Dengan tertatih-tatih dan suara yang bergetar, Aleksander (70) menceritakan sedikit cerita tentang peninggalan sejarah di Bukit Tutari, yang mana Bukit sejarah itu dikelolah oleh Dinas Pariwisata Provinsi Papua.
“Beberapa tahun lalu banyak penelitian dari Uncen dan dari Universitas lainnya yang tertarik untuk mempelajari situs sejarah itu, tetapi sekarang tidak lagi dikelolah dengan baik, bisa dibilang tidak terawat, ” jelasnya.
Dari masyarakat sendiri, banyak anak-anak muda yang tidak lagi tertarik menjaga warisan budaya, bahkan mengetahui arti dari ukiran ikan pada batu berlukis saja mungkin tidak diketahui. Bahkan dari generasi ke generasi, kadang hanya disampaikan secara garis besar saja, apa itu Tutari dan itu merupakan warisan budaya.
Keseriusan untuk, menjaga, merawat dan menceriakan sejarah itu turun temurun, sudah tidak lagi dilakukan.
“Malah jika sekrang ditanya, pasti anak-anak muda atau sebagai orang tua di Kampung Doyo Lama akan menjelaskan bahwa sejarah Tutari ada di Dinas Pariwisata Provinsi Papua, ” katanya lagi sambil tertawa seolah menyangkan kondisi yang terjadi pada momen bersejarah itu.
Bukan hanya sekedar cerita, ketika Cenderawasih Pos, menghampiri lokasi batu berlukis itu, cukup terkejut karena dari tampak gapura megalitik Tutari saja sudah tidak bisa disimpulkan bahwa ini adalah lokasi situs kebudayaan, melainkan gapura makam tua yang tak terurus.
Bangunan kantor yang penuh dengan coretatn pinang, kaca-kaca yang pecah, bahkan ada sepihan pecahan botol minuman keras pada titik-titik tertentu menuju lokasi Megalitik Tutari. Setelah berjalan kurang dari 45 menit, kami berhasil sampai pada batu berlukis, secara kasat mata nyaris ukiran dibatu itu tidak terlihat, namun ketika dilihat menggunakan kamera handphone napkan jelas ada ukiran ikan dan gambal kadal atau buaya.
“Gambar ikan dan buaya artinya Kampung ini terletak dekat danau dan ikan dan buaya adalah sumber makanan bagi masyarakat dizaman itu, ” jelas Ondoafi Kampung Doyo Lama.
Selain batu berlukis ada juga jalan roh, yang mana dulu dijadikan tempat bertemunya manusia hidup dengan arwah orang mati, atau tempat doa bagi para Ondoafi di zaman itu.
Ada juga 9 batu yang berdiri tegak, konon itu merupakan simbol dari para kepala-kepala suku atau Ondoafi dizaman itu.
“Sampai sekarang setiap orang yang naik untuk melihat momen sejarah ini selalu kami ingatkan, foto boleh, ambil video beh tetapi jangan pernah memindahkan batu atau mengambil batu dari lokasi tersebut, karena dapat pertanda buruk, ” terangnya lagi.