JAYAPURA- Rencana kedatangan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua patut diwaspadai. Pasalnya rencana kedatangan pihak HAM PBB ini dianggap berpeluang menciptakan instabilitasi daerah.
Pasalnya moment inilah yang ditunggu – tunggu oleh kelompok – kelompok yang selama ini berseberangan dengan NKRI untuk menyampaikan ‘pesan khusus’. Karenanya bisa saja kedatangan ini dimanfaatkan untuk mencari perhatian agar tim HAM PBB terus menelusuri dan mencari tahu tentang persoalan di Papua selama ini.
“Saya menduga kedatangan komisioner HAM PBB di Papua hanya akan menjadi trigger yang memicu pertumpahan darah sesama anak bangsa. Perang terbuka dengan aparat keamanan di Papua bisa saja sedang diskenariokan terjadi di Kota Jayapura dan Wamena. Atau ekstrimnya kekerasan berdarah tengah direncanakan terjadi di depan mata para komisioner HAM PBB,” ujar Marinus Yaung, salah satu akademisi Uncen yang selama ini mengamati persoalan hubungan internasional dalam pesannya, Senin (14/2).
Belum diketahui kapan perwakilan HAM PBB akan ke Papua namun diperkirakan tidak lama lagi mereka akan berkunjung ke Papua. Kata Yaung pemerintah pusat perlu mewaspadai agenda ini mengingat sangat memungkinkan ada pesan lain yang akan disampaikan kepada perwakilan HAM PBB.
Dikatakan, dalam mekanisme klarifikasi dugaaan pelanggaran HAM di KT HAM PPB ada dua bentuk cara yang bisa dilakukan. Pertama melalui klarifikasi administrasi di kantor PBB di Geneva, Swiss dan kedua melalui klarifikasi faktual ke lapangan langsung.
Yaung bahkan membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD yang mengingatkan bahwa Papua berpeluang lepas dari Indonesia jika KT HAM PBB datang ke Papua.
Ia mencatat bahwa kelompok – kelompok masyarakat sipil Papua pro kemerdekaan sedang menyiapkan skenario untuk memanfaatkan momentum kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua.
United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yang merupakan sebuah entitas politik yang diakui sah di forum Melanesian Spearhead Group (MSG) tahun 2015 dan menjadi lokomotif skenario tersebut. Meskipun bukan suatu negara, status keanggotaanya masih observer.
Sejak tahun 2015, ULMWP tetap setia dengan agenda politiknya memerdekakan Papua. Dan salah satu advisor international ULMWP yang pernah ia temui menyarankan kepada Benny Wenda untuk membentuk suatu pemerintahan transisi dan Benny Wenda harus menetapkan dirinya sendiri sebagai Presiden.
Nasehat advisor tersebut, karena merupakan salah satu prasyarat utama menjadi anggota penuh (full members) Benny Wenda telah mendeklarasikan diri sebagai Presiden. Negara versi ULMWP telah diumumkan berdiri oleh Benny Wenda awal Januari 2022 dan targetnya tahun ini adalah ULMWP menjadi anggota penuh MSG.
Agenda politik ULMWP versi Benny Wenda kata Yaung berbeda agenda Komisi HAM PBB yang ingin memastikan setiap negara anggota memenuhi kewajibannya menjamin dan melindungi HAM pada setiap penduduknya. Ketika ada laporan tahunan yang masuk dari setiap negara di dunia tentang dugaan adanya tindak pidana terhadap kemanusian, kejahatan perang, genosida, dan agresi military, yang terjadi kepada rakyatnya dan negara lalai atau tidak berdaya mencegahnya, maka Komisi Tinggi HAM PBB akan memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB untuk menggerakan kekuatan militer untuk melakukan intervensi kemanusian.
“Tapi sebelum rekomendasi Komisi Tinggi HAM PBB dikeluarkan, komisi akan meminta klarikasi administrasi dan faktual terhadap negara yang bersangkutan. Ada banyak negara yang komisi pada tahun 2022 ini sedang meminta klarifikasi dan informasi tentang laporan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian, termasuk meminta klarifikasi negara Indonesia dalam kasus Papua,” imbuhnya.
Komisi Tinggi HAM PBB setiap tahun juga telah menerima informasi dan klarifikasi administrasi dari dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusian oleh aparat keamanan terhadap warga Papua. Namun komisi HAM PBB belum bisa secara langsung melakukan klarifikasi faktual di Papua karena surat yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia, belum mendapat respon (izin).
Bahkan hingga kini Komisi HAM PBB menurut Yaung masih menunggu undangan resmi dari Pemerintahan Indonesia untuk masuk ke Papua. “Komisi Tinggi HAM PBB urusannya cuma satu memastikan negara Indonesia memenuhi kewajibannya melindungi dan memajukan HAM orang Papua. Komisi Tinggi HAM PBB tidak miliki agenda politik dan tidak mendukung agenda politik ULMWP atau OPM yang ingin Papua merdeka lepas dari NKRI. Namun data – data dan informasi dari kelompok – kelompok separatis Papua tentang pelanggaran HAM Papua, sampai juga ke meja Komisi di Geneva, Swiss,” bebernya.
Selain itu, isu tentang kedatangan Komisi Tinggi HAM PBB sudah berembus kencang di Papua sehingga dibuatlah panitia penyambutan Komisi Tinggi HAM PBB oleh ULMWP dan para pendukungnya di Papua.
Yaung mencatat bahwa tindakan ULMWP merupakan bentuk propaganda dan provokasi terhadap keamanan negara. Momentum kedatangan komisioner HAM PBB di Papua ini menurutnya akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menarik simpati dan dukungan international terhadap kemerdekaan Papua. Bahkan Yaung memprediksi beberapa orang Papua sudah siap ditembak mati di depan para komisioner HAM PBB. “Mereka yang siap ditembak sudah berkesimpulan daripada di tembak mati di hutan – hutan Ndugama, Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya, lebih bernilai dalam perjuangan Papua merdeka jika kami ditembak mati aparat keamanan kolonial TNI-Polri di depan mata komisioner HAM PBB,” tulis Yaung.
Iapun mewanti bahwa Papua dalam ancaman lepas dari Indonesia jika pemerintahan Presiden Jokowi keliru membaca modus tekananan komunitas international terhadap Indonesia untuk membuka akses kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB.
“Saran konkritnya kepada Presiden Jokowi, Ibu Retno Marsudi Menteri Luar Negeri dan Prof. Mahmud MD Menkopolhukam, selesaikan dengan tuntas dan penuh keadilan kasus Paniai Berdarah 2014 dan tutup pintu akses terhadap Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua. Terlalu berisiko jika KT HAM PBB masuk ke Papua,” imbuhnya.
Selain itu rekomendasi lainnya adalah pemerintah perlu segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Paniai atau Paniai Berdarah. “Paniai Berdarah karena baru kasus itu yang berkasnya lengkap di Kejaksaan Agung makanya bisa menjadi entry point untuk kasus – kasus pelanggaran HAM lainnya. Saya melihat Jakarta tidak mau selesaikan kasus HAM berat Papua kalau ujungnya timbulkan ketidakstabilatan politik dan keamanan di Papua. Pada giliranya bisa berakhir pada terancamnya kedaultan negara di Papua. Jadi sebaiknya pemerintah segera mendorong penuntasan kasus Paniai berdarah,” tutupnya. (fia/ade/nat)
Pemerintah Pusat Perlu Mewaspadai Agenda ini
JAYAPURA- Rencana kedatangan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua patut diwaspadai. Pasalnya rencana kedatangan pihak HAM PBB ini dianggap berpeluang menciptakan instabilitasi daerah.
Pasalnya moment inilah yang ditunggu – tunggu oleh kelompok – kelompok yang selama ini berseberangan dengan NKRI untuk menyampaikan ‘pesan khusus’. Karenanya bisa saja kedatangan ini dimanfaatkan untuk mencari perhatian agar tim HAM PBB terus menelusuri dan mencari tahu tentang persoalan di Papua selama ini.
“Saya menduga kedatangan komisioner HAM PBB di Papua hanya akan menjadi trigger yang memicu pertumpahan darah sesama anak bangsa. Perang terbuka dengan aparat keamanan di Papua bisa saja sedang diskenariokan terjadi di Kota Jayapura dan Wamena. Atau ekstrimnya kekerasan berdarah tengah direncanakan terjadi di depan mata para komisioner HAM PBB,” ujar Marinus Yaung, salah satu akademisi Uncen yang selama ini mengamati persoalan hubungan internasional dalam pesannya, Senin (14/2).
Belum diketahui kapan perwakilan HAM PBB akan ke Papua namun diperkirakan tidak lama lagi mereka akan berkunjung ke Papua. Kata Yaung pemerintah pusat perlu mewaspadai agenda ini mengingat sangat memungkinkan ada pesan lain yang akan disampaikan kepada perwakilan HAM PBB.
Dikatakan, dalam mekanisme klarifikasi dugaaan pelanggaran HAM di KT HAM PPB ada dua bentuk cara yang bisa dilakukan. Pertama melalui klarifikasi administrasi di kantor PBB di Geneva, Swiss dan kedua melalui klarifikasi faktual ke lapangan langsung.
Yaung bahkan membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan Menkopolhukam, Prof. Mahfud MD yang mengingatkan bahwa Papua berpeluang lepas dari Indonesia jika KT HAM PBB datang ke Papua.
Ia mencatat bahwa kelompok – kelompok masyarakat sipil Papua pro kemerdekaan sedang menyiapkan skenario untuk memanfaatkan momentum kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua.
United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) yang merupakan sebuah entitas politik yang diakui sah di forum Melanesian Spearhead Group (MSG) tahun 2015 dan menjadi lokomotif skenario tersebut. Meskipun bukan suatu negara, status keanggotaanya masih observer.
Sejak tahun 2015, ULMWP tetap setia dengan agenda politiknya memerdekakan Papua. Dan salah satu advisor international ULMWP yang pernah ia temui menyarankan kepada Benny Wenda untuk membentuk suatu pemerintahan transisi dan Benny Wenda harus menetapkan dirinya sendiri sebagai Presiden.
