Friday, April 26, 2024
27.7 C
Jayapura

Jam Sekolah Diperpendek, Sepekan Masuk Dua Hari

*Upaya Sekolah yang Kembali Jalankan KBM Tatap Muka

JAKARTA, Jawa Pos-Di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung reda, sejumlah sekolah menutuskan menjalankan pembelajaran tatap muka. Ini dilakukan bertepatan dengan dimulainya tahun pelajaran baru 2020-2021 yang dimulai hari ini (13/7).

Diantara sekolah yang mulai menjalankan pembelajaran tatap muka adalah Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (MIS) VII Podosugih, Kota Pekalongan. Madrasah setingkat SD ini berada di Kelurahan Podosugih, Kecamatan Pekalongan Barat. Dengan jumlah siswa sekitar 180 anak.

Orang tua membeli Peralatan Sekolah anak di Pasar Asemka, Jakarta, Minggu (12/7/2020). memasuki tahun ajaran baru 2020/2021, Masyarakat melakukan pembelian Peralatan sekolah walaupun masih menjalani kegiatan belajar mengajar dari rumah. FOTO : FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS

Guru Kelas IV MIS VII Podosugih Arif Mudilin mengatakan hari ini (13/7) sekolah memanggil seluruh orang tua murid untuk sosialisasi. ’’Pukul 07.00 sampai pukul 08.00 wali murid siswa kelas satu. Dan seterusnya,’’ katanya saat diwawancara kemarin (12/7).

Sementara itu kegiatan belajar siswa di sekolah mulai dijalankan Selasa (14/7) besok. Skenario yang diterapkan sekolah adalah, setiap kelas hanya masuk dua hari dalam sepekan. Skemanya adalah hari Senin dan Kamis untuk siswa kelas I masuk dan kelas VI.

Kemudian hari Selasa dan Sabtu untuk siswa kelas II dan siswa kelas V. Lalu hari Rabu dan Minggu untuk siswa kelas III berpasangan dengan siswa kelas IV juga di hari yang sama. Dengan pengaturan itu, satu rombongan belajar (rombel) tidak perlu dipecah menjadi beberapa sift atau gelombang belajar. Seluruhnya belajar dalam waktu yang sama.

Untuk mengurangi kepadatan siswa di kelas, sekolah memutuskan dipisah menjadi dua rombel. Misalnya kelas I dipecah menjadi kelas Ia dan Ib. Meskipun satu kelas dipisah menjadi dua rombel, keduanya masih di hari dan jam yang sama.

’’Selain itu jam belajar di sekolah juga diperpendek,’’ katanya. Sekolah dimulai pukul 07.00 WIB dan ditutup jam 10.00 WIB. Dengan pengaturan jam belajar itu, maka tidak ada jam istirahat. Sehingga siswa tidak harus jajan di kantin sekolah. Selama masa pandemi ini, siswa sangat dianjurkan untuk diantar dan dijemput orang tua masing-masing. Selama bersekolah siswa wajib pakai masker dan kuru menggunakan face shield. 

Arif mengatakan bersama asosiasi guru swasta sempat menghadap ke jajaran pemerintah kota dan gugus tugas setempat. Dalam pertemuan itu mereka menyampaikan keinginan untuk menjalankan pembelajaran tatap muka. Hasilnya gugus tugas mempersilahkan namun tidak mengeluarkan surat rekomendasi atau sejenisnya.

 Dia menuturkan sekolah memutuskan menyelenggarakan KBM tatap muka karena menilai pembelajaran online tidak efektif. Diantaranya tidak semua siswa memiliki ponsel pintar, laptop, atau jaringan internet. Kemudian setiap ada tugas, tidak bisa dipastikan itu murni dikerjakan oleh siswa atau orangtuanya. Dia menegaskan KBM tatap muka di sekolahannya itu statusnya uji coba. Akan dievaluasi sambil berjalan.

Baca Juga :  Kapolda : Saya Bernostalgia Seperti 15 Tahun Silam

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar mengatakan sudah ada surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang pembelajaran di kelas. Pembelajaran di kelas dapat dilakukan di wilayah zona hijau kasus Covid-19. Kemudian mendapatkan persetujuan dari gugus tugas setempat. Jika memenuhi kriteria, maka Kanwil Kemenag provinsi atau Kantor Kemenag kabupaten dan kota, dapat menyetujui madrasah menjalankan pembelajaran tatpa muka.

Kepada madrasah yang berada di zona hijau dan memulai pembelajaran di kelas, Umar memohon supaya tetap berhati-hati. ’’Tetap mawasdiri,’’ katanya. Pengelola madrasah, guru, maupun siswa untuk terus mematuhi protokol kesehatan. Selain itu juga berdoa supaya diberi kelancaran.

Umar mengatakan kesehatan dan keselamatan anak diri harus diutamakan. Ketimbang mengejar materi pembelajaran. Dia meminta sekolah atau masyarakat secara umum tidak sembrono. Umar meminta sekolah dan masyarakat tidak menganggap sepele pandemi Covid-19. ’’Apalagi ini masalah kesehatan. Virusnya tidak kelihatan. (Harus, Red) Waspada lahir dan batin,’’ jelasnya.

Sementara itu untuk madrasah yang masih menjalankan pembelajaran jarak jauh karena berada di zona kuning, orange, bahkan merah, Umar meminta tetap bersabar. Dia menjelaskan Kemenag sudah berupaya maksimal memberikan layanan pembelajaran jarak jauh berbasis internet. Misalnya bekerjasama dengan provider untuk menyediakan paket internet murah. Bahkan paket internet gratis untuk siswa miskin.

Rencana pemerintah yang akan membuka kembali sekolah direspon beragam oleh masyarakat. Namun, masih banyak publik yang tidak setuju jika dalam waktu dekat lembaga pendidikan dibuka. Mereka khawatir para siswa akan tertular Covid-19.

Respon publik terhadap pembukaan sekolah itu terlihat dalam hasil survei yang dirilis Alvara Research Center kemarin (12/7). Sebanyak 54,5 persen tidak setuju jika sekolah dibuka kembali, dan 45,5 persen setuju kalau sekolah kembali masuk. Mereka mempunyai alasan masing-masing, baik yang setuju mau tidak setuju sekolah dibuka. “Yang tidak setuju sekolah dibuka kembali, karena khawatir anak tertular Covid-19,” terang CEO Alvara Hasanuddin Ali. 

Menurut dia, 88,8 persen mereka takut siswa akan tertular dan membawa virus jika sekolah dibuka kembali. Sedangkan 55,6 persen beralasan anak akan rentan terhadap penyakit, 41,7 persen menyatakan anak akan susah diatur untuk memakai masker dan cuci tangan, dan sebanyak 33,5 persen khawatir anak jajan sembarangan. 

Sementara mereka yang setuju sekolah dibuka lagi, sebanyak 41,3 persen beralasan bahwa jika anak tetap di rumah, mereka malah tidak akan belajar. Kemudian 38,0 persen menyatakan anak bosan di rumah, 35,4 persen anak susah disuruh belajar, 33,0 persen menyatakan anak lebih senang berkumpul dan kluyuran, dan 31,3 persen mengatakan anak sudah kangen sekolah. “Dan sebanyak 27,0 persen orang tua tidak mempunyai teknik mengajar yang baik,” terang alumnus ITS itu. 

Baca Juga :  Hanya Ditutup Tiga Hari

Alvara juga bertanya kepada publik, apa yang mereka harapkan jika sekolah dibuka kembali? Sebanyak 88,2 persen menyatakan agar mengikuti protokol kesehatan, 64,5 mengatakan sekolah harus menyediakan tempat cuci tangan, 50,8 persen sekolah harus menyediakan masker, 50,4 persen meminta diberlakukan dua gelombang masuk sekolah, 46,9 persen meminta pemerintah dan sekolah menyediakan vitamin untuk menjaga imun anak, 32,8 persen mengimbau agar kantin sekolah menyediakan makanan bergizi, 30,6 persen meminta dilakukan rapid tes seminggu sekali. “Sebanyak 27,4 meminta sekolah menyediakan makanan bergizi,” terang Hasan. 

Selain soal pendidikan, Alvara juga memaparkan kondisi tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Hasan mengatakan,pengeluaran kebutuhan sehari-hari masyarakat turun signifikan dari sebelumnya 49,8 persen pada 2019, sekarang tinggal 38,1persen. Sementara pengeluaran untuk kebutuhan internet justru naik signifikan dari 6,1 persen menjadi 8,1persen. “Pendapatan turun, sementara kebutuhan tetap, seperti cicilan tidak bisa berkurang,” terangnya. 

Menurut Hasan, dengan tekanan ekonomi yang begitu berat, maka masyarakat membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Hasil survei Alvara menyebutkan bahwa ada sejumlah kebutuhan yang diinginkan publik. Sebanyak 65,6 persen menginginkan bantuan tunai, 58,9 persen bantuan, 28,7 persen subsidi listrik 900 watt, 28,1 persen program kemandirian pangan, 22,8 persen Kartu Pra Kerja, 22,1 persen subsidi listrik 450 watt, dan 4,6 persen tidak menjawab.

Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Desa (Kemendes) mempunyai tanggungjawab memberikan bantuan tunai, bantuan sembako, dan bantuan lainnya. “Dengan tekanan ekonomi yang berat, bantuan sangat dinanti,” papar dia. 

Bagaimana dengan tingkat optimisme publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia? Hasan mengatakan, tingkat optimisme publik turun dan berada di angka 63,5 persen, dibanding pada Oktober 2019 lalu yang berada di angka 71,0 persen. Tingkat optimisme itu harus dijaga agar tidak turun. Semakin tinggi tingkat optimisme, maka akan semakin baik. 

Survei Alvara dilakukan pada 22 Juni-1 Juli dengan melibatkan 1.225 responden. Metode yang digunakan adalah online survey dan mobile sssisted phone interview di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ada beberapa provinsi di wilayah Indonesia Timur, yaitu Papua, Papua Barat, dan Maluku,  karena terkendala jaringan internet dan coverage, sehingga tidak masuk survei. Margin of error berkisar 2,86 persen. (wan/lum/JPG)

*Upaya Sekolah yang Kembali Jalankan KBM Tatap Muka

JAKARTA, Jawa Pos-Di tengah pandemi Covid-19 yang belum kunjung reda, sejumlah sekolah menutuskan menjalankan pembelajaran tatap muka. Ini dilakukan bertepatan dengan dimulainya tahun pelajaran baru 2020-2021 yang dimulai hari ini (13/7).

Diantara sekolah yang mulai menjalankan pembelajaran tatap muka adalah Madrasah Ibtidaiyah Salafiyah (MIS) VII Podosugih, Kota Pekalongan. Madrasah setingkat SD ini berada di Kelurahan Podosugih, Kecamatan Pekalongan Barat. Dengan jumlah siswa sekitar 180 anak.

Orang tua membeli Peralatan Sekolah anak di Pasar Asemka, Jakarta, Minggu (12/7/2020). memasuki tahun ajaran baru 2020/2021, Masyarakat melakukan pembelian Peralatan sekolah walaupun masih menjalani kegiatan belajar mengajar dari rumah. FOTO : FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS

Guru Kelas IV MIS VII Podosugih Arif Mudilin mengatakan hari ini (13/7) sekolah memanggil seluruh orang tua murid untuk sosialisasi. ’’Pukul 07.00 sampai pukul 08.00 wali murid siswa kelas satu. Dan seterusnya,’’ katanya saat diwawancara kemarin (12/7).

Sementara itu kegiatan belajar siswa di sekolah mulai dijalankan Selasa (14/7) besok. Skenario yang diterapkan sekolah adalah, setiap kelas hanya masuk dua hari dalam sepekan. Skemanya adalah hari Senin dan Kamis untuk siswa kelas I masuk dan kelas VI.

Kemudian hari Selasa dan Sabtu untuk siswa kelas II dan siswa kelas V. Lalu hari Rabu dan Minggu untuk siswa kelas III berpasangan dengan siswa kelas IV juga di hari yang sama. Dengan pengaturan itu, satu rombongan belajar (rombel) tidak perlu dipecah menjadi beberapa sift atau gelombang belajar. Seluruhnya belajar dalam waktu yang sama.

Untuk mengurangi kepadatan siswa di kelas, sekolah memutuskan dipisah menjadi dua rombel. Misalnya kelas I dipecah menjadi kelas Ia dan Ib. Meskipun satu kelas dipisah menjadi dua rombel, keduanya masih di hari dan jam yang sama.

’’Selain itu jam belajar di sekolah juga diperpendek,’’ katanya. Sekolah dimulai pukul 07.00 WIB dan ditutup jam 10.00 WIB. Dengan pengaturan jam belajar itu, maka tidak ada jam istirahat. Sehingga siswa tidak harus jajan di kantin sekolah. Selama masa pandemi ini, siswa sangat dianjurkan untuk diantar dan dijemput orang tua masing-masing. Selama bersekolah siswa wajib pakai masker dan kuru menggunakan face shield. 

Arif mengatakan bersama asosiasi guru swasta sempat menghadap ke jajaran pemerintah kota dan gugus tugas setempat. Dalam pertemuan itu mereka menyampaikan keinginan untuk menjalankan pembelajaran tatap muka. Hasilnya gugus tugas mempersilahkan namun tidak mengeluarkan surat rekomendasi atau sejenisnya.

 Dia menuturkan sekolah memutuskan menyelenggarakan KBM tatap muka karena menilai pembelajaran online tidak efektif. Diantaranya tidak semua siswa memiliki ponsel pintar, laptop, atau jaringan internet. Kemudian setiap ada tugas, tidak bisa dipastikan itu murni dikerjakan oleh siswa atau orangtuanya. Dia menegaskan KBM tatap muka di sekolahannya itu statusnya uji coba. Akan dievaluasi sambil berjalan.

Baca Juga :  Banyak yang Kecele Kostum Jokowi

Direktur Kurikulum, Sarana, Kelembagaan, dan Kesiswaan (KSKK) Madrasah Kemenag Ahmad Umar mengatakan sudah ada surat keputusan bersama (SKB) empat menteri tentang pembelajaran di kelas. Pembelajaran di kelas dapat dilakukan di wilayah zona hijau kasus Covid-19. Kemudian mendapatkan persetujuan dari gugus tugas setempat. Jika memenuhi kriteria, maka Kanwil Kemenag provinsi atau Kantor Kemenag kabupaten dan kota, dapat menyetujui madrasah menjalankan pembelajaran tatpa muka.

Kepada madrasah yang berada di zona hijau dan memulai pembelajaran di kelas, Umar memohon supaya tetap berhati-hati. ’’Tetap mawasdiri,’’ katanya. Pengelola madrasah, guru, maupun siswa untuk terus mematuhi protokol kesehatan. Selain itu juga berdoa supaya diberi kelancaran.

Umar mengatakan kesehatan dan keselamatan anak diri harus diutamakan. Ketimbang mengejar materi pembelajaran. Dia meminta sekolah atau masyarakat secara umum tidak sembrono. Umar meminta sekolah dan masyarakat tidak menganggap sepele pandemi Covid-19. ’’Apalagi ini masalah kesehatan. Virusnya tidak kelihatan. (Harus, Red) Waspada lahir dan batin,’’ jelasnya.

Sementara itu untuk madrasah yang masih menjalankan pembelajaran jarak jauh karena berada di zona kuning, orange, bahkan merah, Umar meminta tetap bersabar. Dia menjelaskan Kemenag sudah berupaya maksimal memberikan layanan pembelajaran jarak jauh berbasis internet. Misalnya bekerjasama dengan provider untuk menyediakan paket internet murah. Bahkan paket internet gratis untuk siswa miskin.

Rencana pemerintah yang akan membuka kembali sekolah direspon beragam oleh masyarakat. Namun, masih banyak publik yang tidak setuju jika dalam waktu dekat lembaga pendidikan dibuka. Mereka khawatir para siswa akan tertular Covid-19.

Respon publik terhadap pembukaan sekolah itu terlihat dalam hasil survei yang dirilis Alvara Research Center kemarin (12/7). Sebanyak 54,5 persen tidak setuju jika sekolah dibuka kembali, dan 45,5 persen setuju kalau sekolah kembali masuk. Mereka mempunyai alasan masing-masing, baik yang setuju mau tidak setuju sekolah dibuka. “Yang tidak setuju sekolah dibuka kembali, karena khawatir anak tertular Covid-19,” terang CEO Alvara Hasanuddin Ali. 

Menurut dia, 88,8 persen mereka takut siswa akan tertular dan membawa virus jika sekolah dibuka kembali. Sedangkan 55,6 persen beralasan anak akan rentan terhadap penyakit, 41,7 persen menyatakan anak akan susah diatur untuk memakai masker dan cuci tangan, dan sebanyak 33,5 persen khawatir anak jajan sembarangan. 

Sementara mereka yang setuju sekolah dibuka lagi, sebanyak 41,3 persen beralasan bahwa jika anak tetap di rumah, mereka malah tidak akan belajar. Kemudian 38,0 persen menyatakan anak bosan di rumah, 35,4 persen anak susah disuruh belajar, 33,0 persen menyatakan anak lebih senang berkumpul dan kluyuran, dan 31,3 persen mengatakan anak sudah kangen sekolah. “Dan sebanyak 27,0 persen orang tua tidak mempunyai teknik mengajar yang baik,” terang alumnus ITS itu. 

Baca Juga :  Hanya Ditutup Tiga Hari

Alvara juga bertanya kepada publik, apa yang mereka harapkan jika sekolah dibuka kembali? Sebanyak 88,2 persen menyatakan agar mengikuti protokol kesehatan, 64,5 mengatakan sekolah harus menyediakan tempat cuci tangan, 50,8 persen sekolah harus menyediakan masker, 50,4 persen meminta diberlakukan dua gelombang masuk sekolah, 46,9 persen meminta pemerintah dan sekolah menyediakan vitamin untuk menjaga imun anak, 32,8 persen mengimbau agar kantin sekolah menyediakan makanan bergizi, 30,6 persen meminta dilakukan rapid tes seminggu sekali. “Sebanyak 27,4 meminta sekolah menyediakan makanan bergizi,” terang Hasan. 

Selain soal pendidikan, Alvara juga memaparkan kondisi tekanan ekonomi yang dirasakan masyarakat. Hasan mengatakan,pengeluaran kebutuhan sehari-hari masyarakat turun signifikan dari sebelumnya 49,8 persen pada 2019, sekarang tinggal 38,1persen. Sementara pengeluaran untuk kebutuhan internet justru naik signifikan dari 6,1 persen menjadi 8,1persen. “Pendapatan turun, sementara kebutuhan tetap, seperti cicilan tidak bisa berkurang,” terangnya. 

Menurut Hasan, dengan tekanan ekonomi yang begitu berat, maka masyarakat membutuhkan bantuan sosial dari pemerintah. Hasil survei Alvara menyebutkan bahwa ada sejumlah kebutuhan yang diinginkan publik. Sebanyak 65,6 persen menginginkan bantuan tunai, 58,9 persen bantuan, 28,7 persen subsidi listrik 900 watt, 28,1 persen program kemandirian pangan, 22,8 persen Kartu Pra Kerja, 22,1 persen subsidi listrik 450 watt, dan 4,6 persen tidak menjawab.

Kementerian Sosial (Kemensos) dan Kementerian Desa (Kemendes) mempunyai tanggungjawab memberikan bantuan tunai, bantuan sembako, dan bantuan lainnya. “Dengan tekanan ekonomi yang berat, bantuan sangat dinanti,” papar dia. 

Bagaimana dengan tingkat optimisme publik terhadap kondisi ekonomi Indonesia? Hasan mengatakan, tingkat optimisme publik turun dan berada di angka 63,5 persen, dibanding pada Oktober 2019 lalu yang berada di angka 71,0 persen. Tingkat optimisme itu harus dijaga agar tidak turun. Semakin tinggi tingkat optimisme, maka akan semakin baik. 

Survei Alvara dilakukan pada 22 Juni-1 Juli dengan melibatkan 1.225 responden. Metode yang digunakan adalah online survey dan mobile sssisted phone interview di seluruh wilayah Indonesia. Namun, ada beberapa provinsi di wilayah Indonesia Timur, yaitu Papua, Papua Barat, dan Maluku,  karena terkendala jaringan internet dan coverage, sehingga tidak masuk survei. Margin of error berkisar 2,86 persen. (wan/lum/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya