Friday, April 26, 2024
27.7 C
Jayapura

Aceh Bisa Dialog, Kenapa Papua Tidak Bisa ?

Dr. Yunus Wonda, SH., MH( FOTO: Gamel/Cepos)

Yunus Wonda: Jangan Ada Lagi Korban di Atas Tanah ini!

JAYAPURA-Wakil Ketua DPR Papua, DR. Yunus Wonda menyampaikan, stigma teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus ada justifikasi yang jelas

“Harus ada justifikasi yang jelas, sehingga tidak menjadi masalah dikemudian hari oleh generasi Papua. Jangan sampai anak anak Papua yang ada di pulau Jawa atau di mana pun keberadaan mereka ketika mereka melakukan demo langsung dicap sebagai teroris,” ungkap Yunus Wonda kepada wartawan di Timika.

Lanjut dia, jika sampai itu terjadi. Berarti seluruh orang Papua teroris dan itu berbahaya sekali. Untuk itu, dirinya mengingatkan untuk tidak boleh main-main dengan hal ini. Spesifikasi teroris bagi KKB menurutnya harus dibuat sehingga semua orang bisa tahu.

Terkait dinamika yang sedang berkembang di Papua pasca pemerintah pusat dalam hal ini Menkopolhukam mengeluarkan satu keputusan bahwa KKB dinaikkan statusnya sebagai teroris, diakuinya menjadi dinamika pro kontra di kalangan masyarakat Papua sendiri. “Ada yang merasa ini biasa-biasa saja. Ada yang merasa ini berdampak pada keseluruhan orang Papua yang bisa juga seperti bahasa rasis,” kata Politisi Partai Demokrat ini.

Yang menjadi kekhawatiran Yunus Wonda yaitu, ketika anak-anak dalam posisi huru hara terjadi bentrok antara aparat hingga terjadi kontak fisik. Kemudian jatuh korban yang dianggap  teroris dan proses hukum tidak jalan. Untuk itu, dirinya mengingatkan harus hati-hati.

Kata Yunus, bukan persoalan setuju atau tidak dengan pelabelan mereka (KKB-red) sebagai teroris. Namun bagaimana harus menjustifikasi sehingga tidak berdampak luas kepada masyarakat Papua.

Baca Juga :  FAKPP Minta KPK Jangan Salahkan Artis

“Justifikasi KKB harus jelas, sehingga masyarakat atau aktivis yang selama ini berbicara tentang  keadilan tidak dalam posisi itu. Jangan sampai Papua dibungkam dengan hal-hal begitu. Terus dimana demokrasi kita kalau semua distempel supaya tidak berteriak,” paparnya.

“Apapun yang kita mau ubah statemen di Papua, apapun yang kita mau lakukan di Papua dan apapun yang mau kita terapkan di Papua, tidak akan merubah persoalan Papua. Sebab, persoalan Papua bukan tentang makan minum, melainkan persoalan ideologi. Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,” sambungnya.

Menurutnya, pelanggaran HAM terjadi sejak tahun 1960-an hingga saat ini tidak ada satu kasus pelanggaran HAM yang sampai ke sidang kecuali Abepura Berdarah, itupun pelakunya bebas. “Begitu juga dengan kasus pembunuhan Theys Eluai dimana pelakunya juga bebas,” jelasnya.

Lanjutnya, sebenarnya kasus pelanggaran HAM kunci bagi pemerintah pusat serius menyelesaikannya. Supaya ada rasa kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah, tetapi semua kasus tersebut tidak pernah diselesaikan sehingga sama saja tidak akan menyelesaikan masalah Papua.

“Persoalan Papua itu persoalan ideologi yang harus diselesaikan secara dialog, memang dalam kalimat dialog orang seringkali presepsinya berbeda. Bahkan pusat selalu berpikir konotasinya  berbeda. Kita harus belajar seperti Aceh yang bisa melakukan itu dan hingga hari ini mereka tidak merdeka. Apakah ketika Aceh melakukan dialog terus Aceh langsung merdeka kan tidak, hingga saat ini Aceh dalam NKRI. Hal itu kenapa kita tidak lakukan di Papua,” tuturnya.

Yunus menegaskan buka ruang dialog, sebab masalah Papua akan selesai ketika akar masalah itu selesai. “Hari ini ibarat kita hanya menghentikan asapnya, tetapi bara apinya tidak kita matikan. Harusnya bara apinya itu dimatikan sampai asapnya hilang, aceh saja bisa dilakukan kenapa papua tidak bisa,” tegasnya.

Baca Juga :  Satu Jenazah Korban KKB Berhasil Dievakuasi

Selain itu lanjut Yunus, dalam menyelesaikan masalah Papua, pemerintah harus melibatkan para tokoh yang kerap bicara Papua merdeka atau yang berseberangan jalan. Bukan yang duduk hanya para pejabat, sehingga persoalan  Papua benar-benar selesai.

“Tetapi kalau mereka ini tidak dilibatkan, sekalipun mau kirim ribuan pasukan ke Papua tidak menyelesaikan masalah Papua saat ini,” kata Yunus.

Sebagaimana sejak tahun 60-an hingga saat sudah ada ribuan orang yang mati di atas tanah Papua. “Mau kirim ribuan orang pun tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Masalah Papua  hanya akan diselesaikan dengan duduk dialog bersama rakyat Papua dan orang yang pro kemerdekaan, pro NKRI. Duduk bersama seperti yang pernah dilakukan di Aceh. Perjanjian harus dilakukan kalau bisa dilakukan di Aceh maka Papua juga harus bisa,” paparnya.

Jika hari in ada yang katakana Aceh beda dengan Papua, maka bedanya dimana? Sebab Aceh juga berbicara tentang kemerdekaan sama dengan Papua yang bicara untuk merdeka. Sehingga harus duduk sama-sama untuk menyelesaikan kasus Papua secara keseluruhan agar tidak  adalagi polemik dikemudian hari.

“Jangan ada lagi korban di atas tanah ini  entah itu sipil, TNI-Polri ataupun TPN-OPM. Harus sama-sama sepakat  seperti Aceh. Mari kita gencat senjata dan kita lakukan perdamaian. Itu  harus dari kedua belah pihak, tidak bisa hanya dilakukan dari sipil dan pemerintah,” pungkasnya. (fia/nat)

Dr. Yunus Wonda, SH., MH( FOTO: Gamel/Cepos)

Yunus Wonda: Jangan Ada Lagi Korban di Atas Tanah ini!

JAYAPURA-Wakil Ketua DPR Papua, DR. Yunus Wonda menyampaikan, stigma teroris kepada Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM) harus ada justifikasi yang jelas

“Harus ada justifikasi yang jelas, sehingga tidak menjadi masalah dikemudian hari oleh generasi Papua. Jangan sampai anak anak Papua yang ada di pulau Jawa atau di mana pun keberadaan mereka ketika mereka melakukan demo langsung dicap sebagai teroris,” ungkap Yunus Wonda kepada wartawan di Timika.

Lanjut dia, jika sampai itu terjadi. Berarti seluruh orang Papua teroris dan itu berbahaya sekali. Untuk itu, dirinya mengingatkan untuk tidak boleh main-main dengan hal ini. Spesifikasi teroris bagi KKB menurutnya harus dibuat sehingga semua orang bisa tahu.

Terkait dinamika yang sedang berkembang di Papua pasca pemerintah pusat dalam hal ini Menkopolhukam mengeluarkan satu keputusan bahwa KKB dinaikkan statusnya sebagai teroris, diakuinya menjadi dinamika pro kontra di kalangan masyarakat Papua sendiri. “Ada yang merasa ini biasa-biasa saja. Ada yang merasa ini berdampak pada keseluruhan orang Papua yang bisa juga seperti bahasa rasis,” kata Politisi Partai Demokrat ini.

Yang menjadi kekhawatiran Yunus Wonda yaitu, ketika anak-anak dalam posisi huru hara terjadi bentrok antara aparat hingga terjadi kontak fisik. Kemudian jatuh korban yang dianggap  teroris dan proses hukum tidak jalan. Untuk itu, dirinya mengingatkan harus hati-hati.

Kata Yunus, bukan persoalan setuju atau tidak dengan pelabelan mereka (KKB-red) sebagai teroris. Namun bagaimana harus menjustifikasi sehingga tidak berdampak luas kepada masyarakat Papua.

Baca Juga :  FAKPP Minta KPK Jangan Salahkan Artis

“Justifikasi KKB harus jelas, sehingga masyarakat atau aktivis yang selama ini berbicara tentang  keadilan tidak dalam posisi itu. Jangan sampai Papua dibungkam dengan hal-hal begitu. Terus dimana demokrasi kita kalau semua distempel supaya tidak berteriak,” paparnya.

“Apapun yang kita mau ubah statemen di Papua, apapun yang kita mau lakukan di Papua dan apapun yang mau kita terapkan di Papua, tidak akan merubah persoalan Papua. Sebab, persoalan Papua bukan tentang makan minum, melainkan persoalan ideologi. Belum lagi pelanggaran HAM yang terjadi di Papua,” sambungnya.

Menurutnya, pelanggaran HAM terjadi sejak tahun 1960-an hingga saat ini tidak ada satu kasus pelanggaran HAM yang sampai ke sidang kecuali Abepura Berdarah, itupun pelakunya bebas. “Begitu juga dengan kasus pembunuhan Theys Eluai dimana pelakunya juga bebas,” jelasnya.

Lanjutnya, sebenarnya kasus pelanggaran HAM kunci bagi pemerintah pusat serius menyelesaikannya. Supaya ada rasa kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah, tetapi semua kasus tersebut tidak pernah diselesaikan sehingga sama saja tidak akan menyelesaikan masalah Papua.

“Persoalan Papua itu persoalan ideologi yang harus diselesaikan secara dialog, memang dalam kalimat dialog orang seringkali presepsinya berbeda. Bahkan pusat selalu berpikir konotasinya  berbeda. Kita harus belajar seperti Aceh yang bisa melakukan itu dan hingga hari ini mereka tidak merdeka. Apakah ketika Aceh melakukan dialog terus Aceh langsung merdeka kan tidak, hingga saat ini Aceh dalam NKRI. Hal itu kenapa kita tidak lakukan di Papua,” tuturnya.

Yunus menegaskan buka ruang dialog, sebab masalah Papua akan selesai ketika akar masalah itu selesai. “Hari ini ibarat kita hanya menghentikan asapnya, tetapi bara apinya tidak kita matikan. Harusnya bara apinya itu dimatikan sampai asapnya hilang, aceh saja bisa dilakukan kenapa papua tidak bisa,” tegasnya.

Baca Juga :  Duel Petinju Setengah Abad

Selain itu lanjut Yunus, dalam menyelesaikan masalah Papua, pemerintah harus melibatkan para tokoh yang kerap bicara Papua merdeka atau yang berseberangan jalan. Bukan yang duduk hanya para pejabat, sehingga persoalan  Papua benar-benar selesai.

“Tetapi kalau mereka ini tidak dilibatkan, sekalipun mau kirim ribuan pasukan ke Papua tidak menyelesaikan masalah Papua saat ini,” kata Yunus.

Sebagaimana sejak tahun 60-an hingga saat sudah ada ribuan orang yang mati di atas tanah Papua. “Mau kirim ribuan orang pun tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Masalah Papua  hanya akan diselesaikan dengan duduk dialog bersama rakyat Papua dan orang yang pro kemerdekaan, pro NKRI. Duduk bersama seperti yang pernah dilakukan di Aceh. Perjanjian harus dilakukan kalau bisa dilakukan di Aceh maka Papua juga harus bisa,” paparnya.

Jika hari in ada yang katakana Aceh beda dengan Papua, maka bedanya dimana? Sebab Aceh juga berbicara tentang kemerdekaan sama dengan Papua yang bicara untuk merdeka. Sehingga harus duduk sama-sama untuk menyelesaikan kasus Papua secara keseluruhan agar tidak  adalagi polemik dikemudian hari.

“Jangan ada lagi korban di atas tanah ini  entah itu sipil, TNI-Polri ataupun TPN-OPM. Harus sama-sama sepakat  seperti Aceh. Mari kita gencat senjata dan kita lakukan perdamaian. Itu  harus dari kedua belah pihak, tidak bisa hanya dilakukan dari sipil dan pemerintah,” pungkasnya. (fia/nat)

Berita Terbaru

Artikel Lainnya