Nasehat advisor tersebut, karena merupakan salah satu prasyarat utama menjadi anggota penuh (full members) Benny Wenda telah mendeklarasikan diri sebagai Presiden. Negara versi ULMWP telah diumumkan berdiri oleh Benny Wenda awal Januari 2022 dan targetnya tahun ini adalah ULMWP menjadi anggota penuh MSG.
Agenda politik ULMWP versi Benny Wenda kata Yaung berbeda agenda Komisi HAM PBB yang ingin memastikan setiap negara anggota memenuhi kewajibannya menjamin dan melindungi HAM pada setiap penduduknya. Ketika ada laporan tahunan yang masuk dari setiap negara di dunia tentang dugaan adanya tindak pidana terhadap kemanusian, kejahatan perang, genosida, dan agresi military, yang terjadi kepada rakyatnya dan negara lalai atau tidak berdaya mencegahnya, maka Komisi Tinggi HAM PBB akan memberikan rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB untuk menggerakan kekuatan militer untuk melakukan intervensi kemanusian.
“Tapi sebelum rekomendasi Komisi Tinggi HAM PBB dikeluarkan, komisi akan meminta klarikasi administrasi dan faktual terhadap negara yang bersangkutan. Ada banyak negara yang komisi pada tahun 2022 ini sedang meminta klarifikasi dan informasi tentang laporan dugaan tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian, termasuk meminta klarifikasi negara Indonesia dalam kasus Papua,” imbuhnya.
Komisi Tinggi HAM PBB setiap tahun juga telah menerima informasi dan klarifikasi administrasi dari dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusian oleh aparat keamanan terhadap warga Papua. Namun komisi HAM PBB belum bisa secara langsung melakukan klarifikasi faktual di Papua karena surat yang disampaikan kepada Pemerintah Indonesia, belum mendapat respon (izin).
Bahkan hingga kini Komisi HAM PBB menurut Yaung masih menunggu undangan resmi dari Pemerintahan Indonesia untuk masuk ke Papua. “Komisi Tinggi HAM PBB urusannya cuma satu memastikan negara Indonesia memenuhi kewajibannya melindungi dan memajukan HAM orang Papua. Komisi Tinggi HAM PBB tidak miliki agenda politik dan tidak mendukung agenda politik ULMWP atau OPM yang ingin Papua merdeka lepas dari NKRI. Namun data – data dan informasi dari kelompok – kelompok separatis Papua tentang pelanggaran HAM Papua, sampai juga ke meja Komisi di Geneva, Swiss,” bebernya.
Selain itu, isu tentang kedatangan Komisi Tinggi HAM PBB sudah berembus kencang di Papua sehingga dibuatlah panitia penyambutan Komisi Tinggi HAM PBB oleh ULMWP dan para pendukungnya di Papua.
Yaung mencatat bahwa tindakan ULMWP merupakan bentuk propaganda dan provokasi terhadap keamanan negara. Momentum kedatangan komisioner HAM PBB di Papua ini menurutnya akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menarik simpati dan dukungan international terhadap kemerdekaan Papua. Bahkan Yaung memprediksi beberapa orang Papua sudah siap ditembak mati di depan para komisioner HAM PBB. “Mereka yang siap ditembak sudah berkesimpulan daripada di tembak mati di hutan – hutan Ndugama, Intan Jaya, Puncak dan Puncak Jaya, lebih bernilai dalam perjuangan Papua merdeka jika kami ditembak mati aparat keamanan kolonial TNI-Polri di depan mata komisioner HAM PBB,” tulis Yaung.
Iapun mewanti bahwa Papua dalam ancaman lepas dari Indonesia jika pemerintahan Presiden Jokowi keliru membaca modus tekananan komunitas international terhadap Indonesia untuk membuka akses kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB.
“Saran konkritnya kepada Presiden Jokowi, Ibu Retno Marsudi Menteri Luar Negeri dan Prof. Mahmud MD Menkopolhukam, selesaikan dengan tuntas dan penuh keadilan kasus Paniai Berdarah 2014 dan tutup pintu akses terhadap Komisi Tinggi HAM PBB ke Papua. Terlalu berisiko jika KT HAM PBB masuk ke Papua,” imbuhnya.
Selain itu rekomendasi lainnya adalah pemerintah perlu segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Paniai atau Paniai Berdarah. “Paniai Berdarah karena baru kasus itu yang berkasnya lengkap di Kejaksaan Agung makanya bisa menjadi entry point untuk kasus – kasus pelanggaran HAM lainnya. Saya melihat Jakarta tidak mau selesaikan kasus HAM berat Papua kalau ujungnya timbulkan ketidakstabilatan politik dan keamanan di Papua. Pada giliranya bisa berakhir pada terancamnya kedaultan negara di Papua. Jadi sebaiknya pemerintah segera mendorong penuntasan kasus Paniai berdarah,” tutupnya. (fia/ade/nat)