Friday, April 19, 2024
25.7 C
Jayapura

Sejumlah Tokoh Mengeluh

Pemerhati HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem saat memberikan keterangan pers di Wamena, Selasa (8/10).  (FOTO : Denny/Cepos)

Tak Diberikan Waktu Sampaikan Aspirasi ke Menkopulhukam

SEMENTARA itu kedatangan Menkopolhukam RI Jenderal (Purn) Wiranto, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Pol. Toto Karnavian bersama tiga menteri untuk melihat dan berdialog dengan tokoh masyarakat, agama serta adat, tampaknya dikeluhkan sejumlah tokoh.

Banyak tokoh mengeluh lantaran tidak bisa menyampaikan secara langsung, apa yang terjadi. Salah satunya Pemerhati HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem.

Dirinya mengaku sangat menghargai kedatangan Menkopolhukam dan rombongan untuk melihat dampak yang terjadi akibat kerusuhan 23 September lalu, namun pertemuan ini sangat mengecewakan. Karena tiga orang yang menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat melalui Menkopolhukam, dipilih oleh Pemda.

“Kami belum sepakat dengan tiga orang yang ditunjuk itu. Kami diundang sebagai tokoh dan mempunyai hak untuk menyampaikan semuanya, namun sudah dibatasi. Ini sama seperti pertemuan dua bulan lalu di pemda,” ungkapnya kepada awak media usai pertemuan di Gedung Aithosa Wamena, Selasa (8/10) kemarin.

Dikatakan, jika pemerintah pusat ingin mendengarkan aspirasi maka seharusnya membuka ruang untuk semua orang menyampaikan pendapat dalam forum yang terbuka. Sebagai pembela HAM ia selalu mengikuti perkembangan, dari pasca terjadi aksi kerusuhan, namun sayang tidak diberikan kesempatan untuk berbicara.

Menurut Theo Hesegem, masalah Wamena ini sangat kompleks. Sehingga mengeluarkan pernyataan itu harus hati-hati karena korban menurutnya ada tiga pihak.

Baca Juga :  Pertamina Apresiasi Polisi Bongkar Penimbunan Solar Subsidi

“Tiga pihak ini yaitu masyarakat non Papua, masyarakat asli Papua dan pemerintah daerah yang juga jadi korban. Kalau kita tidak dianggap sebagai tokoh mengapa kami diundang. Itu tidak perlu. Kami diundang untuk menyampaikan apa yang terjadi di Wamena dan masalah inti itu tak dibicarakan,”tegasnya.

Persoalan inti itu menurut Theo adalah persoalah rasisme yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. Isu ini menurutnya sedang dikembangkan oknum tertentu untuk menghancurkan Papua. Contoh kejadian di Papua nanti isunya berubah menjadi isu Papua merdeka. Di daerah lain nanti menjadi isu SARA. “Di daerah lain disebut konflik antara suku, ini yang terus dikembangkan,” sebutnya.

“Forum ini harus dibuka secara transparan dan harus jujur. Semua perwakilan harus sampaikan. Keluarga korban tadi tidak sampaikan. Teman-teman non Papua juga tidak menyampaikan kepada mereka. Korban kebakaran tak diminta pendapat. Keluarga korban dari anak-anak yang dibacok di daerah Wouma juga tidak bisa menyampaikan pendapatnya. Ini sangat mengecewakan,” sambungnya.

Akar masalah rasismea, lanjut Theo Hesegem, pemerintah daerah dan pusat mengeluarkan informasi jika itu berita hoax. Sebelum ada pembuktian di pengadilan jika itu berita benar dan hoax, menurutnya pemerintah tidak punya hak untuk mengeluarkan pernyataan jika itu berita hoax.

“Ini memancing situasi baru. Sebenarnya yang bisa memutuskan salah dan benar itu di pengadilan. Bukan pemerintah daerah dan pusat,” tegasnya.

Baca Juga :  Direkomendasikan Kena Tiga Pasal

Dirinya juga mengklaim bahwa masih banyak anak-anak tidak datang ke sekolah karena trauma dan takut. Salah satunya menurut Theo terjadi penangkapan di mana-mana ini. “Ini akan membuat ketakutan bagi anak sekolah dan tak akan datang sekolah. Kita bicara SDM sehigga kita harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi,” tambahnya.

Ia juga melihat jika Menkopolhukam tak bisa menganggap masalah Papua ini masalah kecil dan sepele. Masalah Papua menurutnya tidak bisa diselesaikan dengan dialog seperti ini. Dialog harus menghadirkan dua belah pihak yang berbeda. “Ini hanya tatap muka biasa, tetapi tidak diberikan kesempatan. Hak perempuan juga dibatasi, termasuk hak anak-anak juga dibatasi,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, Yoyok Iwik Sriyoto dari Komisi Perlindungan Anak Pusat mengharapkan, anak-anak baik itu putra daerah atau non Papua harus kembali bersekolah.

“Sekarang bagaimana caranya mereka bisa bersekolah dengan aman dari TK sampai perguruan tinggi. Tolong diberikan perlindungan. Mulai dari usia 18 tahun ke bawah merupakan tanggung jawab Komisi Perlindungan anak,”jelasnya.

Ditambahkan, Komisi Perlindungan Anak memiliki data korban anak. Baik itu yang meninggal, luka serius, luka ringan dan yang mengungsi. Pihaknya ingin agar anak-anak yang mengungsi itu kembali bersekolah seperti biasa. “Untuk itu, harus dilindungi. Tanpa dilindungi mereka tetap akan merasa trauma,” pungkasnya. (jo/nat) 

Pemerhati HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem saat memberikan keterangan pers di Wamena, Selasa (8/10).  (FOTO : Denny/Cepos)

Tak Diberikan Waktu Sampaikan Aspirasi ke Menkopulhukam

SEMENTARA itu kedatangan Menkopolhukam RI Jenderal (Purn) Wiranto, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Pol. Toto Karnavian bersama tiga menteri untuk melihat dan berdialog dengan tokoh masyarakat, agama serta adat, tampaknya dikeluhkan sejumlah tokoh.

Banyak tokoh mengeluh lantaran tidak bisa menyampaikan secara langsung, apa yang terjadi. Salah satunya Pemerhati HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem.

Dirinya mengaku sangat menghargai kedatangan Menkopolhukam dan rombongan untuk melihat dampak yang terjadi akibat kerusuhan 23 September lalu, namun pertemuan ini sangat mengecewakan. Karena tiga orang yang menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat melalui Menkopolhukam, dipilih oleh Pemda.

“Kami belum sepakat dengan tiga orang yang ditunjuk itu. Kami diundang sebagai tokoh dan mempunyai hak untuk menyampaikan semuanya, namun sudah dibatasi. Ini sama seperti pertemuan dua bulan lalu di pemda,” ungkapnya kepada awak media usai pertemuan di Gedung Aithosa Wamena, Selasa (8/10) kemarin.

Dikatakan, jika pemerintah pusat ingin mendengarkan aspirasi maka seharusnya membuka ruang untuk semua orang menyampaikan pendapat dalam forum yang terbuka. Sebagai pembela HAM ia selalu mengikuti perkembangan, dari pasca terjadi aksi kerusuhan, namun sayang tidak diberikan kesempatan untuk berbicara.

Menurut Theo Hesegem, masalah Wamena ini sangat kompleks. Sehingga mengeluarkan pernyataan itu harus hati-hati karena korban menurutnya ada tiga pihak.

Baca Juga :  Enembe Hadir Via Zoom

“Tiga pihak ini yaitu masyarakat non Papua, masyarakat asli Papua dan pemerintah daerah yang juga jadi korban. Kalau kita tidak dianggap sebagai tokoh mengapa kami diundang. Itu tidak perlu. Kami diundang untuk menyampaikan apa yang terjadi di Wamena dan masalah inti itu tak dibicarakan,”tegasnya.

Persoalan inti itu menurut Theo adalah persoalah rasisme yang hampir terjadi di seluruh Indonesia. Isu ini menurutnya sedang dikembangkan oknum tertentu untuk menghancurkan Papua. Contoh kejadian di Papua nanti isunya berubah menjadi isu Papua merdeka. Di daerah lain nanti menjadi isu SARA. “Di daerah lain disebut konflik antara suku, ini yang terus dikembangkan,” sebutnya.

“Forum ini harus dibuka secara transparan dan harus jujur. Semua perwakilan harus sampaikan. Keluarga korban tadi tidak sampaikan. Teman-teman non Papua juga tidak menyampaikan kepada mereka. Korban kebakaran tak diminta pendapat. Keluarga korban dari anak-anak yang dibacok di daerah Wouma juga tidak bisa menyampaikan pendapatnya. Ini sangat mengecewakan,” sambungnya.

Akar masalah rasismea, lanjut Theo Hesegem, pemerintah daerah dan pusat mengeluarkan informasi jika itu berita hoax. Sebelum ada pembuktian di pengadilan jika itu berita benar dan hoax, menurutnya pemerintah tidak punya hak untuk mengeluarkan pernyataan jika itu berita hoax.

“Ini memancing situasi baru. Sebenarnya yang bisa memutuskan salah dan benar itu di pengadilan. Bukan pemerintah daerah dan pusat,” tegasnya.

Baca Juga :  Tuntut Hak, Mahasiwa/i USTJ Mogok Kuliah

Dirinya juga mengklaim bahwa masih banyak anak-anak tidak datang ke sekolah karena trauma dan takut. Salah satunya menurut Theo terjadi penangkapan di mana-mana ini. “Ini akan membuat ketakutan bagi anak sekolah dan tak akan datang sekolah. Kita bicara SDM sehigga kita harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi,” tambahnya.

Ia juga melihat jika Menkopolhukam tak bisa menganggap masalah Papua ini masalah kecil dan sepele. Masalah Papua menurutnya tidak bisa diselesaikan dengan dialog seperti ini. Dialog harus menghadirkan dua belah pihak yang berbeda. “Ini hanya tatap muka biasa, tetapi tidak diberikan kesempatan. Hak perempuan juga dibatasi, termasuk hak anak-anak juga dibatasi,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, Yoyok Iwik Sriyoto dari Komisi Perlindungan Anak Pusat mengharapkan, anak-anak baik itu putra daerah atau non Papua harus kembali bersekolah.

“Sekarang bagaimana caranya mereka bisa bersekolah dengan aman dari TK sampai perguruan tinggi. Tolong diberikan perlindungan. Mulai dari usia 18 tahun ke bawah merupakan tanggung jawab Komisi Perlindungan anak,”jelasnya.

Ditambahkan, Komisi Perlindungan Anak memiliki data korban anak. Baik itu yang meninggal, luka serius, luka ringan dan yang mengungsi. Pihaknya ingin agar anak-anak yang mengungsi itu kembali bersekolah seperti biasa. “Untuk itu, harus dilindungi. Tanpa dilindungi mereka tetap akan merasa trauma,” pungkasnya. (jo/nat) 

Berita Terbaru

Artikel Lainnya