Wednesday, April 24, 2024
32.7 C
Jayapura

Tengah Mencari Rekaman Pidato Bung Karno yang Berbahasa Daerah

Menengok Jejak 10 November lewat Koleksi RRI dan Panjebar Semangat

RRI menyimpan dan merawat sejumlah ornamen bersejarah yang terkait dengan Bung Tomo dan Perang Surabaya. Lewat Panjebar Semangat dulu mereka yang tidak bisa berbahasa Belanda dan Indonesia bisa tetap mengikuti perjuangan melawan penjajah. 

WAHYU ZANUAR BUSTOMI-AZAMI RAMADHAN, Surabaya

POSTER besar Bung Tomo dan Bung Karno terpampang di ruang Galeri Tri Prasetya, RRI Surabaya. Begitu pula beberapa tape recorder. Lengkap dengan tas kulitnya. 

Bukan hanya itu, alat pemindai rekaman pita juga masih terjaga. Dulu dipakai wartawan liputan. Termasuk mixer buatan Jerman. Koleksi di Galeri Tri Prasetya memang tidak banyak. Jumlahnya sekitar belasan. Mulai alat penyiaran hingga alat musik. Rata-rata usianya di atas 60 tahun.

Semua benda bersejarah itu terkait dengan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: perang 10 November di Surabaya. Palagan tersebut kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. 

”Bung Tomo itu kalau pidato tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia. Ada yang misalnya menggunakan bahasa Madura yang mungkin tak banyak diketahui publik,” kata Music Director RRI Surabaya Pataka Swahara Sanja kepada Jawa Pos.

Bung Tomo memang sangat dikenal dengan pidato-pidatonya yang membakar. Dia dianggap corong pembakar semangat para pejuang dalam pertempuran Surabaya. 

Sebagian benda koleksi sejarah perang 10 November memang tidak lagi terdapat di RRI Surabaya. Sebagian dibawa ke RRI pusat, Jakarta. Salah satunya mikrofon pidato Bung Tomo. Juga alat pemancar dari RBPRI (Radio Barisan Pemberontak Republik Indonesia) yang didirikan Bung Tomo. 

Radio Bung Tomo bisa melakukan siaran udara setelah mendapat perangkat siaran dari RRI yang berdiri sejak 11 September 1945. Mulai mikrofon, mixer, hingga satu pemancar AM. 

Pada 15 Oktober 1945, RBPRI mulai mengudara perdana. Waktu itu Bung Tomo minta diputarkan musik mars sebagai pembuka. 

Baca Juga :  Dua Distrik di Kab. Puncak Dilanda Kelaparan

Karena tak bisa menyediakan dalam waktu dekat, RRI Surabaya menawarkan lagu Tiger Shark yang berirama Hawaian yang ditulis Peter Hodgkinson. Lagu itu dipakai sebagai pembuka dan penutup siaran. ”Jadwal siarannya hanya Rabu dan Minggu malam,” ucap Ata, sapaan akrab Pataka, kepada Jawa Pos yang menemuinya kemarin (8/11).

Ata menjelaskan, RRI tengah menyelamatkan arsip siaran. Termasuk mencari rekaman pidato Bung Tomo yang menggunakan bahasa daerah. Selain butuh waktu untuk pencarian arsip, penyelamatan dokumen terkendala restorasi ke format digital. Sebab, dulu perekamannya menggunakan pita. 

Total ada sekitar 1.500 data arsip siaran RRI yang saat ini diselamatkan dengan cara direstorasi ke format digital. Sebagian besar dari ribuan data itu bersifat rahasia negara. 

Selain arsip dokumen siaran, RRI Surabaya merestorasi ribuan rekaman musik yang dulu diputar untuk disiarkan. Baik luar negeri maupun lokal. Menurut Ata, ada 8 ribu arsip musik, baik berupa vinyl maupun kaset. Tujuannya, menjaga karya musisi Indonesia. Salah satunya rekaman AKA Band yang lahir di Kota Surabaya.

Jawa Pos juga mengunjungi ruang redaksi Panjebar Semangat, media yang turut terlibat dalam menggelorakan semangat perjuangan. Perwajahan majalah bahasa Jawa edisi pertama itu masih terpampang jelas di ruang redaksi kantor. Terbungkus rapi dalam pigura meski kertasnya sudah keropos dan berwarna usang. 

Pesan dr Soetomo, sang pendiri Panjebar Semangat, begitu terasa di ruang redaksi Jalan Gedung Nasional Nomor 2, Bubutan, Surabaya. Menjadikan media sebagai sarana untuk mencerdaskan dan mempersatukan bangsa.

”Semangat kang kita sebarake, jaikoe semangat kang bangoenake kesadaran kang bisa nglairake goemregahe bangsa kita, ngabdi marang kebenaran, toendoek marang kesoetjian sarta soemarah marang keadilan (Semangat yang kita sebarkan, yaitu semangat yang membangunkan kesadaran yang bisa membangkitkan bangsa kita, mengabdi kepada kebenaran, tunduk terhadap kesucian, serta pasrah kepada keadilan),” ujar Arkandi Sari, pemimpin redaksi Panjebar Semangat, kepada Jawa Pos Kamis (4/11) lalu. 

Baca Juga :  Kasus Positif Bertambah 41, Pasien Sembuh 36 Orang

Andi, sapaan akrab Arkandi Sari, menceritakan, Panjebar Semangat diberedel Jepang pada 1942. Padahal, saat itu oplah sedang besar-besarnya. Namun, karena satu dan lain hal, Jepang melalui Osamu Seire (Undang-Undang Pemerintah) Nomor 16 melarang Panjebar Semangat terbit dan menahan pemimpin redaksinya kala itu, Mr Soemanang. 

”Justru kepedulian saat itu besar. Kami tak kekurangan pelanggan, bahkan banyak yang bersolidaritas,” kenangnya sembari mengajak Jawa Pos melihat majalah terbitan 1949, pertama setelah diberedel Jepang. 

”Jadi, pas 10 November itu kami masih diberedel Jepang. Baru tahun 1949 terbit lagi,” imbuhnya. 

Andi juga memperlihatkan pesan-pesan pemompa semangat yang ditulis langsung oleh Soekarno pada 1953. ”Beliau mendoakan agar Panjebar Semangat lestari dan tetap menyertai perjuangan bangsa,” tuturnya. 

Majalah yang terbit sejak 2 September 1933 itu sudah melintasi lima zaman, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Menyaksikan perubahan demi perubahan ibu pertiwi. 

Semangat kemunculan majalah memang tecermin sejak ide itu dimunculkan Raden Sundjojo, kakak kandung Ir Sunjasmoro. Bak gayung bersambut, kala itu Soetomo mencetuskan majalah tersebut bernama Panjebar Semangat. 

”Ini (Panjebar Semangat) amanah yang harus tetap dijaga dan dipelihara. Historical majalah ini luar biasa. Aset pengetahuan dan bangsa,” tegasnya. 

Kala itu, lanjut Andi, masyarakat pedesaan dan daerah pedalaman yang tidak dapat memahami bahasa Belanda maupun bahasa Indonesia dapat mengetahui progres perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak ayal jika saat itu Panjebar Semangat menjadi sarana agitasi dan pembakar semangat perjuangan melawan penjajah. (*/c19/ttg/JPG)

Menengok Jejak 10 November lewat Koleksi RRI dan Panjebar Semangat

RRI menyimpan dan merawat sejumlah ornamen bersejarah yang terkait dengan Bung Tomo dan Perang Surabaya. Lewat Panjebar Semangat dulu mereka yang tidak bisa berbahasa Belanda dan Indonesia bisa tetap mengikuti perjuangan melawan penjajah. 

WAHYU ZANUAR BUSTOMI-AZAMI RAMADHAN, Surabaya

POSTER besar Bung Tomo dan Bung Karno terpampang di ruang Galeri Tri Prasetya, RRI Surabaya. Begitu pula beberapa tape recorder. Lengkap dengan tas kulitnya. 

Bukan hanya itu, alat pemindai rekaman pita juga masih terjaga. Dulu dipakai wartawan liputan. Termasuk mixer buatan Jerman. Koleksi di Galeri Tri Prasetya memang tidak banyak. Jumlahnya sekitar belasan. Mulai alat penyiaran hingga alat musik. Rata-rata usianya di atas 60 tahun.

Semua benda bersejarah itu terkait dengan salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia modern: perang 10 November di Surabaya. Palagan tersebut kemudian diabadikan sebagai Hari Pahlawan. 

”Bung Tomo itu kalau pidato tidak hanya menggunakan bahasa Indonesia. Ada yang misalnya menggunakan bahasa Madura yang mungkin tak banyak diketahui publik,” kata Music Director RRI Surabaya Pataka Swahara Sanja kepada Jawa Pos.

Bung Tomo memang sangat dikenal dengan pidato-pidatonya yang membakar. Dia dianggap corong pembakar semangat para pejuang dalam pertempuran Surabaya. 

Sebagian benda koleksi sejarah perang 10 November memang tidak lagi terdapat di RRI Surabaya. Sebagian dibawa ke RRI pusat, Jakarta. Salah satunya mikrofon pidato Bung Tomo. Juga alat pemancar dari RBPRI (Radio Barisan Pemberontak Republik Indonesia) yang didirikan Bung Tomo. 

Radio Bung Tomo bisa melakukan siaran udara setelah mendapat perangkat siaran dari RRI yang berdiri sejak 11 September 1945. Mulai mikrofon, mixer, hingga satu pemancar AM. 

Pada 15 Oktober 1945, RBPRI mulai mengudara perdana. Waktu itu Bung Tomo minta diputarkan musik mars sebagai pembuka. 

Baca Juga :  Dua Distrik di Kab. Puncak Dilanda Kelaparan

Karena tak bisa menyediakan dalam waktu dekat, RRI Surabaya menawarkan lagu Tiger Shark yang berirama Hawaian yang ditulis Peter Hodgkinson. Lagu itu dipakai sebagai pembuka dan penutup siaran. ”Jadwal siarannya hanya Rabu dan Minggu malam,” ucap Ata, sapaan akrab Pataka, kepada Jawa Pos yang menemuinya kemarin (8/11).

Ata menjelaskan, RRI tengah menyelamatkan arsip siaran. Termasuk mencari rekaman pidato Bung Tomo yang menggunakan bahasa daerah. Selain butuh waktu untuk pencarian arsip, penyelamatan dokumen terkendala restorasi ke format digital. Sebab, dulu perekamannya menggunakan pita. 

Total ada sekitar 1.500 data arsip siaran RRI yang saat ini diselamatkan dengan cara direstorasi ke format digital. Sebagian besar dari ribuan data itu bersifat rahasia negara. 

Selain arsip dokumen siaran, RRI Surabaya merestorasi ribuan rekaman musik yang dulu diputar untuk disiarkan. Baik luar negeri maupun lokal. Menurut Ata, ada 8 ribu arsip musik, baik berupa vinyl maupun kaset. Tujuannya, menjaga karya musisi Indonesia. Salah satunya rekaman AKA Band yang lahir di Kota Surabaya.

Jawa Pos juga mengunjungi ruang redaksi Panjebar Semangat, media yang turut terlibat dalam menggelorakan semangat perjuangan. Perwajahan majalah bahasa Jawa edisi pertama itu masih terpampang jelas di ruang redaksi kantor. Terbungkus rapi dalam pigura meski kertasnya sudah keropos dan berwarna usang. 

Pesan dr Soetomo, sang pendiri Panjebar Semangat, begitu terasa di ruang redaksi Jalan Gedung Nasional Nomor 2, Bubutan, Surabaya. Menjadikan media sebagai sarana untuk mencerdaskan dan mempersatukan bangsa.

”Semangat kang kita sebarake, jaikoe semangat kang bangoenake kesadaran kang bisa nglairake goemregahe bangsa kita, ngabdi marang kebenaran, toendoek marang kesoetjian sarta soemarah marang keadilan (Semangat yang kita sebarkan, yaitu semangat yang membangunkan kesadaran yang bisa membangkitkan bangsa kita, mengabdi kepada kebenaran, tunduk terhadap kesucian, serta pasrah kepada keadilan),” ujar Arkandi Sari, pemimpin redaksi Panjebar Semangat, kepada Jawa Pos Kamis (4/11) lalu. 

Baca Juga :  Kasus Positif Bertambah 41, Pasien Sembuh 36 Orang

Andi, sapaan akrab Arkandi Sari, menceritakan, Panjebar Semangat diberedel Jepang pada 1942. Padahal, saat itu oplah sedang besar-besarnya. Namun, karena satu dan lain hal, Jepang melalui Osamu Seire (Undang-Undang Pemerintah) Nomor 16 melarang Panjebar Semangat terbit dan menahan pemimpin redaksinya kala itu, Mr Soemanang. 

”Justru kepedulian saat itu besar. Kami tak kekurangan pelanggan, bahkan banyak yang bersolidaritas,” kenangnya sembari mengajak Jawa Pos melihat majalah terbitan 1949, pertama setelah diberedel Jepang. 

”Jadi, pas 10 November itu kami masih diberedel Jepang. Baru tahun 1949 terbit lagi,” imbuhnya. 

Andi juga memperlihatkan pesan-pesan pemompa semangat yang ditulis langsung oleh Soekarno pada 1953. ”Beliau mendoakan agar Panjebar Semangat lestari dan tetap menyertai perjuangan bangsa,” tuturnya. 

Majalah yang terbit sejak 2 September 1933 itu sudah melintasi lima zaman, sebelum dan sesudah Indonesia merdeka. Menyaksikan perubahan demi perubahan ibu pertiwi. 

Semangat kemunculan majalah memang tecermin sejak ide itu dimunculkan Raden Sundjojo, kakak kandung Ir Sunjasmoro. Bak gayung bersambut, kala itu Soetomo mencetuskan majalah tersebut bernama Panjebar Semangat. 

”Ini (Panjebar Semangat) amanah yang harus tetap dijaga dan dipelihara. Historical majalah ini luar biasa. Aset pengetahuan dan bangsa,” tegasnya. 

Kala itu, lanjut Andi, masyarakat pedesaan dan daerah pedalaman yang tidak dapat memahami bahasa Belanda maupun bahasa Indonesia dapat mengetahui progres perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tak ayal jika saat itu Panjebar Semangat menjadi sarana agitasi dan pembakar semangat perjuangan melawan penjajah. (*/c19/ttg/JPG)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya