Rustan Saru mengaku cukup kaget dengan angka ini, sebab hampir 26 persen. “Ini sangat mencengangkan. Jika tidak terjaring semua maka bayangkan berapa banyak yang  tumbang,” wantinya.

 Padahal kata, Rustan rapid test ini semuanya gratis dan warga cukup datang membawa KTP ke pos yang melakukan rapid test. Bisa juga diakomodir oleh RT/RW kemudian dilakukan pemeriksaan secara massal untuk mengetahui jumlah dan hasil dari satu kawasan. Nah dari  dua hari dilakukan ternyata hasilnya mencengangkan.  Karenanya tak heran jika pemerintah memberlakukan kebijakan karantina. Hanya namanya karantina tentunya semua berdiam di dalam, bukan keluar masuk sebab   jika masih ada yang keluar masuk itu bukan karantina namanya. 

 Tim Gugus Covid-19 Kota Jayapura hanya memperbolehkan yang wira wiri adalah petugas keamanan dan petugas kesehatan sedangkan untuk kantor atau perusahaan tidak diizinkan. “Kalau mau keluar berikan surat izin,” tegasnya. 

 Nah dari upaya penutupan dan rapid tes yang dilakukan ini harus diakui bahwa tak sedikit yang khawatir dengan hasil.  Ibu Deha misalnya, wanita 58 tahun ini mengaku kaget ketika menerima SMS yang meminta dirinya untuk memeriksakan diri ke Puskesmas Hamadi. Pemeriksaan  lanjutan karena ia dinyatakan reaktif. Iapun datang  untuk mengikuti tes swab atau pemeriksaan dengan cara pengambilan sampel lendir di kerongkongan maupun rongga hidung.

 Sampel ini akan diperiksa menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk kemudian memastikan apakah benar-benar positif atau tidak. Nah untuk mendapatkan hasil swab sendiri dibutuhkan waktu 2 x 24 jam atau dua hari. Ini tentunya berbeda dengan  rapid test yang hanya membutuhkan 10-15 menit untuk mendapatkan hasil awal.  Akan tetapi meski terbilang cepat untuk mengetahui hasil awal namun kekurangan dari rapid test adalah tak bisa mendiagnosis Covid-19. Karenanya warga yang  dinyatakan reaktif diminta untuk melanjutkan pemeriksaan lewat metode swab tadi.  Tes ini dipastikan jauh lebih akurat.“Saya kaget saja kenapa kok ikut dipanggil tapi tidak apa – apa sekalian dites saja semoga negatif,” kata Deha kepada Cenderawasih Pos. Wanita yang berdagang di lantai II Pasar Sentral Hamadi ini  menjelaskan bahwa selama bekerja ia tak pernah melakukan kontak dengan orang yang dinyatakan positif. Meski demikian ia berfikir bisa saja ia tertular dari warga yang datang berbelanja. “Kalau untuk pikiran saya tidak mau terlalu pikir yang berat – berat, saya selalu enjoy biar tidak mengganggu imun tapi ternyata reaktif juga,” akun dengan sedikit bergaya gaul.

Baca Juga :  Tonotwiyat Not For Sale

 Hal senada disampaikan Dian, wanita berkulit terang ini mengaku jarang berinteraksi di luar. “Itu dia, bingung juga kok reaktif sementara suami saya tidak,” singkatnya. 

Namun wanita berparas cantik ini  tak keberatan jika akhirnya harus dikarantina. “Ya ketimbang nanti tambah parah,” sambungnya. 

 Namun berbeda dengan wanita bernama Basira yang juga reaktif. Kata sang suami, istrinya ini sering melakukan kontak dengan ayahnya (mertua) yang lebih dulu dinyatakan reaktif. Namun ia berharap dirinya dan anak-anaknya tidak tertular. “Memang istri saya tinggal serumah tapi kadang dia main ke rumah ayahnya yang lebih dulu masuk ke hotel. Tapi saya sendiri periksa ternyata negarif,” aku  pria tersebut. 

 Hanya  di tengah upaya gencar gencarnya dilakukan rapid test ternyata persoalan lain di lapangan mulai bermuculan yaitu terkait sembako. Rustan Saru mengaku kebingungan karena banyak data yang tidak cocok. 

Dikatakan, data yang diperoleh  untuk Hamadi awalnya sekira 2.000 paket sembako untuk 6 titik. Namun kemudian bertambah menjadi 2.323 dan hari ini bertambah lagi menjadi 708. “Setelah kami cek ternyata ada RT yang tertutup dan belum dihitung yaitu di belakang Pasar Hamadi dan belakang kantor kelurahan. Ada juga warga yang saat pencatatan ternyata belum terhitung sehingga total yang kami catat kami butuh 2.384 paket  dan kami sudah terima 1.706 dan masih kurang 708 paket dan kami harap pemerintah provinsi bisa membantu,” tambah Rustan Saru.

 Dalam pendistribusiannya ia meminta warga  tetap tahu aturan. Tidak berkumpul.  Rustan meminta pembagiannya dilakukan dari rumah – rumah dan bukan berkumpul. “Sembako diberikan dari rumah ke rumah sehingga tak menibulkan kerumunan warga,”  tegasnya. 

Rustan  menyinggung bahwa angka reaktif setiap hari terus ditemukan dan terus bertambah, ini karena warga kita tidak  mau diatur, harus berkumpul dan ngobrol sama –sama. Karena inilah bayak yang tertular.  “Kenapa banyak yang tertular? itu karena tak mau diatur, 26 persen itu banyak sekali dan saat ini hotel sudah tidak cukup,” imbuhnya. 

Khusus untuk  Hamadi, Pemkot menyiapkan alat rapid test sebanyak 7.500 untuk beberapa titik dan ia meminta semua belajar tertib. Jika merasa belum melakukan rapid test sebisa mungkin segera melakukan agar bila ketahuan langsung dilakukan penanganan. 

Sementara terkait alat rapid test yang terkadang diketahui akurasinya lemah bahkan ada beberapa produk yang disebut tidak masuk rekomendasi untuk dipakai hingga kini belum mendapat pernyataan resmi dari dinas kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kota Jayapura, dr Ni Nyoman Sri Antari yang terhubung via WhatsApp ternyata tak merespon pertanyaan Cenderawasih Pos. 

 Namun menurut Rustan Saru rapid tes memang masih perkiraan awal. Ada gejala namun belum positif karenanya direkomendasikan untuk diteruskan pemeriksaan menggunakan swab. “Kalau swab sudah bisa dipastikan hasilnya sedangkan rapid memang hanya gejala. Jadi kalau dibilang reaktif kemudian dites swab ternyata tidak terjangkit ya karena itu hanya pemeriksaan awalnya saja,” imbuhnya. (*) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya