Saturday, April 27, 2024
28.7 C
Jayapura

Siapkan Rp 28 M Untuk Warga Terdampak Rusuh

Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP., MH., saat memberikan keterangan pers usai deklarasi kesepakatan damai di Swisbel Hotel, Kamis (5/9) malam. ( FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA- Pemerintah Papua telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 28 miliar untuk membantu warga yang terdampak aksi unjuk rasa anarkis di Kota Jayapura. Dana miliaran rupiah itu untuk memperbaiki rumah warga yang rusak.

“Kita sudah anggarkan Rp 28 miliar untuk membantu bagi para korban, termasuk membangun rumah kembali. Anggaran ini sesuai dengan kebutuhan yang ada,” ucap Gubernur Papua, Lukas Enembe usai deklarasi kesepakatan damai di Swisbel Hotel, Kamis (5/9) malam. 

Dirinya meminta seluruh orang yang hidup di tanah Papua harus merasa damai, khususnya Orang Asli Papua. “Orang Papua harus damai di tanahnya sendiri. Kita tentukan  perdamaian untuk menjaga kesatuan dari berbagai suku, budaya, dan agama dan bersatu dalam bingkai NKRI,”  tuturnya.

Menurutnya, penandatangan  deklarasi damai ini sebagai langkah awal kedamaian di seluruh tanah Papua.  Dia juga mengajak seluruh warga menjaga persatuan dan kesatuan di bumi Papua. ”Semua yang ada di tanah Papua adalah masyarakat Nusantara,” tegasnya.

Lukas Enembe juga menyerukan bahwa tidak ada perbedaan atau tudingan siapa salah siapa benar terkait kerusuhan di Papua.  

“Tidak ada yang mengaku salah atau benar dari kelompok nusantara atau kelompok OAP. Papua mau jadi apa kalau begitu? Kita semua orang nusantara, kita pemilik negeri nusantara dan Papua, kita berbeda tapi satu,” tandasnya.

Sementara itu, situasi keamanan di Papua sejauh ini sudah mulai membaik pasca aksi masyarakat Papua menentang dan menolak rasisme yang dialamatkan terhadap sejumlah mahasiswa Papua di beberapa kota studi di Pulau Jawa.

Baca Juga :  Cuaca Buruk di Perairan Asmat, Tim Kemensos Sempat Hilang Kontak

Pemerhati HAM Papua yang juga sebagai biarawan Katolik, Romo Jhon Jonga angkat bicara menyoroti persoalan yang terjadi di Papua belakangan ini. 

Menurut Romo Jhon, situasi konflik Papua tidak akan benar-benar selesai jika semua komponen negara ini belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan di Papua. Aksi anarkis buntut dari penolakan masalah rasisme bagi orang asli Papua merupakan  salah satu bentuk ketidakpuasan orang Papua  saat ini. 

“Penyelesaian konflik Papua tidak akan selesai dengan menggunakan pendekatan militer. Itu hanya menambah rumit suasana yang ada saat ini,” kata Jhon Jonga saat ditemui Cendrawasih Pos  di Grand Allison Sentani, Jumat (6/9).

Lantas apa yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama menurut Romo Jhon Jonga, penyelesaian konflik Papua saat ini perlu dilakukan dengan  cara pendekatan budaya. 

Pemerintah menurutnya harus tahu betul apa budaya orang Dani, Nduga atau masyaraakat Papua lainnya. Harus dilakukan dialog secara adat dan budaya masyarakat setempat.

Dikatakan, jika melihat kebijakan pemerintah pusat saat ini untuk Papua, memang harus diakui bahwa pemerintah sedang berusaha membangun Papua. Tetapi proses pembangunan di Papua tidak sama dengan di Jawa. 

Sebagai contoh pekerjaan ruas jalan trans Papua di Wamena, selama ini pemerintah pusat dinilai tidak menghargai pemilik ulayat setempat. Ketika pekerjaan dimulai, eksploitasi terhadap hutan, tanah dan lainnya dilakukan sewenang-wenang.
“Ketika dia masuk babat sembarang saja, tidak tahu menghormati pemilik ulayat.
Sehingga dari cerita tersebut, tidak semua orang tua memahami pentingnya pembangunann yang sedang dikerjakan pemerintah,” tuturnya.

Baca Juga :  Petahana Tumbang di Pegubin dan Mamberamo Raya

Lanjut dia, aktivitas proyek pemerintah yang  dilakukan tanpa permisi itu kemudian memicu amarah dari masyarakat lokal. Ini tentu menambah runyam suasana yang sudah terjadi sebelumnya.  Apalagi pelaksanaan proyek-proyek tersebut dilakukan bersama TNI dan Polri. “Jadi boleh dibilang pembangunan itu dipaksa,” katanya.
Dia mengatakan, menangani persoalan di Papua harus hati-hati. Pemerintah pusat tidak boleh salah mengambil langkah mengenai penyelesaian konflik Papua. Penyelesaian konflik Papua dengan menggunakan dialog antara pusat dan Papua, selama ini  belum benar-benar dilakukan.

Menurutnya, pendekatan dialog ini merupakan budaya orang Papua. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Papua sejak lahir.
“Masalah apa saja, jangankan pembangunan, masalah dalam keluarga saja mereka juga gunakan dialog. Artinya dialog ini sudah menjadi budayanya orang Papua. Tapikan pusat mendengar kata dialog ini macam alergi,” bebernya.

“Untuk itu, seluruh komponen negara, aparatur negara, aparatur pemerintah harus berjuang dan berusaha, untuk memahami terlebih dahulu orang Papua punya hati.  Penyelesaian masalah atau konflik Papua tidak bisa diselesaikan dengan mengirim banyak pasukan militer” tutupnya. (fia/roy/nat)

Gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP., MH., saat memberikan keterangan pers usai deklarasi kesepakatan damai di Swisbel Hotel, Kamis (5/9) malam. ( FOTO : Elfira/Cepos)

JAYAPURA- Pemerintah Papua telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 28 miliar untuk membantu warga yang terdampak aksi unjuk rasa anarkis di Kota Jayapura. Dana miliaran rupiah itu untuk memperbaiki rumah warga yang rusak.

“Kita sudah anggarkan Rp 28 miliar untuk membantu bagi para korban, termasuk membangun rumah kembali. Anggaran ini sesuai dengan kebutuhan yang ada,” ucap Gubernur Papua, Lukas Enembe usai deklarasi kesepakatan damai di Swisbel Hotel, Kamis (5/9) malam. 

Dirinya meminta seluruh orang yang hidup di tanah Papua harus merasa damai, khususnya Orang Asli Papua. “Orang Papua harus damai di tanahnya sendiri. Kita tentukan  perdamaian untuk menjaga kesatuan dari berbagai suku, budaya, dan agama dan bersatu dalam bingkai NKRI,”  tuturnya.

Menurutnya, penandatangan  deklarasi damai ini sebagai langkah awal kedamaian di seluruh tanah Papua.  Dia juga mengajak seluruh warga menjaga persatuan dan kesatuan di bumi Papua. ”Semua yang ada di tanah Papua adalah masyarakat Nusantara,” tegasnya.

Lukas Enembe juga menyerukan bahwa tidak ada perbedaan atau tudingan siapa salah siapa benar terkait kerusuhan di Papua.  

“Tidak ada yang mengaku salah atau benar dari kelompok nusantara atau kelompok OAP. Papua mau jadi apa kalau begitu? Kita semua orang nusantara, kita pemilik negeri nusantara dan Papua, kita berbeda tapi satu,” tandasnya.

Sementara itu, situasi keamanan di Papua sejauh ini sudah mulai membaik pasca aksi masyarakat Papua menentang dan menolak rasisme yang dialamatkan terhadap sejumlah mahasiswa Papua di beberapa kota studi di Pulau Jawa.

Baca Juga :  Kembali Berlatih di Tengah Jadwal yang Tak Jelas

Pemerhati HAM Papua yang juga sebagai biarawan Katolik, Romo Jhon Jonga angkat bicara menyoroti persoalan yang terjadi di Papua belakangan ini. 

Menurut Romo Jhon, situasi konflik Papua tidak akan benar-benar selesai jika semua komponen negara ini belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan di Papua. Aksi anarkis buntut dari penolakan masalah rasisme bagi orang asli Papua merupakan  salah satu bentuk ketidakpuasan orang Papua  saat ini. 

“Penyelesaian konflik Papua tidak akan selesai dengan menggunakan pendekatan militer. Itu hanya menambah rumit suasana yang ada saat ini,” kata Jhon Jonga saat ditemui Cendrawasih Pos  di Grand Allison Sentani, Jumat (6/9).

Lantas apa yang perlu dilakukan pemerintah. Pertama menurut Romo Jhon Jonga, penyelesaian konflik Papua saat ini perlu dilakukan dengan  cara pendekatan budaya. 

Pemerintah menurutnya harus tahu betul apa budaya orang Dani, Nduga atau masyaraakat Papua lainnya. Harus dilakukan dialog secara adat dan budaya masyarakat setempat.

Dikatakan, jika melihat kebijakan pemerintah pusat saat ini untuk Papua, memang harus diakui bahwa pemerintah sedang berusaha membangun Papua. Tetapi proses pembangunan di Papua tidak sama dengan di Jawa. 

Sebagai contoh pekerjaan ruas jalan trans Papua di Wamena, selama ini pemerintah pusat dinilai tidak menghargai pemilik ulayat setempat. Ketika pekerjaan dimulai, eksploitasi terhadap hutan, tanah dan lainnya dilakukan sewenang-wenang.
“Ketika dia masuk babat sembarang saja, tidak tahu menghormati pemilik ulayat.
Sehingga dari cerita tersebut, tidak semua orang tua memahami pentingnya pembangunann yang sedang dikerjakan pemerintah,” tuturnya.

Baca Juga :  Ajukan Surat Permohonan

Lanjut dia, aktivitas proyek pemerintah yang  dilakukan tanpa permisi itu kemudian memicu amarah dari masyarakat lokal. Ini tentu menambah runyam suasana yang sudah terjadi sebelumnya.  Apalagi pelaksanaan proyek-proyek tersebut dilakukan bersama TNI dan Polri. “Jadi boleh dibilang pembangunan itu dipaksa,” katanya.
Dia mengatakan, menangani persoalan di Papua harus hati-hati. Pemerintah pusat tidak boleh salah mengambil langkah mengenai penyelesaian konflik Papua. Penyelesaian konflik Papua dengan menggunakan dialog antara pusat dan Papua, selama ini  belum benar-benar dilakukan.

Menurutnya, pendekatan dialog ini merupakan budaya orang Papua. Karena hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Papua sejak lahir.
“Masalah apa saja, jangankan pembangunan, masalah dalam keluarga saja mereka juga gunakan dialog. Artinya dialog ini sudah menjadi budayanya orang Papua. Tapikan pusat mendengar kata dialog ini macam alergi,” bebernya.

“Untuk itu, seluruh komponen negara, aparatur negara, aparatur pemerintah harus berjuang dan berusaha, untuk memahami terlebih dahulu orang Papua punya hati.  Penyelesaian masalah atau konflik Papua tidak bisa diselesaikan dengan mengirim banyak pasukan militer” tutupnya. (fia/roy/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya