JAYAPURA-Upaya penghentian aktifitas penimbunan ini mendapat respon dari sejumlah perempuan adat asal Kampung Engros.
“Atas nama negara kami minta ini dikawal dengan baik. Kami tunggu 1 minggu jadi truk serta alat berat yang ada langsung disita,” kata Emma Hamadi dilokasi.
Lalu kepala suku yang dulu melepas ini itupun menurutnya harus mempertanggungjawabkan tandatangannya sebab keputusan itu mengganggu pihaknya (perempuan).
“Sebab hutan ini adalah harga diri kami. Ini hutan kami, kami tidak memikirkan soal siapa pemiliknya dan siapa yang melepas tapi kami mempersoalkan bakau yang merupakan tempat kami mencari yang rusak,” cecarnya.
Selain itu Emma juga menyinggung adanya oknum aparat keamanan dilokasi. “Mereka (apparat keamanan) dibayar negara untuk menjaga keamanan, bukan menjadi backup penimbunan lahan begini. Jaga di luar sana, bukan di hutan adat begini. Mereka ini yang mengawal hingga truk – truk dengan leluasa masuk dan menimbun jadi oknum aparat ini juga kami minta diproses sebab jika tidak cara – cara ini akan terus dilakukan dan aturan akan diabaikan,” koar Emma.
Karenanya atas nama perempuan adat ia meminta ini dituntaskan sebab jika tidak mereka menyatakan akan berjuang dengan cara sendiri. Soal dugaan munculnya sertifikat lanjut Emma sejatinya sudah jelas daerah mana saja yang mana boleh keluar sertifikat dan mana yang tidak.
“Kalau disini ada keluar sertifikat maka kami minta mafia tanah di BPN dipecat dan diproses hukum. Lalu kami juga kaget ternyata truk – truk ini lewat belakang dari tembok yang dijebol dan itu ijinkan masuk dari gudang Alfamidi. Pemilik gudang juga perlu dipertanyakan karena tidak merasa memiliki dan hanya mencari uang saja,”sindir Emma.
Sementara peraih Kalpataru, Petronela Merauje menambahkan bahwa ia merasa ada kenaikan air di kampung termasuk kesulitan mencari kerang, ikan.
“Kami menjaga agar lokasi hutan bakau jangan dirusak karena kalau rusak kami kesulitan untuk mencari. Mereka meminta kasus penimbunan lokasi ini dikawal karena telah merusak hutan tempat perempuan mencari. Ini dapur kami dan kami tidak perduli siapa yang menimbun termasuk sekalipun sudah ada sertipikat. Kami bertahan karena hutan bakau ini dapur kami. Titik,” tegas Petronela.
Bakau menurutnya bukan tanah tapi laut, masak harus menimbun laut seluas ini. Teluk ini terbentuk karena adanya mangrove karena kalau tidak ada maka teluk akan hilang.
”Pihak yang timbun harus merevitalisasi lokasi ini. Kami tidak berbicara siapa pemilik lokasi dan siapa yang menang dipersidangan tapi kami hanya berfikir pohon mangrove kami jangan dirusak, ditebang dan ditimbun seperti ini, itu saja,” tutupnya. (ade/wen)