Wednesday, April 9, 2025
26.7 C
Jayapura

KPK Ibarat Menepuk Air Terpercik Muka Sendiri

JAYAPURA-Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V Dian Patria menyebut adanya praktik birokrasi yang tidak sehat dan nepotisme menjadi faktor lemahnya optimalisasi pendapatan daerah di Indonesia bagian Timur.

   Menanggapi hal ini, Praktisi Hukum asal Papua Thomas Ch. Syufi, mengatakan pernyataan KPK tersebut satu sisi benar, namun di sisi lain seperti menepuk air terpercik muka sendiri.

Sebab KPK merupakan aparat penegak hukum, mestinya praktik birokrasi ini tidak akan terjadi jika mereka mampu bekerja secara profesional, dan tegas.

  Namun karena efektifitas penegakan hukum tidak berjalan maksimal, maka hal ini terus terjadi. Padahal UU pemberantasan korupsi telah dibentuk sejak dua dekade. Namun kenyataanya justru penegakan hukum sangat melemah.

  โ€œKPK jangan kemudian mencuci tangan, karena ini tidak mungkin terjadi kalau mereka bekerja profesional,โ€ kata Thomas.

Baca Juga :  Bupati Biak Perintahkan Nama RSUD Lukas Enembe Diganti

  Kata dia UU Pemberantasan Korupsi itu lahir, untuk mengakhiri praktik-praktif orde baru, dimana zaman  kepemimpinan Suharto ketika itu, jual beli jabatan bukan menjadi rahasia umum. Sehingga praktik korupsi kolusi ketika itu sangat merebak.

  Dan salah satu langkah untuk mengakhiri itu, pemerintah bersepakat melahirkan UU KPK. Sayangnya meski UU itu ada, justru praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme ini menyasar lebih parah.

  Seperti menempatkan pejabat eselon tidak lagi dilihat dari kredibilitas, dan kapabilitas, tapi tergantung kedekatan atau faktor uang. Ini semua terjadi karena lemahnya pengawasan KPK terhadap bikorasi pemerintahan.

  โ€œSelain itu, bagi bagi bantuan, tidak lagi dilihat karena faktor ekonomi, tapi siapa yang dekat dia yang dapat, semua ini terjadi, dan banyak hal lainnya terjadi karena lemahnya pengawasan KPK,โ€ tuturnya.

  Bahkan KPK juga justru terlibat dalam praktik tidak sehat tersebut. Dimana ketua KPK Firli Bahuri melakukan  pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang ditahan pada bulan lalu atas tuduhan suap. โ€œKalau KPK nya saja begitu, apalagi lembaga di luar mereka,โ€ tuturnya.

Baca Juga :  Pertamina Apresiasi Polisi Bongkar Penimbunan Solar Subsidi

  Diapun mengatakan salah satu langkah tepat memberantas korupsi di Indonesia adalah perkuat penegakan hukum. Jika ini dilakukan secara maksimal, maka praktik-praktik nepotismes di lembaga pemerintahan tidak akan terjadi. โ€œUndang undang sudah ada, tinggal perkuat lagi pengawasannya,โ€ tutur Thomas.

   Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)  itupun mengharapkan KPK tidak hanya pandai beretorika, tapi perlu adanya evaluasi, terhadap kinerja mereka sendiri. โ€œKarena kalau mereka bekerja secara baik, maka tidak mungkin ada yang namanya korupsi, jadi saya harap KPK merefleksi diri,โ€ pungkasnya.

JAYAPURA-Kepala Satgas Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) KPK Wilayah V Dian Patria menyebut adanya praktik birokrasi yang tidak sehat dan nepotisme menjadi faktor lemahnya optimalisasi pendapatan daerah di Indonesia bagian Timur.

   Menanggapi hal ini, Praktisi Hukum asal Papua Thomas Ch. Syufi, mengatakan pernyataan KPK tersebut satu sisi benar, namun di sisi lain seperti menepuk air terpercik muka sendiri.

Sebab KPK merupakan aparat penegak hukum, mestinya praktik birokrasi ini tidak akan terjadi jika mereka mampu bekerja secara profesional, dan tegas.

  Namun karena efektifitas penegakan hukum tidak berjalan maksimal, maka hal ini terus terjadi. Padahal UU pemberantasan korupsi telah dibentuk sejak dua dekade. Namun kenyataanya justru penegakan hukum sangat melemah.

  โ€œKPK jangan kemudian mencuci tangan, karena ini tidak mungkin terjadi kalau mereka bekerja profesional,โ€ kata Thomas.

Baca Juga :  Demo Aliansi BEM Papua Justru Disorot

  Kata dia UU Pemberantasan Korupsi itu lahir, untuk mengakhiri praktik-praktif orde baru, dimana zaman  kepemimpinan Suharto ketika itu, jual beli jabatan bukan menjadi rahasia umum. Sehingga praktik korupsi kolusi ketika itu sangat merebak.

  Dan salah satu langkah untuk mengakhiri itu, pemerintah bersepakat melahirkan UU KPK. Sayangnya meski UU itu ada, justru praktik-praktik korupsi, kolusi dan nepotisme ini menyasar lebih parah.

  Seperti menempatkan pejabat eselon tidak lagi dilihat dari kredibilitas, dan kapabilitas, tapi tergantung kedekatan atau faktor uang. Ini semua terjadi karena lemahnya pengawasan KPK terhadap bikorasi pemerintahan.

  โ€œSelain itu, bagi bagi bantuan, tidak lagi dilihat karena faktor ekonomi, tapi siapa yang dekat dia yang dapat, semua ini terjadi, dan banyak hal lainnya terjadi karena lemahnya pengawasan KPK,โ€ tuturnya.

  Bahkan KPK juga justru terlibat dalam praktik tidak sehat tersebut. Dimana ketua KPK Firli Bahuri melakukan  pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang ditahan pada bulan lalu atas tuduhan suap. โ€œKalau KPK nya saja begitu, apalagi lembaga di luar mereka,โ€ tuturnya.

Baca Juga :  Sakit Stroke, Kasat Lantas Polres Mamteng Dievakuasi ke RS Bhayangkara

  Diapun mengatakan salah satu langkah tepat memberantas korupsi di Indonesia adalah perkuat penegakan hukum. Jika ini dilakukan secara maksimal, maka praktik-praktik nepotismes di lembaga pemerintahan tidak akan terjadi. โ€œUndang undang sudah ada, tinggal perkuat lagi pengawasannya,โ€ tutur Thomas.

   Direktur Eksekutif Papuan Observatory for Human Rights (POHR)  itupun mengharapkan KPK tidak hanya pandai beretorika, tapi perlu adanya evaluasi, terhadap kinerja mereka sendiri. โ€œKarena kalau mereka bekerja secara baik, maka tidak mungkin ada yang namanya korupsi, jadi saya harap KPK merefleksi diri,โ€ pungkasnya.

Berita Terbaru

Artikel Lainnya