Friday, April 19, 2024
27.7 C
Jayapura

KKR Perlu Hadir di Papua

Prof Hetaria bersama DR Basir Rorohmana berdiskusi ringan dengan peserta  FGD penyusunan draf KKR di Swisbell Hotel, Selasa (10/11). ( FOTO: Gamel/Cepos)

JAYAPURA – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menjadi amanat Undang – undang Otsus harusnya sudah bisa didorong sejak undang – undang ini berlaku  yakni sejak tahun 2001 lalu. Namun hingga kini KKR hanya sebatas wacana dan tak kunjung rampung. Padahal ada banyak hal positif yang bisa diperoleh dari terbentuknya KKR ini salah satunya menekan terjadinya bentuk pelanggaran HAM termasuk menumbuhkan keyakinan masyarakat Papua atas upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh negara. 

 “Harus diakui jika berbicara soal pelanggaran HAM pasti menimbulkan trauma dan ekses lainnya namun dalam rangka persatuan bangsa maka KKR perlu dibentuk dan menjadi perangkat menyelesaikan pelanggaran HAM,” kata Prof  Melkias Hetaria SH., MH., M.Hum dalam acara Fokus Grup Diskusi (FGD) Penyusunan Draf Perpres Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)  di Swisbell Hotel, Selasa  (10/11) lalu. 

Prof Hetaria berbicara sebagai pemateri dan pihak yang ikut menyusun draf KKR ini. Ia bersama DR Basir Rorohmana yang juga akademisi Uncen. Dari penyampaiannya ia menyebut bahwa penyebab pelanggaran dalam hal ini HAM adalah rangkaian kebijakan negara dan operasi militer. Ini sudah ada sebelum Pepera kemudian berlanjut pada orde baru maupun reformasi.

Hanya dalam konteks ini tidak perlu melihat jumlah korban tapi bentuk pelanggaran HAM yang harus diselesaikan. Pasalnya diyakini dari pelanggaran HAM ini akan timbul sikap apatis dari masyarakat, sikap dendam, marah dan tidak percaya terhadap pembangunan termasuk keinginan memisahkan diri dari NKRI. 

“Masalah bukan aparat secara pribadi melakukan ini tapi menjalankan kebijakan negara. Negara sebagai menyandang badan hukum juga pelaku kejahatan. Di sini negara bukan hanya presiden tetapi juga wilayah dan wilayah secara kenegaraan harus dijaga. Negara harus mengambil sikap dan terjadilah pelanggaran HAM,” beber Hetaria. 

Baca Juga :  Panglima Minta Bongkar Tuntas Oknum Prajurit yang Terlibat Mutilasi

 Akan tetapi negara juga harus bertanggungjawab secara kolektif dan bukan pribadi. “Contoh saat pemerintahan Soeharto kasusnya terjadi kemudian tidak terpilih lagi apa kasus ditutup? Tidak itu karena negara yang harus bertanggungjawab,” jelas Profesor Hetaria. 

Bentuk pertanggungjawabannya bisa kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan ini harus berlaku hingga derajat ketiga. Jika derajat pertama meninggal istri anak maka ahli waris harus masuk derajat kedua hingga  ketiga. Tapi jika tidak ada lagi korban maka semua kompensasi akan jatuh ke negara. 

 “Lalu bagaimana jika korban tidak memiliki akte kelahiran sebab ini yang sering terjadi, nah disinilah tugas KKR termasuk mendorong upaya rehabilitasi. Ini semua perlu diberlakukan agar  bisa menjadi peringatan dan tidak terulang,” tambahnya. Hanya yang perlu dipahami lanjut Hetaria adalah pelaku yang notabene oknum aparat keamanan sebenarnya juga bertatus sebagai korban.  Berkorban demi negara atau korban kebijakan negara dan sepantasnya menerima amnesty dan semua tanggungjawab ini kolektif ditanggung negara. 

Upaya KKR ini sendiri adalah mengungkap kasus – kasus pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM berat dan dalam proses ini harus ada pengakuan atau  kesalahan dari pelaku atau negara. Ketika terjadi pengakuan kesalahan maka perlu rekonsiliasi atau berdamai agar tak ada lagi dendam curiga dan lainnya. 

Hetaria menyebut ada beberapa negara yang berhasil menjalankan KKR di antaranya Chili, Argentina, Elsavador maupun Afrika Selatan. Sedangkan Guatemala dilakukan lewat perjanjian internasional.

 Nah dalam UU Otsus pasal 46 ayat 1,2 dan 3 menyebut bahwa dalam rangka penetapan persatuan dan kesatuan bangsa di Papua dibentuk KKR. Karenanya tak ada alasan untuk tidak mendorong hal ini. Publik sendiri akan menilai pihak yang tidak menghendaki adanya KKR. 

Baca Juga :  Mandenas: Sasaran Operasi Harus Jelas Sesuai Dengan Target

Hetaria mengaku tidak mudah mendorong draf KKR sebab ini  sudah dilakukan sejak 2015 lalu hingga kini. Setelah 2015, tahun berikutnya, 2016 – 2018 isu KKR sempat hilang hingga muncul di tahun 2019. Papua sendiri menurutnya unik jika  ingin menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM karena bukan saja ekses politik tetapi bisa berbicara soal sejarah yang berkaitan dengan bergabungnya Papua. 

Ia juga meminta publik memahami bahwa penyelesaian  kasus pelanggaran HAM ini tidak selamanya diselesaikan lewat prosedur hukum tetapi bisa juga di luar proses peradilan. “Tidak selamanya kasus hukum diselesaikan lewat hukum tapi bisa lewat jalur diluar pengadilan,” imbuhnya. 

Sementara DR Basir Rorohmana menambahkan bahwa banyak KKR yang gagal karena yang menangani tidak berkompetensi. Lalu dalam pertanggungjawabannya harus dilakukan oeh negara secara kolektif dan bukan individu. Ia juga berpendapat bahwa dari KKR ini bisa diisi tiga sub mulai komisi penyelidikan dan klarifikasi, sub amnesty dan sub kompensasi. Tapi bisa juga menjadi empat jika akan memasukkan pelurusan sejarah.  

 Hanya di sini Basir juga mempertanyakan mengapa persoalan KKR ini hingga kini belum rampung. “Tapi tidak masalah yang penting kita bisa mendorong hingga tuntas dan jangan berpikir  kasus lama tidak bisa diungkap sebab dokumen pelanggaran HAM bisa diperoleh dari Belanda, Amerika maupun Inggris dan KKR ini memiliki kewenangan menelusuri ini termasuk bisa memanggil pejabat di Jakarta. Jika tak mau datang kita bisa meminta pengadilan untuk memanggil,” imbuhnya. (ade/nat) 

Prof Hetaria bersama DR Basir Rorohmana berdiskusi ringan dengan peserta  FGD penyusunan draf KKR di Swisbell Hotel, Selasa (10/11). ( FOTO: Gamel/Cepos)

JAYAPURA – Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menjadi amanat Undang – undang Otsus harusnya sudah bisa didorong sejak undang – undang ini berlaku  yakni sejak tahun 2001 lalu. Namun hingga kini KKR hanya sebatas wacana dan tak kunjung rampung. Padahal ada banyak hal positif yang bisa diperoleh dari terbentuknya KKR ini salah satunya menekan terjadinya bentuk pelanggaran HAM termasuk menumbuhkan keyakinan masyarakat Papua atas upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh negara. 

 “Harus diakui jika berbicara soal pelanggaran HAM pasti menimbulkan trauma dan ekses lainnya namun dalam rangka persatuan bangsa maka KKR perlu dibentuk dan menjadi perangkat menyelesaikan pelanggaran HAM,” kata Prof  Melkias Hetaria SH., MH., M.Hum dalam acara Fokus Grup Diskusi (FGD) Penyusunan Draf Perpres Tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)  di Swisbell Hotel, Selasa  (10/11) lalu. 

Prof Hetaria berbicara sebagai pemateri dan pihak yang ikut menyusun draf KKR ini. Ia bersama DR Basir Rorohmana yang juga akademisi Uncen. Dari penyampaiannya ia menyebut bahwa penyebab pelanggaran dalam hal ini HAM adalah rangkaian kebijakan negara dan operasi militer. Ini sudah ada sebelum Pepera kemudian berlanjut pada orde baru maupun reformasi.

Hanya dalam konteks ini tidak perlu melihat jumlah korban tapi bentuk pelanggaran HAM yang harus diselesaikan. Pasalnya diyakini dari pelanggaran HAM ini akan timbul sikap apatis dari masyarakat, sikap dendam, marah dan tidak percaya terhadap pembangunan termasuk keinginan memisahkan diri dari NKRI. 

“Masalah bukan aparat secara pribadi melakukan ini tapi menjalankan kebijakan negara. Negara sebagai menyandang badan hukum juga pelaku kejahatan. Di sini negara bukan hanya presiden tetapi juga wilayah dan wilayah secara kenegaraan harus dijaga. Negara harus mengambil sikap dan terjadilah pelanggaran HAM,” beber Hetaria. 

Baca Juga :  Polisi Pertebal Keamanan di Pos Pol Ndeotadi 99

 Akan tetapi negara juga harus bertanggungjawab secara kolektif dan bukan pribadi. “Contoh saat pemerintahan Soeharto kasusnya terjadi kemudian tidak terpilih lagi apa kasus ditutup? Tidak itu karena negara yang harus bertanggungjawab,” jelas Profesor Hetaria. 

Bentuk pertanggungjawabannya bisa kompensasi, rehabilitasi, restitusi dan ini harus berlaku hingga derajat ketiga. Jika derajat pertama meninggal istri anak maka ahli waris harus masuk derajat kedua hingga  ketiga. Tapi jika tidak ada lagi korban maka semua kompensasi akan jatuh ke negara. 

 “Lalu bagaimana jika korban tidak memiliki akte kelahiran sebab ini yang sering terjadi, nah disinilah tugas KKR termasuk mendorong upaya rehabilitasi. Ini semua perlu diberlakukan agar  bisa menjadi peringatan dan tidak terulang,” tambahnya. Hanya yang perlu dipahami lanjut Hetaria adalah pelaku yang notabene oknum aparat keamanan sebenarnya juga bertatus sebagai korban.  Berkorban demi negara atau korban kebijakan negara dan sepantasnya menerima amnesty dan semua tanggungjawab ini kolektif ditanggung negara. 

Upaya KKR ini sendiri adalah mengungkap kasus – kasus pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM berat dan dalam proses ini harus ada pengakuan atau  kesalahan dari pelaku atau negara. Ketika terjadi pengakuan kesalahan maka perlu rekonsiliasi atau berdamai agar tak ada lagi dendam curiga dan lainnya. 

Hetaria menyebut ada beberapa negara yang berhasil menjalankan KKR di antaranya Chili, Argentina, Elsavador maupun Afrika Selatan. Sedangkan Guatemala dilakukan lewat perjanjian internasional.

 Nah dalam UU Otsus pasal 46 ayat 1,2 dan 3 menyebut bahwa dalam rangka penetapan persatuan dan kesatuan bangsa di Papua dibentuk KKR. Karenanya tak ada alasan untuk tidak mendorong hal ini. Publik sendiri akan menilai pihak yang tidak menghendaki adanya KKR. 

Baca Juga :  Panglima Minta Bongkar Tuntas Oknum Prajurit yang Terlibat Mutilasi

Hetaria mengaku tidak mudah mendorong draf KKR sebab ini  sudah dilakukan sejak 2015 lalu hingga kini. Setelah 2015, tahun berikutnya, 2016 – 2018 isu KKR sempat hilang hingga muncul di tahun 2019. Papua sendiri menurutnya unik jika  ingin menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM karena bukan saja ekses politik tetapi bisa berbicara soal sejarah yang berkaitan dengan bergabungnya Papua. 

Ia juga meminta publik memahami bahwa penyelesaian  kasus pelanggaran HAM ini tidak selamanya diselesaikan lewat prosedur hukum tetapi bisa juga di luar proses peradilan. “Tidak selamanya kasus hukum diselesaikan lewat hukum tapi bisa lewat jalur diluar pengadilan,” imbuhnya. 

Sementara DR Basir Rorohmana menambahkan bahwa banyak KKR yang gagal karena yang menangani tidak berkompetensi. Lalu dalam pertanggungjawabannya harus dilakukan oeh negara secara kolektif dan bukan individu. Ia juga berpendapat bahwa dari KKR ini bisa diisi tiga sub mulai komisi penyelidikan dan klarifikasi, sub amnesty dan sub kompensasi. Tapi bisa juga menjadi empat jika akan memasukkan pelurusan sejarah.  

 Hanya di sini Basir juga mempertanyakan mengapa persoalan KKR ini hingga kini belum rampung. “Tapi tidak masalah yang penting kita bisa mendorong hingga tuntas dan jangan berpikir  kasus lama tidak bisa diungkap sebab dokumen pelanggaran HAM bisa diperoleh dari Belanda, Amerika maupun Inggris dan KKR ini memiliki kewenangan menelusuri ini termasuk bisa memanggil pejabat di Jakarta. Jika tak mau datang kita bisa meminta pengadilan untuk memanggil,” imbuhnya. (ade/nat) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya